P. S. I Hate You 18

1535 Kata
Ammar mengucek matanya. Terbangun pukul tiga dini hari karena kebelet pipis. Bocah itu sempat bingung karena mendapati dirinya berada di kamar sendiri. Bukankah tadi Mama bilang mereka akan menginap di rumah Agam? “Ammar mau kemana, Sayang?” tanya Fay yang merasakan gerakan pada ranjang yang ia dan putranya tempati. “Mau pipis, Ma,” jawabnya dengan suara serak. Berjalan tanpa sempoyongan dengan rambutnya yang sudah mencuat kesana-kemari Ammar terlebih dahulu meraih kaca matanya. Setelah menyelesaikan panggilan alamnya itu, Ammar kembali ke dalam kamar. Memeriksa sebentar ponselnya sebelum kembali tidur ia menemukan pesan singkat dari Om Gilang. Om Gilang bilang kalau oleh-olehnya sudah diterima sama Tante Adin tapi tidak dengan permintaan balikan Om Gilang. Anaknya Kakek Bayu itu juga meminta pertolongan pertama pada Ammar agar Tante Adin mau balikan dengannya. Kenapa Ammar sebut dengan pertolongan pertama? Karena pertolongan pertama itu adalah hal yang harus diberikan untuk menangani korban kecelakaan di TKP sebelum ditangani oleh tenaga medis profesional. Sama halnya dengan kecelakaan, Ammar bertugas untuk memberikan semacam pertolongan pertama agar hati Tante Dinda melunak sedangkan sisanya akan dilakukan oleh orang yang profesional pada bidang per-hati-an, yaitu Om Gilang. Menghela napas kasar, Ammar meletakkan ponselnya kembali. “Kenapa?” tanya Fay yang memperhatikan sang anak sejak beberapa detik yang lalu. Saat sang anak naik ke ranjang dan bergabung dengannya di balik selimut, Fay langsung memeluk juga menciumi pipinya. “Ma, besok setelah ngasih oleh-oleh untuk Tante Bian, aku boleh ke Om Gilang?” tanya Ammar yang kini sedang memeluk tubuh Mamanya dengan tangan pendeknya. Bagi yang tidak tau siapa itu Tante Bian, dia adalah orang yang Ammar pikir adalah pacar Om Fatehnya tapi ternyata bukan. Ammar bahkan pernah punya beberapa nama panggilan untuk Tante Bian seperti Tante pacar dan Bunda. Namun berakhir kecewa karena sejak Ammar umur tiga tahun kalau tidak salah dan sampai Ammar sebesar ini mereka masih saja menjadi teman baik. Giliran Fay yang mendengus sebal. Gilang pasti putus lagi dan kehilangan akal untuk balikan makanya menggunakan putranya yang polos. Kenapa saudara-saudaranya itu selalu menggunakan Ammar untuk kepentingan mereka sendiri? Awas saja kalau mereka mengotori pikiran putra kesayangannya ini. Fay mutilasi mereka. “Boleh, Ma?” “Mama bilang ga boleh memang kamu mau dengerin?” cibir Fay. “Ya aku kan kangen Om Gilang sama Tante Adin juga, Ma.” “Kamu ini kenapa bisa suka sama perempuan dewasa tapi benci banget sama temen cewek di sekolah?” Ammar memonyongkan bibirnya. Ya jelas mereka beda dong, kalau Tante Adin sama Tante Bian itu kan serius sayang sama Ammar. Nah kalo temen cewek di sekolah itu ngapain mereka suka sama Ammar. Mereka juga bukan pacar Om-Om-nya kok. Ngapain juga dibaik-baikin. “Lagian gimana cara kamu bantuin mereka balikan? Kaya yang paham aja urusan orang dewasa.” “Kan nanti diajarin Om Gilang.” “Ya udah, kalau gitu cium Mama dulu,” ucap Fay sambil menyodorkan pipinya. Namun Ammar menatap ragu sang Mama. Bocah itu sama sekali tidak memberikan apa yang Mamanya minta lantaran mengingat pesan Papa. “Ga mau? Kalo gitu ga ada yang ke Padang besok siang-” “Eh jangan dong, Ma.. hm.. Papa bilang jangan cium-cium Mama lagi soalnya aku udah gede,” cicit Ammar pada sang Mama. Dan Fay tidak perlu meminta putranya untuk mengulang kalimat barusan. Kan.. Denis memang selalu cari gara-gara dengannya. Turun dari ranjang, Fay langsung memacu langkahnya menuju kamar dimana Denis dan Abi tidur. “Ma, Mama mau kemana?” tanya Ammar panik. “Kamu tidur atau Mama ga ijinin ketemu Gilang dan pacarnya!” Tidak menemukan Denis di kamar Abi, Fay berjalan tergesa-gesa menuju kamarnya dan sang suami. Tidak perlu mengetuk pintu karena yang ia masuki itu adalah kamarnya sendiri, Fay kemudian memukul bahu Denis keras. Niatnya membangunkan sang suami sekalian melampiaskan kekesalan di hati. Denis terpaksa membuka matanya ketika seseorang memukul bahunya. Mendapati sang istri yang berdiri di sampingnya, Denis beringsut agak ke belakang kemudian merentangkan tangan. Meminta istri kesayangannya itu untuk masuk dalam pelukannya. Denis bilang juga apa, Fay itu tidurnya ya di ranjangnya Denis. Plak! Fay kembali memukul lengan Denis, membuat suaminya itu melotot kaget. “Kamu temui aku di luar!” desis Fay. Tidak ingin membuat keributan di sini karena tidur putra bungsunya bisa terganggu. >>>  Nia dan Gilang melihat pemandangan matahari terbit dari Puncak Pato dengan pandangan kosong. Keduanya sudah menghabiskan katan jo goreng pisang (pulut ketan yang dimakan bersama goreng pisang) sebagai sarapan. Entah keduanya sama-sama kekenyangan atau justru sedang memikirkan masalah hidup masing-masing. “Kenapa masih belum balikan?” tanya Nia pada Gilang. Mereka sedang duduk pada satu bangku terbuat dari beton menghadap pada daerah yang jauh lebih landai di bawah sana di mana terdapat rumah masyarakat dan persawahan belum lagi pohon kelapa dan pohon aren yang begitu banyak. “Ga tau tuh, kebanyakan jual mahal anaknya.” Nia terkekeh mendengar kalimat serta dengusan Gilang barusan. Cewek kalau dia punya segalanya tentu dia akan bersikap sok jual mahal, bersikap tidak butuh, dan tidak tertarik. Punya segalanya yang Nia maksud adalah punya Raga juga jiwa. Seperti yang Ramdan koar-koarkan beberapa jam yang lalu. “Terus Kakak ga jual mahal gitu?” Nia menggeleng, awalnya ia memang ogah-ogahan dan selalu mencari-cari alasan untuk tidak bertemu dengan Datuk Medan. Namun sejak berkenalan untuk pertama kalinya dengan Arif, Nia tidak sekalipun berpikir untuk menggunakan trik semacam jual mahal untuk mendapatkan pria itu. Kalau dipikir-pikir, Arif benar-benar orang baru baik bagi Aini ataupun Nia sendiri. Jadi besar kemungkinan keberhasilan untuk membuat Arif memandangnya sebagai Nia dan tidak sebagai Puti Aini. Namun alasan yang paling penting bukan karena Arif benar-benar asing bagi ia dan Aini, tetapi karena Nia sungguh jatuh hati pada pria itu. Besar harapan Nia agar Arif mengetahui keberadaan dirinya, menerima dirinya dan menyayangi dirinya. Dan sejak mendengar ucapan Ramdan untuknya beberapa jam yang lalu, ditambah dengan Aini yang juga sudah mengizinkannya untuk menikah, Nia tidak akan mengulur-ulur waktu lagi untuk bisa bersama Arif. Apalagi sepertinya Aini sudah tidak mau muncul lagi. Nia tidak bisa bergantung pada Ramdan seperti Aini. Karena apa? Karena Ramdan menyayangi Aini tapi tidak dengan Nia. Ia yakin akan kesulitan mendapatkan kasih sayang dari Ramdan seumur hidupnya. Kalau tidak dari sepupunya, mungkin Nia bisa mendapat kasih sayang dari suaminya, bukan? “Kak?” tanya Gilang pada Kak Nia yang tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Rupanya ia tidak melihat gelengan Kak Nia beberapa saat yang lalu. “Hm?” “Kalau ada masalah dan pengen cerita, sama aku aja,” ucap Gilang pada cewek yang Bang Fatehnya sukai ini. Eh tapi waktu itu yang Bang Fateh temui Kak Nia atau Puti Aini ya? “Masalahku ga akan selesai hanya dengan bercerita, Lang..” kekeh Nia. Nia bukan Aini yang dengan bercerita pada Ramdan lalu sepupunya itu akan menyelesaikan masalah yang ada untuknya, apapun itu. Sedang Nia, dia harus berusaha sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Terbiasa mandiri sejak kemunculan dirinya, Nia tidak ingin lemah karena tiba-tiba punya tempat curhat. “Pokoknya apa yang Kakak butuh atau ingin bilang aja, selagi bisa pasti aku bantu.” Apa yang Nia butuh? Ini adalah kali pertama ada orang yang bertanya seperti itu padanya. Bukan berarti semua orang selama tujuh tahun ini bersifat abai, tidak sama sekali. Tapi mereka semua bertanya apa yang Puti Aini butuhkan. Bukan apa yang Nia butuh. Nia tersenyum getir mengingat Ramdan sebagai satu-satunya orang yang mengetahui keberadaannya di dunia ini bahkan tidak pernah benar-benar menanyakan apa yang Nia inginkan. Kembali lagi pada pertanyaan Gilang, Nia memikirkan apa yang benar-benar dia butuhkan. Tidak perlu berpikir lama, Nia sudah mengetahui yang ia inginkan. Ia ingin keluarganya menerima kehadiran dirinya. Nia ingin para Datuk dan para Mamak juga Azka mengetahui bahwa ada Nia di dunia ini. Namun sampai kapanpun Nia tidak akan bisa mengakui siapa dirinya. Ramdan akan mencekik Nia kalau itu sampai terjadi. “Kau mau jadi adikku?” tanya Nia pada Gilang. “Kakak mau nikah sama Abangku?” tanya Gilang balik dengan senyum merekah. Hanya saja senyum berikut pertanyaan Gilang itu membuat Nia memasang muka masamnya kembali. “Aku sudah punya calon suami sendiri,” dengusnya kesal. Keduanya kemudian sama-sama membuang muka, dan tidak lagi berbicara satu sama lain. Keduanya berjemur di bawah sinar matahari untuk beberapa lama sampai Nia yang bangkit duluan. “Ayo pulang, aku pastikan mantanmu itu mau balikan.” “Caranya?” tanya Gilang mengekori Kak Nia dari belakang. “Muncul sebagai Puti Aini versi ter-upgrade dan ngasih perintah untuk balikan. Mudah ‘kan?” “Ga makasih! Kakak ketahuan banget ga pernah pacaran. Pacaran itu ga bisa main seenaknya perintah, Kak..” dengus Gilang menyamakan langkahnya dengan Kak Nia. “Oh ya?” “Iya.” “Rasanya Azka cerita kalo kamu itu pacar versi tukang atur. Jadi mana yang benar?” tanya Nia sambil menuruni jalan setapak yang dibuat seperti anak-anak tangga. “Azka sering gunjingin aku? Dia cerita apa aja?” Keduanya terus berbincang sampai akhirnya tiba di dalam mobil. Diam-diam Nia mencibir pada ponselnya yang bergetar sejak mereka turun tadi. Kelihatannya Sutan Rajo Angek Garang betul-betul khawatir tubuh adiknya ini akan ditemukan sebagai mayat. Nia mulai bosan dengan semua ini. Bosan dengan kekhawatiran Ramdan yang terasa ditujukan untuknya tapi sebenarnya hanya untuk Aini. Ia bertekad untuk bisa menikah secepatnya dan pergi bersama suaminya sejauh mungkin dari keluarga yang tidak menerimanya sama sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN