P. S. I Hate You 19

1316 Kata
Ramdan sedang menyantap sarapan paginya. Menu pagi ini adalah lontong gulai paku* ditambah dengan karupuak lado*. Apa yang kau harapkan untuk seorang Sultan makan untuk memulai hari? Steik? Segelas s**u dengan beberapa lembar roti? Full english breakfast? Atau justru pancake? Jangan terlalu tinggi berharap karena Ramdan Afkari Jebat menjadi Sultan bukan karena semata-mata kekayaannya melainkan gelar yang diwariskan turun-temurun. *Gulai paku = gulai pakis. *Karupuak lado = keripik singkong balado. Sekali lagi, Ramdan sedang menyantap sarapan paginya ketika dayangnya Aini menelfon. Diah adalah orang yang Ramdan harapkan untuk menjadi orang terdekat Aini karena ada batas-batas tertentu yang tidak bisa ia langgar. Selain itu mereka juga sama-sama perempuan, Ramdan pikir Aini akan bercerita keluh kesahnya pada Diah tapi ternyata tidak. “Bicaralah, waktumu dua menit!” ucap Ramdan pada Diah. “Assalamualaikum,” ucap Diah dari seberang sana. “Waalaikumsalam,” balas Ramdan sama tenangnya dengan suara sang Dayang. “Puti Aini menghilang, Sultan. Sa- saya bersumpah sampai jam sembilan malam saya masih bersama beliau. Hanya saja setelah bangun pukul sembilan malam tadi, Puti mengusir saya dari kamarnya.” Kalau tadi Diah begitu tenang saat mengucapkan salamnya, kini ia terdengar seperti selesai lari keliling lapangan bola. Azka menghentikan kunyahannya melihat bagaimana sang Abang memejamkan mata dengan ponsel masih berada di daun telinga. Bang Ramdannya memang belum pernah marah sampai yang membalikkan meja makan tapi tetap saja ia tidak bisa berhenti untuk waspada. Lagian siapa yang menelfon Sultan Ramdan di pagi Minggu seperti ini? Tidak tau ya kalau Abangnya itu juga manusia biasa yang butuh libur? Azka tidak tau saja kalau sudah berhubungan dengan Nia, Ramdan tidak bisa libur barang seperempat hari saja. “Aini ada bersamaku,” ucap Ramdan pada ponselnya. “Ya Allah, Puti pergi sendiri begitu, Sultan? Apa mulai sekarang saya harus mendirikan tenda di depan pintu kamar Puti?” tanya Diah yang terdengar begitu lega tapi begitu kesal. Kenapa Ramdan sempat mendengus sebelum menjawab panggilan dari Diah karena gadis ini begitu cerewet kalau sudah membahas majikannya. Padahal dulu sebelum Nia muncul, Diah cukup takut dan segan untuk menelfonnya seperti yang sedang dia lakukan sekarang. Tapi setelah Nia muncul, dia menjadi seseorang yang paling ditakuti disini. “Kamu tidak perlu mendirikan tenda di depan pintu kamar Aini,” ucap Ramdan dengan nada mencibir. Tapi bukan berarti ia tidak setuju dengan ucapan Dayang itu. “Cukup bawa bantal dan selimutmu lalu berjaga di depan pintu kamar Ai. Kenapa butuh tenda saat kamu tidak akan merasa kehujanan atau kepanasan? Karena seingatku atap rumah itu tidak ada yang bocor.” Tepat setelah menyelesaikan kalimatnya itu, Ramdan segera mematikan sambungan telfon. Padahal hanya diberi waktu dua menit untuk bicara, dayang itu masih sempat bicara tidak masuk akal tentang mendirikan tenda. Bagaimana Aini bisa menghadapinya selama bertahun-tahun ya? Mereka bahkan pernah tinggal di Jakarta selama beberapa tahun. “Kak Nia disini?” tanya Azka pada Abangnya. “Tadinya,” jawab Ramdan kalem. Azka ini bolak-balik memanggil Aini atau Nia tapi dia tetap tidak tau apa-apa soal siapa mereka sebenarnya. Bagi Azka, Nia hanya semacam nama gaul yang Aini pilih sebagai nama panggilan. “Sekarang?” tanya Azka lagi. Sudah bisa ia tebak kalau semalam saat sampai, Kakak dan Abang kembali bertengkar. Entah apa lagi yang mereka hebohkan sampai Kakak pun merajuk dan pergi. “Payakumbuh? Bukittinggi? Solok? Danau Singkarak? Danau maninjau? Entahlah yang pasti dia tidak mungkin ke Medan ataupun Aceh.” Azka mendecih terang-terangan saat mendengar jawaban tidak pasti Bang Ramdan. “Segitu ga pedulinya Abang sama Kakak? Kalau Kakak kenapa-napa gimana? Dia satu-satunya saudara kita, Bang.” “Kenapa aku harus peduli saat dia sendiri tidak peduli?” tanya Ramdan yang memasang wajah bingung. Seolah dia tidak mengerti dengan pertanyaan yang Azka ajukan beberapa saat yang lalu. Mengangkat pantatnya, Azka kemudian berjalan menjauh dengan kepala yang penuh dengan segala macam u*****n. “Sempat kau belum pulang sebelum jam sebelas, kau kutinggal, ya, Azka.” “Den bisa naiak oto surangnyo. Pitih den lai ko a,” desis Azka yang sayangnya tidak bisa di dengar oleh Sultan Ramdan. (Aku bisa pulang dengan bus, kok. Duitku banyak gini.) Selepas kepergian Azka, Ramdan meraih gelas yang berisi air hangat miliknya kemudian menandaskan dalam satu kali tegukan. Kembali meraih ponselnya, Ramdan mencoba menghubungi Nia. Niatnya meminta Nia kembali untuk sarapan, mandi dan istirahat agar nanti mereka bisa pulang iringi-iringan. Panggilan pertama ditolak. Panggian kedua ditolak. Panggilan ketiga dibiarkan begitu saja sampai Ramdan sendiri yang memutuskan untuk mengakhirinya. Selanjutnya kembali di tolak. Nah, lihat? Ramdan sudah berusaha untuk berbaik hati padanya tapi Nia sendiri yang tidak mau dibaik-baiki. Tidak menyerah begitu saja, Ramdan kembali menelfon seseorang.   “Ngapain Abang telfon aku?” tanya Azka bingung. “Minta nomor Gilang!” pintanya pada sang Adik. Lalu Ramdan pikir kalau sudah mendapatkan nomor ponsel Gilang lalu apa? Ia bisa dengan mudah mendapatkan lokasi Nia begitu? Tentu saja tidak. >>>  Fateh melirik Om dan Tantenya bingung. Semalam mereka memang bertengkar soal calon menantu, apa masih akan berlanjut sampai sekarang? Kalau memang mereka akan melanjutkan perang jilid dua kenapa harus menatap Fateh seperti itu? Fateh tidak mau tau ya, siapa yang akan jadi menantu mereka. Mau dapat menantu mau tidak, Fateh tidak mengurus. “Om sama Tante bisa ga ganti-gantian ngelirik aku?” tanya Fateh jengah. Sepasang suami istri itu memang tidak langsung menatapnya. Hanya saja keduanya melakukan itu secara berkala dan bergiliran. “Kamu mau sampai kapan disini?” tanya Bayu setelah berdeham. “Kenapa memangnya? Kak Faya boleh disini sampai bertahun-tahun kenapa aku yang belum sampai sebulan sudah ditanya begini? Lagian Gilang kemana sih?” Kini giliran Ratu yang berdeham. Semalam setelah kembali ke rumah dan duduk sebentar di ruang keluarga, Fateh memang langsung masuk ke dalam kamarnya di paviliun. Anaknya Raffa ini sudah disuruh mengisi salah satu kamar yang ada malah memilih paviliun untuk dijadikan kamar. Beberapa hari pertama dia bahkan bertahan saja dengan sebuah kipas tua eh setelah bertemu dengan Puti Aini malah langsung merombak kamarnya itu. Fateh menaruh keluar semua barang-barang di kamar itu dan menggantinya dengan barang baru. Mana sampai beli lemari baru pula. Itulah alasan kenapa Fateh tidak mmengetahui kedatangan Puti Aini sama sekali. Ratu dan Bayu pun baru pertama mendapatkan Puti Sumatera sebagai tamunya. Kedatangan Puti Aini semalam adalah untuk minta tolong pada Gilang menemaninya ke Istano Basa di Pagaruyung yang tentu saja dikabulkan dengan mudah oleh kepala keluarga. Bayu bahkan menekankan pada Gilang untuk tidak membiarkan Puti Aini menyetir sekalipun ia mengantuk. Kalau kantuknya memang sudah tidak bisa ditahan Bayu menyarankan Gilang untuk berhenti sebentar dan tidur. “Iya, Ayah.. Gilang ngerti. Tapi plis jangan cerita ke Bang Fateh ya? Bisa jadi bulan-bulanan Bang Fateh kalau dia tau aku pergi sama Puti Aini.” Begitu ucap Gilang semalam pada Ayahnya. Ia takut kalau nanti Bang Fateh memaksanya untuk membantu mendapatkan Puti Aini. Sebenarnya Gilang tidak peduli kalau Bang Fateh mendapatkan Puti Aini atau tidak. Tapi hanya dengan satu kondisi, selama dia tidak mengikut sertakan Gilang dalam rencananya itu. “Gilang menginap di rumah temannya,” jawab Bayu setelah meminta Vio untuk mengambilkannya minum. “Yakin di rumah temannya?” tanya Fateh penuh selidik. “Maksud kamu apa?” tanya Bayu pada ponakannya. Bagaimanapun cara Fateh memandangnya, ia tidak akann mendapatkan informasi apapun dari Bayu. Kecuali Fateh berhenti mengejar-ngejar Puti Aini. “Ya.. siapa tau dia nginap di rumah mantannya, ‘kan baru balikan,” cibir Fateh yang langsung meraba jantungnya saat Om Bayu meninju meja makan yang terbuat dari jati itu. “Kasih air lagi, Om-mu, Vio!” ucap Fateh pada sepupunya. “Abangmu itu yang kau siram dengan air panas biar mulutnya itu loyo,” ucap Bayu saat Vio langsung sigap melaksanakan perintah Fateh.  Viona yang berdiri dengan teko air di tangannya tidak pernah tau kalau keputusan untuk datang kemari bersama Bang Fateh benar-benar kesalahan terbesar. Ia bisa saja menghabiskan waktu di rumah Kak Faya dan Bang Denis, mengasuh Abi dan hidup dengan tenang. “Bu..” cicitnya pada Ratu. “Duduk, duduk.. habiskan sarapanmu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN