Pengorbanan

986 Kata
Pintu apartemen menutup dengan debam. Anindita Sekar Rahmani menahan napas, mengekor suaminya, Aditya Ardana Pranata yang langsung menuju ruang tamu. Ketegangan yang mencekik sejak di rumah sakit kini pecah di antara mereka. Pemicunya? Citra Puspa Maharani, Adik tiri Anindita. Wajahnya pucat, pergelangan tangannya diperban, dan perutnya mulai membuncit. Gadis itu baru saja diselamatkan setelah mencoba mengakhiri hidupnya. Aib keluarga Rahman. “Kamu waras, Ninda? Pikiranku bahkan masih enggak sanggup mencerna apa yang Mama kamu omongin di rumah sakit tadi.” Suara Adit bukan lagi marah, melainkan penuh kekecewaan. “Minta aku nikahin adikmu? Apa aku ini barang yang bisa kalian oper ke siapa aja?” Ninda mendekat, tangannya gemetar. “Tolong, Sayang... dengerin aku dulu.” Adit berbalik, menatapnya tajam. “Kamu dengar sendiri apa yang baru kamu ucapin! Aku ini suami kamu! Dan kamu dengan santainya minta aku nikahin adik kamu?!” Selama dua tahun menikah, Ninda tidak pernah melihat Adit semarah ini. Suaranya yang menggelegar membuat dadanya berdenyut nyeri. “Aku tahu ini gila... tapi aku enggak punya pilihan, Dit.” “Enggak punya pilihan?!” Adit mendengus. “Yang hamil itu adikmu. Yang kabur tunangannya. Kenapa jadi rumah tangga kita yang jadi korban!” Ninda menelan ludah, napasnya pendek. “Citra hamil tiga bulan. Perutnya sudah mulai kelihatan. Kalau pernikahan itu batal, semua orang bakal tahu. Nama keluarga kita ikut hancur. Kamu tahu sendiri gimana mama dan papa aku.” “Tetep aja, Nin. Aku bukan tumbal!” hardik Adit. “Kamu cuma perlu nikahin dia, Dit,” Ninda memohon, matanya sudah dipenuhi air mata. “Biar orang-orang kira kamu papa dari anak itu. Setelah itu—” “Setelah itu apa?! Kamu rela aku madu? Hidup dalam sandiwara seumur hidup?” Air mata Ninda jatuh, suaranya pecah. “Enggak seumur hidup... cuma sampai anak itu lahir. Setelah itu—” “Cukup, Anindita!” Adit tertawa getir. “Selalu tentang mereka, 'kan?! Mama kamu! Papa kamu! Adik kamu!” Ia mendekat, tatapannya menusuk Ninda hingga ke ulu hati. “Ninda, sadar! Permintaan kamu ini... keterlaluan!" “Aku tahu, Dit...” Ninda menggigit bibirnya kuat-kuat. “Wanita mana yang rela berbagi suami? Tapi aku benar-benar enggak punya jalan lain. Aku punya utang nyawa sama Citra, kamu tahu itu.” Adit terdiam dan mengusap wajahnya kasar, frustrasi. Kilas balik delapan tahun yang lalu, melintas di benak Anindita. Anindita kecil yang terjebak dalam api. Orang tua Citra menyelamatkannya, lalu tewas. Sejak itu, utang nyawa itu menghantuinya. Utang yang mencetaknya jadi perempuan yang rela mengorbankan segalanya demi keluarganya. “Kalau memang enggak ada pilihan,” suara Adit menarik Anindita kembali ke saat ini. “Masih ada cara lain, Nin. Kita bisa adopsi anak itu setelah lahir, atau...” rahangnya mengeras, suaranya dingin menghujam telinga Anindita. “...minta Citra gugurin anak itu.” Anindita terkesiap, menggeleng cepat. "Enggak, Dit. Enggak mungkin." "Kenapa enggak? Itu jalan satu-satunya! Aku enggak mau nikahin Adik kamu!" Suara Adit kembali naik satu oktaf, putus asa. "Kamu pikir Mama sama Papa bakal setuju?" lirih Anindita. "Mereka enggak bakal biarin. Citra itu