P. S. I Hate You 17

1906 Kata
Sorot lampu mobil menimpa bangunan tradisional khas Minangkabau. Namun bangunan yang satu ini tidak sekedar rumah gadang biasa. Tempat Nia berpijak sekarang adalah Instano Basa atau yang juga dikenal dengan sebutan Istana Pagaruyung. Terletak di Batusangkar kota kecil yang masih asri alamnya. Nanti saat siang, kamu bisa melihat gunung merapi yang berdiri angkuh layaknya sang penjaga. Tahu kah kamu kalau orang Minangkabau percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari Gunung Merapi? Para leluhur memang sepakat bahwa mereka berasal dari puncak  Gunung Merapi bahkan sampai mengabadikannya dalam mamang adat yang berbunyi: Dari mano titiak palito Dari tangluang nan barapi Dari mano asa nenek moyang kito Dari puncak Gunuang Marapi Namun sebenarnya nenek moyang mereka berasal dari Tanah Basa, India Selatan. Terombang-ambing entah berapa lamanya di tengah lautan akhirnya mereka menemukan sebuah daratan yang tidak terlalu luas. Rombongan yang datang antara 2500 SM sampai dengan 250 SM ini dan memutuskan untuk tinggal dan membangun peradaban di pulau antah berantah itulah yang kemudian disebut dengan nenek moyang Minangkabau. Setelah beberapa lama air akhirnya surut dan diketahuilah bahwa selama ini mereka tidak sekedar tinggal di sebuah daratan melainkan pada puncak sebuah gunung yang sampai sekarang dinamai Gunung Merapi. Dikarenakan penduduk semakin bertambah mereka memutuskan untuk memperluas daerahnya. Kebudayaan dan juga wilayah kekuasaan mereka bahkan sampai ke Negeri Sembilan, Malaysia. “Aman di jalan, Puti?” tanya Pak Tamam. Pukul setengah dua dini hari dong Puti-nya sampai di istana. Seperti yang tidak ada esok saja. Untung semua orang mengetahui siapa beliau sehingga tidak mungkin ada yang berani dengan sengaja mencelakainya. “Ga apa-apa, Pak.. Bilang aja biar lega,” kekeh Nia pada Pak Tamam yang tampak ingin sekali mengomel. Pria ini yang paling sering mendapat senam jantung karena Nia datang tanpa mengabari terlebih dahulu seperti sekarang. Tau-tau sampai aja. “Ga baik anak gadis berkeliaran malam-malam, Puti. Kato Bapak kato pangaja, kato kalipah dari mamak. Mujua indak dapek kito kaja, malang tak dapek kito tulak.” Nia tersenyum mendengar Pak Tamam bicara. Kalau sudah mendengar kata-kata mutiara dari beliau Nia baru yakin kalau dirinya berada di Istano Basa. Iya, Nia paham kalau kemalangan itu tidak dapat dihindari tapi buktinya dia selalu sampai dengan selamat bukan? “Kalo gitu Nia masuk dulu, ya, Pak.. ngantuk soalnya.” Begitu membuka pintu, Nia ternyata langsung di sambut oleh sepupunya tercinta. Pria yang tampak begitu emosi itu mendekat seperti orang yang sedang kesetanan, menyambar lengan Nia dan menariknya menuju rangkiang*. Oh, tentu saja. Nia selalu dimarahi dengan cara sembunyi-sembunyi. Ramdan memang paling pandai mencari tempat di mana tidak akan ada orang yang mendengar bentakannya. Nia jadi penasaran, siapa saja yang sedang tidur di dalam istana saat ini sampai Ramdan membawanya sejauh ini? *Rangkiang adalah lumbung padi yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau untuk menyimpan hasil panennya. Biasanya kamu akan menemui rangkiang di halaman rumah gadang. “Aku tau kau keras kepala dan bangga sekali dengan sikap kau itu, tapi apa kau harus pulang semalam ini? Kau sadar sedang memakai tubuh siapa?” “Jaga suara kau, Dan! Atau kau memang mau semua orang tau,” ucap Nia yang merasakan sakit di pergelangan kaki kirinya. Ramdan sialan ini menariknya terlalu cepat sampai Nia berjalan terseok-seok. “Oh sekarang kau peduli? Sekarang kau takut ketahuan? Harusnya kau bersikap seperti adikku! Untuk yang keseribu kalinya aku katakan ya Nia.. kau itu cuma numpang! Jangan berlaku seenaknya.” Nia memandang pria jangkung itu dengan sorot terluka. Numpang? Aini saja mengakui kalau ini tubuh mereka berdua tapi pria sialan ini menyebutnya menumpang? Apa di matanya Nia sejenis parasit yang menyesap kehidupan Aini sampai tidak tersisa? Asal Sultan Ramdan yang terhormat tau, Nia bahkan lebih menyayangi tubuh ini daripada pemiliknya sendiri. Apa pernah Ramdan mendapati tubuh adik tercintanya ini dalam keadaan sakit selama dalam penjagaan Nia? “Apa? Mau ngomong apa kau?” tanya Ramdan kesal dipelototi begitu. Tidak ada yang pernah melotot padanya kecuali Nia tentu saja. “Itu mata adikku ya, kau kubuat menderita kalau matanya sampai sakit!” “Adikku, adikku, adikku. Apa hanya dia adikmu? Terus aku ini siapamu?” pekik Nia di dinginnya malam. Batusangkar jelas jauh lebih dingin dari pada Padang dan perkataan Ramdan membuatnya merasa jauh lebih kedinginan. “Siapa? Pertanyaanmu salah, Nia! Menurutmu saja, kau itu apa? Apa.. bukan siapa! Karena apa coba? Kalimat tanya siapa itu ditujukan mereka yang punya jiwa dan raga, sedangkan kau hanya menumpang di raga adikku!” “Kak..” panggil Gilang pada Puti Aini yang hanya berjarak satu setengah meter darinya. Ramdan membulat, sejak kapan Gilang ada di sini? Apa dia datang bersama Nia? Berarti Nia tidak nekat datang sendiri, begitu? Sementara Ramdan terpaku tiba-tiba, Nia berbalik menghadap pada Gilang kemudian mendekat dengan menyeret kaki kirinya. Tidak berkata apa-apa tapi tepat saat dirinya melewati Gilang, Nia menyambar tangan bocah itu untuk segera menjauh darinya. “Mau kemana, kau?” teriak Ramdan kesal. Baru sampai dan hari masih terlalu gelap, cewek itu pikir mau kemana dia? Apa kata-kata Ramdan barusan soal Nia yang tidak berhak atas tubuh Aini masih kurang jelas? “Tenang saja, kau tidak akan mendapati tubuh adikmu terbujur kaku dalam waktu dekat,” jawab Nia tanpa menoleh. >>>  “Permisi, Pak..” ucap Gilang pada pria yang tadi menceramahi Puti Aini. Gilang sengaja hanya membuka sedikit kaca mobilnya agar sang Puti tidak terlihat. “Baliak, lai? Baa kok capek bana?Lalok lah sabanta di dalam dulu malakik pagi,” (Sudah mau pulang aja, Nak? Apa ga mau istirahat dulu?) “Ijan lai, Pak.. bisuak pagi kuliah, Pak,” (Ga deh, Pak.. ada kuliah pagi soalnya) jawab Gilang meringis. Ia bisa mendengar decakan kesal Puti Aini karena mobil mereka masih belum keluar dari area istana. Nia mendengus. Ketahuan sekali bohongnya Gilang. Ini kan masih minggu. Namun begitu Nia tidak banyak protes karena dia pribadi juga ingin pergi dari tempat ini. Kini Gilang menyetir begitu pelan membelah kesunyian malam. Jam sudah menunjukkan pukul dua lewat lima belas menit ketika mereka keluar dari Istana. Melirik pada wanita di sampingnya, Gilang tiba-tiba merasa iba. Sultan Ramdan ternyata bisa juga marah pada orang selain Azka. “Kita mau kemana, Kak?” tanya Gilang. Jangan terlalu kaget dengan Gilang yang bisa memanggil Puti Sumatera dengan panggilan seakrab itu. Gilang ini teman dekatnya Sultan Azka kalau kalian lupa. Nia mencibir, ia tau bahwa ada hal yang pasti lebih ingin Gilang tanyakan padanya. Gilang berdiri cukup dekat sehingga sudah pasti ia bisa mendengar omongannya dan Ramdan. “Mulai sekarang kamu bisa dengan bebas memanggilku, Kak Nia. Kamu mau tanya apa dulu?” tanya Nia seperti barusan ia tidak pernah bertengkar hebat dengan Ramdan dan dia pun tidak sakit hati karena Ramdan lebih menyayangi Aini dari pada dirinya. “Aku bukan Aini. Aini dan Nia itu berbeda.” Nia sengaja menjelaskan karena Gilang sama sekali tidak membuka mulutnya. “Oh dan aku menolak keras ide bahwa aku adalah kepribadian Puti Radinka Aini Jebat. Seolah aku ini milik putri manja itu saja,” dengus Nia. Mendengar kalimat terakhirnya barusan Nia merasakan gerakan cepat Gilang yang menoleh padanya. Bocah itu tampak kesusahan menelan liurnya sendiri. Kau takut padaku? Itu adalah respon Nia dari gerakan refleksnya Gilang. Nia kemudian mencibir bahwa yang selama ini lebih sering berinteraksi dengan Gilang dan Azka itu adalah Nia. “Kau berani takut padaku?” ulang Nia tersinggung. “Eng- engga. Siapa yang takut? Asal Kakak ga tiba-tiba pingsan atau ketawa kaya setan aja. Ini malam dan aku ga mau ambil resiko lari pontang panting dari mobil hanya untuk ketemu sama setan sungguhan.” “Oh, jadi menurut kau, aku ini semacam setan replika?” “Paan sih, Kak.. jangan ngomong-ngomong setan dong, ntar kalo dia lewat begimana? Aku belum berhasil balikan tau.” Gilang terdiam begitupun Nia akan tetapi mobil tetap berjalan layaknya siput. “Azka tau, Kak?” “Azka ga tau, yang dia tau hanya satu. Bahwa dia jauh lebih menyukaiku dari pada Kakaknya sendiri.” “Kita mau kemana, Kak?” tanya Gilang lagi. “Puncak Pato.” “Malam ko juo?” “IYO! Jan banyak tanyo bana lai, yo Gilang!” Gilang menghentikan laju mobilnya hanya untuk menghadap pada Kak Nia. Mulai sekarang ia akan memanggil Puti Aini dengan nama itu. Gilang mau menyetiri Kak Nia sampai ke ujung dunia sekalipun kalau beliau meminta, tapi Puncak Pato? Puncak Pato adalah objek wisata yang terletak di Kecamatan Lintau Buo Utara, di Kanagarian Batu Bulek, Kabupaten Tanah Datar. Tempat yang ingin Kak Nia tuju itu tidak hanya memberikan pemandangan berupa pemandangan pohon pinus dan nagari di bawahnya yang mampu memanjakan mata tapi tempat itu juga merupakan saksi bisu peristiwa bersejarah Minangkabau yang disebut dengan Sumpah Satiah Bukik Marapalam yang terjadi pada tahun 1403 Masehi. Peristiwa itu merupakan bentuk peralihan kerajaan Minangkabau menjadi kesultanan Minangkabau serta menginformasikan agar masyarakat waspada pada perang salib. Sumpah Satiah Bukik Marapalam melahirkan filosofi Minang yang berbunyi : Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah, Syara’ mangato, adat mamakai. Sedangkan isi sumpah tersebut adalah : Tagak kami indak bakisa, duduak indak baraliah, kok hiduik ka dipakai,  mati kaditumpang, kami pacik arek ganggam taguah, nan tabuhua takabek arek dalam pituah Adat Basandi Syara’, Syara Basandi Kitabullah, Adaik Bapaneh, Syara’ Balinduang, Syara’ Mangato Adaik Mamakai. Terlepas dari betapa spesialnya tempat satu itu, Gilang tetap tidak berani pergi kesana. Jadi, dari Batusangkar hanya butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai di Puncak Pato. Jalan yang akan mereka lewati adalah jalan mendaki yang berkelok-kelok. Ada satu kelok yang begitu terkenal disana. Kelok Aia (air) namanya. Kelok itu terasa begitu lembab sekalipun di siang hari karena selain terlindung oleh pohon-pohon di kanan dan kirinya juga terdapat semacam air terjun kecil. Saking kecilnya air terjun ini kita tida bisa menyebut apalagi menjadikannya objek wisata. Air terjun itu hanya membasahi jalan dan memberikan suara jatuh yang cukup menenangkan kalau kita lewat di sana siang hari. Sekali lagi siang hari. Namun bukan itu yang membuat Kelok Aia begitu terkenal. Sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Minang di kecamatan Lintau Buo Utara ditumpangi oleh sesosok perempuan. Dan ya jangan tanyakan lagi apakah perempuan itu hantu atau tidak karena bulu kuduk Gilang sudah berdiri memikirkannya. Hantu perempuan itu selalu menyetop kendaraan yang lewat saat malam dan saat sampai di Puncak Pato, dia akan menghilang dengan sendirinya. “Oh, Paja tu..” (Oh, dia..) cibir Nia mendengar cerita Gilang soal hantu perempuan di Kelok Aia. “Capek, lah.. den nio basuo samo inyo!” (Ayo! Aku memang mau menjumpai dia) ucap Nia. Penasaran sekali, kenapa pula hantu itu menjadi  begitu ditakuti? Memangnya selama menumpang dia berbuat gaduh? Lagian kalau dia hantu yang kompeten ngapain sampai menumpang? Kenapa tidak terbang sendiri ke Puncak Pato? “Kak! Dak takao dek Den, do, Kak.. Baa lo ka manangkok hantu jo kaki Akak nan tengkak tu? Batambah karajo Den beko, alun malarian badan Den surang tu manggendong Akak lo lai. Anti den nyo!” (Kak! Jangan ngaco ya! Gimana caranya nangkep hantu sama kaki Kakak yang pincang itu? Yang ada Kakak nambahin bebanku. Aku yang harus lari dari hantu itu jadi harus gendongin Kakak dong. Males banget.) “Tapi Den nio ka Puncak Pato!” (Tapi aku mau kesana!) “Yo beko gai, lah.. tunggu sampai jam limo.” (Ya nanti kan bisa, tunggu sampai jam lima dulu.) “Den nio kini sekalian sobok samo antu tu!” (Aku maunya sekarang sekalian temu ramah sama hantu itu.) “Kini pai lah Akak surang! Rancak den lalok jo si Azka lai!” (Kalau sekarang silahkan pergi sendiri. Mending aku tidur bareng Azka.)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN