Uap tipis masih menempel di cermin kamar mandi, membiaskan wajah pucat Anindita. Ia menatap pantulan dirinya, yang terlihat begitu lelah. Matanya sembab, bahunya lunglai.
Apakah ini wajah seorang istri… atau hanya boneka yang rela dikorbankan?
Jarum jam sudah melewati pukul satu dini hari. Adit tidak juga masuk ke kamar sejak pertengkaran mereka tadi. Hening semakin menusuk, membuat Anindita tidak mampu memejamkan mata.
Ia menarik napas panjang, lalu berjalan menuju wardrobe. Tangannya meraih baju tidur tipis berwarna gading—pakaian yang biasanya ia kenakan hanya saat mereka ingin lebih dekat. Malam ini, ia mengenakannya bukan untuk merayu, melainkan karena sudah kehabisan cara.
Setelah menuang air panas ke dalam cangkir, ia membawa segelas teh chamomile, lalu melangkah ke depan pintu ruang kerja Adit. Ia mengetuk pelan. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, lebih keras.
“Sayang…” panggilnya, suara parau.
“Buka dong.”
Keheningan masih menggantung. Barulah setelah ketukan kesekian, pintu berderit terbuka.
Adit berdiri di ambang, wajahnya suram, matanya merah karena lelah. Pandangannya sempat turun pada pakaian tipis yang melekat di tubuh Ninda, lalu kembali menatap tajam.
“Ada apa?” tanyanya dingin.
“Aku bawain kamu teh.”
“Taruh aja di meja,” sahut Adit ketus sambil berjalan ke sofa. Ia menjatuhkan tubuh ke sana, kepala tertenggelam di sandaran, lalu menutup wajah dengan lengan.
Anindita meletakkan teh itu di atas meja. Ia tidak segera pergi, hanya berdiri mematung, memperhatikan suaminya.
“Ada lagi?” suara Adit berat, malas.
“Kok ketus banget sih?” lirih Ninda.
Adit menghembuskan napas kasar, enggan menjawab.
Perlahan, Anindita memberanikan diri melangkah mendekat. Ia menunduk, lalu duduk di pangkuan Adit dengan tubuh gemetar. Tangannya berusaha meraih wajah Adit yang masih tersembunyi di balik lengan.
“Sayang…” suaranya retak, menggantung di udara.
Adit bergeming, tetap menutup wajahnya. Hanya d**a bidangnya yang naik-turun berat di bawah tubuh Ninda.
"Aku tahu permintaanku keterlaluan," bisik Ninda, air matanya menetes ke lengan Adit. "Aku tahu aku baru saja menusuk hati suamku sendiri. Tapi... gimana bisa aku milih antara dua hidup yang paling berharga? Antara kamu... atau nyawa yang pernah menolongku? Aku nggak bisa."
Ia meraih tangan Adit, menempelkannya ke dadanya yang bergetar.
Adit akhirnya menurunkan lengannya, menatap wajah Ninda lama. Ada amarah, ada getir, tapi juga rasa tidak berdaya.
“Jadi ini jalanmu, Nin?” suaranya parau, penuh luka. “Kamu rela berbagi suami… asal adikmu selamat?”
Ninda mengangguk pelan, air matanya tidak henti jatuh. “Aku nggak mau kehilangan kamu, Adit. Aku cinta sama kamu. Tapi aku juga nggak bisa ngeliat keadaan Citra kayak sekarang."
Adit terdiam. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal di sisi sofa. Ia melihat air mata Ninda dan merasa muak pada Anindita yang terus-menerus mengutamakan orang lain.
“Cinta?” ia tertawa getir. “Kamu bilang cinta sama aku, Nin… tapi apa gunanya kalau setiap keputusanmu selalu nyakitin aku?”
Ninda terisak, meraih wajah Adit dengan kedua tangannya. “Aku enggak bisa kehilangan Citra, Dit."
Ucapan Ninda membuat jantung Adit serasa diremas dari dalam. Napas Adit memburu, tangannya menahan tengkuk Ninda, menariknya lebih dekat. Bibirnya menempel kasar pada bibir Ninda, ciuman yang lebih mirip luapan amarah daripada kasih sayang.
Ninda sempat terkejut, tubuhnya menegang ketika bibir Adit melumatnya dengan kasar. Tapi di detik berikutnya, ia tidak melawan. Ia pasrah, membiarkan air matanya mengalir. Tangan Adit meraba pinggangnya, menarik tubuhnya lebih dekat, membuat pakaian tipis yang ia kenakan bergeser. Hembusan napas keduanya berpacu, panas dan penuh emosi yang tak terkendali.
Ninda memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam ciuman yang terasa seperti perpaduan amarah dan keputusasaan. Hatinya bertanya, egoiskah jika ia masih berharap hubungan mereka akan kembali baik-baik saja setelah ini?
Namun, secepat ciuman itu dimulai, secepat itu pula Adit menghentikannya. Ia menarik diri, d**a bidangnya naik-turun dengan keras. Ia menatap Ninda lama, jemarinya masih menahan tengkuk istrinya, namun pandangannya kini kosong.
“Kalau ini yang kamu mau…” Suaranya serak, dingin, seakan keluar dari dasar d**a yang paling perih. ”...Aku akan menikahi Citra.”
Lalu Adit berdiri dan pergi, meninggalkan Ninda seorang diri, dengan pakaian kusut dan hati yang hancur.
***
Pukul sepuluh pagi. Anindita, anggun dalam gaun biru keabu-abuan, membuka pintu suite mewahnya. Greta Selvara Indrani muncul dengan gaun pesta satin warna emerald, tampak memesona, hanya saja rautnya dipenuhi kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.
“Adit… nikah sama Citra?” Greta mencengkeram bahu Ninda, matanya membelalak tak percaya.
Tanpa menunggu jawaban, Greta menerobos masuk dan menjatuhkan diri ke sofa. “Please tell me it’s not true, Nin.”
Ninda menutup pintu perlahan, lalu duduk di seberang. “Kayak yang lo denger, Ge."
Greta mendengus, amarah bercampur putus asa. “Kenapa semalam lo nggak angkat telepon gue?”
Ninda menarik napas panjang, suaranya bergetar: “Gue nggak pegang HP. Semalam… Citra nyoba b*nuh diri. Dia hamil. Cowok br*ngsek itu kabur.”
Greta menutup mata sejenak, lalu memijat kening. “Tapi… kenapa harus Adit? Suami lo sendiri?!”
Ninda menarik napas panjang, lalu melepas kalimat itu dengan nada pasrah, “Itu solusi yang paling memungkinkan sekarang.”
Greta terdiam beberapa detik, seolah otaknya menolak mencerna kalimat barusan. Lalu ia tertawa hambar, tanpa humor sama sekali.
“Solusi? Lo nyebut ini solusi, Nin?” Suaranya meninggi, penuh getir. “Lo sadar nggak, keputusan ini sama aja nyeret diri lo ke jurang?”
Ninda menunduk, jari-jarinya meremas lipatan gaun di pangkuannya. “Gue tahu, Ge. Tapi kalau gue nggak lakuin sesuatu, Citra bisa—”
“Bisa apa?!” Greta memotong tajam. “Bisa makin manja? Bisa makin ngejebak lo lagi? Dari dulu pola dia sama, Nin. Selalu bikin masalah, dan lo yang harus berkorban.”
Air mata Ninda menggenang. “Dia adik gue, Ge…”
“Adik tiri,” Greta menekankan, tatapannya menusuk. “Adik tiri yang dari SMA udah terbiasa ngerebut apa pun yang lo punya. Dan sekarang… suami lo.”
Ninda terdiam. Bukan karena tak ingin melawan, tapi karena di lubuk hatinya ia tahu semua itu adalah kebenaran.
Greta berdiri, frustrasi dengan semua yang terjadi. “Lo pikir Adit masih bisa liat lo sama kayak dulu setelah ini? Lo kira hatinya nggak hancur?” Suaranya merendah, getir. “Dia cinta sama lo, Nin… tapi justru lo sendiri yang nyuruh dia nikah sama perempuan lain.”
Ninda akhirnya menangis tanpa suara. Tangannya gemetar saat menyeka pipinya, tapi ia tak bisa membantah.
Greta mendekat, lalu berlutut di hadapan Ninda. Tangannya menggenggam erat jemari sahabatnya yang dingin. Bahunya naik-turun menahan emosi. “Gue nggak ngerti sama lo, Nin. Gue cuma pengen lo sadar: orang egois kayak Citra… nggak akan pernah puas. Dan yang bakal paling terluka, tetap lo.”
Ia menghela napas panjang, lalu meraih tubuh Ninda ke dalam pelukannya. “Please… sekali aja, pikirin diri lo sendiri.”
Ninda membalas pelukan itu dengan tubuh bergetar. Air matanya jatuh tanpa henti, sementara bibirnya tetap terkunci. Ia ingin mengatakan sesuatu—alasan kenapa ia rela membiarkan semua ini terjadi. Tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Bukan karena enggan berbagi, melainkan karena bagaimana mungkin ia menjelaskan sesuatu yang bahkan dirinya sendiri belum yakin kebenarannya?
Tangisnya jadi satu-satunya bahasa yang tersisa.
**
Setelah Greta pergi, Ninda menarik napas dalam, mengusap air mata yang masih tersisa, lalu membuka pouch kecilnya. Dengan gerakan gemetar, ia merapikan riasan yang luntur, menepuk tipis bedak di pipi, dan merapikan lipstik yang memudar. Senyum samar muncul di bibirnya—palsu, rapuh, hanya agar orang lain tak melihat luka di baliknya.
Ia berdiri, meraih clutch kecil di meja rias, lalu melangkah keluar suite. Pintu tertutup di belakangnya, menyisakan keheningan yang berbeda—sunyi yang kini harus ia bawa ke tengah keramaian.
Lorong hotel lengang, denting stiletonya lenyap ditelan karpet tebal. Begitu pintu lift terbuka di lantai ballroom, suasana seketika berubah. Riuh tamu dan panitia langsung menyambutnya; musik pelan mengalun, suara obrolan bercampur dengan arahan lewat headset.
Keramaian itu dipenuhi wajah-wajah yang mendadak terasa asing. Senyum kerabatnya kaku, hambar tanpa ketulusan. Tatapan-tatapan penuh selidik mengikuti langkahnya, seolah mencari celah untuk menghakimi. Ninda mengabaikannya, terus melangkah menuju bridal room di sisi ruangan.
Saat jemarinya menyentuh gagang pintu, Ninda tertegun. Pintu itu ternyata tidak tertutup rapat—ada celah tipis yang membuat suara dari dalam terdengar jelas.
“Aku takut, Kak…” suara Citra lirih, disertai isakan kecil.
Alis Ninda berkerut. Citra? Dia lagi bicara sama siapa?
Detik berikutnya, suara yang sangat familiar menembus keheningan.
“Udah, jangan nangis lagi,” ucap Adit. Nadanya lembut—terlalu lembut. Kontras dengan dingin yang semalam masih ia tujukan pada Ninda.
Ninda memejamkan mata sejenak. Adit. Tak salah lagi. Namun yang membuatnya nyaris kehilangan napas bukanlah suara itu sendiri, melainkan kelembutan yang seharusnya hanya jadi miliknya.
Tangannya makin erat menggenggam gagang pintu, berniat membukanya dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
Namun, langkahnya kembali terhenti ketika suara Citra terdengar lagi.
“Aku nggak nyangka akhirnya kita bisa sampai di titik ini.” Ada bunyi langkah mendekat, diikuti gesekan kain. “Aku capek jadi rahasia, Kak. Mulai hari ini, semua orang bakal tahu aku milik kamu.”
Ninda menutup mata, berusaha meyakinkan diri bahwa telinganya salah tangkap. Tapi tidak. Suara Adit terdengar jelas di telinganya.”
“Cit, jangan sekarang. Kalau ada yang lihat, semua bisa berantakan.”
“Aku nggak peduli. Aku cuma mau peluk kamu sebentar.” Ada jeda singkat, lalu bisikan Citra meruntuhkan segalanya.
“Kamu tahu kan, aku nggak pernah benar-benar pengen nikah sama Arman. Dari awal… aku cuma mau kamu, Kak!”
Darah Ninda serasa berhenti mengalir. Tanpa sadar, ia mendorong pintu sedikit. Celah sempit itu terbuka—cukup untuk membuat dunianya runtuh.
Citra, masih dengan gaun putihnya, berdiri melekat pada Adit. Jarak wajah mereka nyaris hilang, hanya dipisahkan hembusan napas tipis. Tangan Citra melingkar manja di leher pria itu, senyum puas tersungging di bibirnya.
***