utang nyawa kami, Dit. Anaknya itu… cucu yang paling berharga buat mereka." Adit mengepalkan tangannya. "Bisa enggak sih… kamu pilih aku sekali aja, Nin?" Suaranya bergetar, antara marah dan putus asa yang semakin mengikat. Hati Ninda bagai diremas, terbelah dua. Di satu sisi, ada rasa bersalah yang mengakar kuat. Di sisi lain, ada cinta yang ia perjuangkan selama lima tahun. “Aku…” suara Ninda pecah, air matanya jatuh. Ia meraih Adit dan memeluknya erat. “Aku cinta sama kamu, Dit. Kamu tahu itu. Tapi aku mohon… tolong lakukan ini. Sekali ini aja.” Ia mendongak, mata sembabnya memohon. “Aku nggak bisa lihat Citra bunuh diri lagi, Dit. Aku nggak sanggup.” Adit berusaha melepaskan pelukan istrinya, tatapannya kini kosong. Ia melihat ketakutan di mata Ninda, namun ia juga melihat wanita yang memilih untuk menyelamatkan rasa bersalahnya sendiri, bukan pernikahan mereka. “Anindita,” ucapnya datar, suaranya dingin menusuk. “Kamu benar-benar egois.” Tanpa menunggu jawaban, Adit menyingkirkan tangan Ninda dan berbalik. Ia melangkah masuk ke ruang kerja. Pintu tertutup pelan, meninggalkan hening yang justru terasa lebih menyakitkan daripada marahnya barusan. Ninda terpaku. Dadanya semakin terasa sesak. Isakan tangisnya semakin tak tertahankan. Kata ”egois” itu bergaung di kepalanya, menghancurkan semua alasan yang ia pegang. Ninda menatap pintu ruang kerja Adit yang tertutup rapat. Hatinya ingin berlari, menggedor, lalu berlutut sambil memohon maaf. Tapi apa gunanya? Ucapan maaf itu tak akan mengubah kenyataan: pada akhirnya ia tetap harus meminta Adit menikahi adiknya. Dan itu sama saja dengan menusukkan pisau baru ke hati suaminya. Dengan punggung tangan, Ninda menyeka air matanya. Tubuhnya terasa berat saat ia melangkah menuju sofa, lalu menatap kosong pada potret pernikahan mereka di dinding. Senyum bahagia di foto itu kini terasa begitu jauh, nyaris asing. Ia memejamkan mata, berdoa lirih agar ada keajaiban. Jalan keluar lain. Apa pun, asal tidak harus menyakiti siapa pun. Saat itulah, ponselnya bergetar di dalam tas. Sekali. Dua kali. Ia mengabaikannya. Tapi getaran ketiga memaksa tangannya bergerak, meraih tas di atas meja. Sebuah nama familiar terpampang di layar: Binar, sekretarisnya. “Halo, Nar?” Suaranya bergetar, tapi ia berusaha terdengar normal. “Maaf, Bu… ada telepon dari Pak Bento. Beliau minta bertemu besok malam.” Nada Binar hati-hati, penuh tekanan. “Kamu sudah bilang saya cuti?” Ninda mengusap air matanya. “Sudah, Bu. Tapi beliau bersikeras. Beliau bilang kalau Ibu tidak datang, dia akan menarik seluruh investasi. Besok malam… dia ingin Ibu datang sendirian.” Ninda memijat keningnya yang berdenyut. Ia tahu betul siapa Bento: klien tua yang genit, keras kepala, dan tak pernah mau dengar kata tidak. Bom waktu. Tapi proyek itu adalah taruhan terbesar perusahaan—kunci kelangsungan bisnis keluarganya. Masalah pribadi belum selesai, kini masalah pekerjaan datang menyerbu. Ninda menutup mata sejenak, menahan letih yang kian menumpuk. Lalu ia mengembuskan napas panjang, berusaha meneguhkan diri. “Jadwalkan saja, Nar. Kabari saya lokasi dan detail lainnya.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN