“Yakin nih ga mau dibantuin?” tanya Nia sekali lagi sebelum Gilang turun dari mobilnya. “Bagi sebagian orang, permintaan Puti Aini itu adalah perintah, loh, Lang? Kenapa ga kita manfaatin aja tubuh ini?” tanya Nia lagi.
Gilang mencibir sambil melepas sabuk pengaman. “Ga usah Kak, aku bisa sendiri. Senjata pamungkasku sampai beberapa jam dari sekarang.” Gilang pikir, alih-alih menggunakan permintaan Puti Aini yang pasti terasa seperti paksaan itu lebih baik ia menggunakan kepolosan Danis Ammar Hardian yang begitu disayangi oleh Adin.
“Ya sudah, jarang-jarang loh aku sebaik ini,” balas Nia ikutan melepaskan sabuk pengaman.
Gilang sudah menurunkan kaki kanannya ketika ia mendengar Kak Nia ikutan membuka pintu mobil. Dengan heboh Gilang meminta Kak Nia untuk tidak turun apalagi sampai mampir. Pokoknya jangan sampai Kak Nia mampir dan Bang Fateh mendapati Puti Sumatera bertamu ke rumahnya.
“Tapi aku mau minta makasih sama orang tuamu sekalian mengembalikan putra mereka tanpa lecet sedikitpun. Lagian meskipun kasar aku juga tau ngucap makasih kok.” Nia mendorong pintu mobil sehingga terbuka lebih lebar. Menumpukan kaki kirinya ke tanah, berniat keluar dari mobil, Nia merasakan tangan kanannya di sentak sehingga ia kembali berada di dalam mobil.
“Aku bukan cewek, Kak.. ga butuh tuh dikembalikan kaya yang Kakak bilang.”
“Aku yang cewek! Kau pikir tarikan kau barusan ga bikin ketiakku sakit?” pekik Nia kesal. “Berani ya kau menyentak tanganku!”
“Kan yang aku tarik tangan Kak Nia, bukan tangannya Puti Aini,” cibir Gilang kemudian memanfaatkan kesempatan untuk berlari keluar. Sampai di balik pagar rumahnya, Gilang bahkan sengaja menarik pagar itu agar menutup tidak lupa menguncinya. Sebagai sentuhan terakhir, Gilang melambai-lambaikan tangannya pada Kak Nia.
“Kau beruntung sudah kuanggap adik sendiri,” gerutu Nia pada wajah yang ingin sekali ia tendang. Dia beruntung saja karena Nia bukan orang yang bisa melupakan hal-hal yang membuatnya terharu seperti yang pagi ini Gilang katakan padanya. Kalau tidak, Nia pasti sudah mendapatkan beberapa helai rambut Gilang di telapak tangannya.
Melihat Gilang yang benar-benar tidak menginginkannya bertamu, yang bisa Nia lakukan hanyalah pulang. Kalau ada yang melihatnya disini nanti dikira Puti Aini suka sama berondong lagi.
Sampai di rumahnya, Nia membunyikan klakson mobil panjang-panjang. Sampai akhirnya Diah keluar dan membukakannya pintu. Nia paham bahwa dirinya akan mendapatkan kecerewetan Diah karena ulahnya semalam, kabur dari pengawasan sang Dayang. Lihat? Ada yang salah disini, dulu Diah itu hanya bertugas untuk melayani Aini tapi bersama Diah dia juga merangkap sebagai kamera pengintai yang siap melaporkan semuanya pada Ramdan.
Menutup pintu mobil kasar, Nia berjalan masuk. Gerah sekali rasanya dan ia butuh mandi. Setelah itu Nia pastikan ia akan mendekam di kamarnya yang adem.
“Puti..” panggil Diah tergesa-gesa. “Anda sudah membuat saya ketakutan sepagian ini, Anda tau?” mulai Diah setelah menutup pagar kembali. Diah menceritakan bagaimana dirinya yang tidak menemukan Nia di kamar, juga tidak di ruangan lainnya di dalam rumah. “Kenapa anda harus kabur dari saya dengan cara seperti itu? Puti sadar kalau berkeliaran malam hari itu bahaya? Kalau nanti di begal bagaimana?”
“Aku punya tugas besar untukmu hari ini, Diah..” ucap Nia begitu sampai di dalam rumah. Sejuk sekali memang rumahnya ini. “Jangan biarkan Ramdan sampai melewati pagar rumahku!” ucap Nia tak ingin dibantah.
“Tapi-”
“Tanpa tapi!” ucap Nia kesal. Sebelum masuk ke kamarnya Nia menyempatkan untk berbalik pada sang Dayang. “Kamu pikir kamu siapa, Diah? Sampai aku harus kabur darimu? Dan dibegal??? Kalau aku dibegal kamu bisa menggantikan posisiku. Jadi adik Ramdan saja sekalian karena pria sialan itu tampak lebih peduli padamu dibanding aku!”
>>>
Gilang berdiri menunggu bocah kesayangannya. Tidak beberapa lama kemudian ia melihat Ammar dengan ranselnya berjalan mendekat. Sepasang Om dan ponakan itu refleks memberikan senyum satu sama lain. Bagi Gilang, Danis Ammar Hardian bukan sekedar keponakan. Bocah ini juga sudah seperti adiknya sendiri atau justru anaknya sendiri? Ia dan Ammar menghabiskan banyak waktu berdua saat Kak Fay kuliah dan bekerja. Saking banyak waktu yang telah mereka lewatkan bersama, Gilang pikir Ammar lah yang paling mengerti dengan perasaannya.
Kalau dulu setelah beberapa lama tidak bertemu, Gilang pasti akan menempatkan Ammar dalam gendongannya. Tapi tidak lagi. Bukan karena Gilang tidak sanggup menggendong bocah ini tapi dia lah yang menolak diperlakukan seperti bocah. Makanya Gilang hanya memberikan telapak tangannya yang langsung disambut oleh Ammar. Sepasang om dan ponakan itu kemudian berjalan membelah kerumunan bandara dengan saling berpegangan tangan.
“Iya, Ma..” ucap Ammar sebelum memutuskan sambungan telfon. Di sampingnya Om Gilang menyetir dengan tenang. Mereka baru selesai makan dan sekarang akan pulang lebih dulu agar Nenek Ratu tidak marah-marah. Repot sekali pokoknya kalau sudah berjauhan dengan Mama seperti ini ditambah dengan Nenek Ratu yang mengadu pada Mama bahwa Ammar sama sekali belum sampai di rumahnya.
“Kenapa?” tanya Gilang pada ponakannya.
“Abi nangis.”
“Bukan itu, Mama bilang apa? Abi nangis mah bagus. Anak nakal macam dia itu memang harus menangis sekali-kali.”
Alih-alih bercerita nasehat yang sudah Mama ulang sampai lima kali seharian ini, Ammar justru ingin curhat masalah lain. “Om tau?” tanya Ammar, begitu caranya memulai. Lengkap dengan napas yang dibuat berat. Kemudian ia menceritakan kejadian semalam setelah pipis. Bahwa Mama dan Papa bertengkar gara-gara dirinya. Sebagai pembelaan diri, Ammar mengatakan bahwa bukan niatnya mengadu domba Mama dan Papa, ia hanya tidak bisa menolak permintaan Mama, atau beliau tidak akan mengizinkannya bertemu Om Gilang hari ini.
“Jadi mereka bertengkar hebat? Saling teriak?” tanya Gilang iba pada ponakannya. Tidakkah para orang tua harus menyembunyikan pertengkaran mereka dari anak-anak?
Ammar menggeleng. “Iya, Mama teriak tapi Papa cuma diam sambil menutup wajahnya pakai tangan. Terus Papa nyium Mama, Om.”
Gilang menginjak rem mobilnya keras mendengar pengakuan Ammar barusan. Akibatnya ia mendapat caci maki dari pengguna jalan lainnya. Gilang merasa ia perlu menepi sebelum bicara pada ponakannya yang terancam dewasa sebelum waktunya itu.
“Papa nyium Mama? Cium yang kaya apa?” tanya Gilang sambil menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. Masa tiba-tiba dia kutuan gara-gara mendengar Bang Denis nyium Fay, sih?
“Ya yang kaya Om Gilang nyium Tante Adin lah,” ucap Ammar ketus.
Gilang mengumpat dalam hati. Ya, ia dan Adin memang pernah berciuman sekali. Di bibir. Dan ketahuan oleh bocah ini sampai diberi nasehat segala macam. Jujur Gilang ini orangnya tidak tau malu tapi karena yang memergokinya adalah ponakan sendiri, ia jadi tidak bisa mencium Adin lagi sampai sekarang. Takut terbayang-bayang ceramahnya Ammar untuknya.
“Ya.. ya bagus berarti mereka baikan,” ucap Gilang gugup.
Ammar menggeleng. Mama tidak membiarkan Papa menciumnya lama-lama. Mama kembali meneriaki Papa sampai Papa menarik Mama ke dalam kamar tamu. Setelah itu Ammar tidak tau lagi betapa hebohnya pertengkaran kedua orang tuanya. Ia sudah mencoba melerai mereka eh tapi pintu dikunci.
Gilang menoleh pada ponakan tampannya itu kemudian menangkup wajahnya. Ia tidak menemukan apapun selain kepolosan di sana. “Kamu pikir Mama dan Papa bertengkar di dalam kamar tamu?”
Ammar mengangguk.
“Kamu tungguin gitu? Sampai pagi? Kamu ga nguping, ‘kan?”
Ammar mengangguk.
“Mar.. pertanyaan Om ada tiga, ya. Om bingung kamu ngangguk itu untuk pertanyaan yang mana.”
Ammar berdecak kesal kemudian melempar dirinya ke jok mobil. Kedua tangan ia lipat di d**a. “Iya.. aku tungguin tapi gara-gara Abi bangun, aku ga bisa nguping. Aku jadi sibuk ngurusin si cengeng itu,” dengus Ammar.
Gilang lega luar biasa mengetahui bahwa Ammar tidak mencuri dengar apa yang Papa dan Mamanya lakukan. Astaga, kenapa ia jadi begitu ketakutan kalau Ammar hidup dengan orang tuanya itu? Apa Gilang rayu Ayah saja biar beliau menyekolahkan Ammar di sini? Dengan kepala yang masih menempel dengan setir mobil, Gilang melirik pada ponakannya.
“Jangan pernah cerita yang kaya gini ke orang lain, paham? Kalau Papa sama Mama ciuman ya kamu harus pergi dari sana. Kalau mereka masuk kamar kamu juga harus masuk kamar kamu sendiri. Dan ga boleh nguping, itu artinya ga menghargai privasi orang tua. Dan ga boleh juga tanya sama Mama sama Papa kenapa mereka lama di dalam kamarnya.”
“Loh kok Om tau Mama sama Papa lama di dalam kamarnya?” tanya Ammar dengan mata membulat sempurna. Terlihat menggemaskan tetapi juga membuat Gilang frustasi disaat yang sama.
“Soalnya mereka itu lagi baikan. Orang dewasa kalau mau balikan memang lama. Mereka ‘kan egois.”
Masih dengan tatapan kagum pada Om Gilangnya, Ammar mengangguk-angguk paham. Tidak salah lagi, Om Gilang memang paling enak diajak bicara. Ga kaya Om yang lain yang sok dewasa.
>>>
Mengabaikan dan menolak panggilan Ramdan seharian, Nia malah berusaha keras menyusun kata demi kata untuk dikirim pada Arif. Ingat soal Nia yang tidak akan sok jual mahal? Nia rela kalau harus selalu menjadi orang pertama yang membuat langkah untuk mendekati pria itu. Sebenarnya bukan masalah laki-laki atau justru perempuan yang memulai bukan? Selama mendapatkan hasil yang diinginkan apa salahnya?
Perempuan itu membawa satu tangan ke dadanya, merasakan detak jantungnya yang begitu heboh hanya karena ia dan sang calon suami akan saling bertukar pesan. Namun satu kerisauan Nia adalah bagaimana kalau Arif tidak membalasnya dengan cepat? Nia adalah tipe yang tidak sabaran, secepat ia mengirim pesan secepat itu pula ia ingin balasan.
‘Jadi gimana? Kirim, jangan?’ tanya Nia membatin. Namun ternyata ada yang lebih tidak sabaran, yaitu jempol kanannya yang langsung memencet tombol kirim padahal hati Nia belum siap untuk diabaikan.
Arif:
Hi, maaf lupa mengabari. Aku sudah sampai dengan selamat dan sedang menikmati sisa weekend dengan segelas kopi di sini.
Mata Nia tidak pernah terbuka selebar ini untuk hal yang bagus. Biasanya kalau ia melotot selalu dalam artian negatif. Marah pada Diah dan Ramdan contohnya. Dengan hati yang penuh suka cita Nia kembali mengetikkan balasan sehingga untuk beberapa lama keduanya benar-benar berbalas pesan. Nia begitu bahagia karena pria ini bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan menyelidik darinya. Jujur Nia tidak merasa ia sedang menyelidiki Arif sama sekali. Tujuannya bertanya hal-hal seperti di mana Arif berada, apa yang sedang Arif lakukan, dengan siapa ia melakukannya, apa rencana untuk malam ini dan bahkan besok, semua itu ia tanyakan hanya untuk menunjukkan seberapa peduli dirinya pada pria itu. Dan Nia tidak bisa lebih senang lagi saat Arif pun menanyakan balik semua pertanyaannya setelah terlebih dahulu menjawabnya.
Setengah jam setelah saling berbalas pesan, Arif meminta izin untuk keluar mencari makan pada Nia. Tidak kah kalian merasakan pria ini begitu manis? Masa cari makan saja pake ijin segala? Nia semakin jatuh cinta saja padanya. Dan sialnya yang menjadi pertanyaan di benak Nia adalah kapan mereka bisa menikah?
Baru saja Nia memikirkan masa depan mereka berdua, layar ponselnya segera menunjukkan nama pria itu. Kalau untuk yang satu ini ia tidak butuh pikir panjang. “Halo?” sapa Nia begitu ia mengangkat telfon.
“Kamu ga marah, ‘kan, Aini?” tanya Arif tanpa basa-basi.
“Engga, ngapain marah? Dan kamu panggil aku Nia aja.. biar lebih akrab.”
“Kupikir Putri Sumatera bisa saja tersinggung karena aku harus keluar padahal sedang berbalas pesan dengannya,” Nia bisa mendengar kekehan Arif di seberang sana setelah pria itu mengucapkan kalimatnya. “Oke, Nia saja.. Kamu ga mau panggil aku Abang?” tanya Arif lagi.
Apa Aini memanggil calon suamiku Abang? Dia pikir calon suamiku Abangnya apa? Dumel Nia membatin.
“.. Biar lebih akrab,”
Hoo.. biar lebih akraaaab, ulang Nia membatin kemudian senyum lebar tercetak jelas di bibir tipisnya yang dipoles dengan warna merah. “Oke Abang,” ucapnya setuju. Astaga tidak bisakah mereka menikah besok? Please….