Janji di Atas Luka

1704 Kata
“Dua hari ini aku nggak dipeluk kamu, rasanya kayak gila.” Senyum tipis muncul di bibir Adit—senyum yang dulu hanya milik Ninda. “Dasar manja…” gumamnya rendah, sebelum jemarinya terangkat, menekan pinggang Citra dan menariknya lebih dekat. Dan sebelum Ninda sempat memalingkan pandangan, bibir adik tirinya sudah menempel di bibir suaminya. Adit tidak menolak—malah menunduk sedikit, membiarkan Citra melumat bibirnya dengan rakus. Clutch kecil di tangan Ninda hampir terlepas. Ia menekannya ke d**a, seakan bisa menahan remuknya hati. Dua hari lalu, suara tangis Citra masih terngiang: “Kak, apa artinya aku hidup kalau enggak ada yang mau sama aku?” Kini… tawa kecil dan bisikan mesra terdengar jelas dari balik pintu bridal room. Sejak kapan mereka memulai ini? Selama ini… mereka selingkuh di belakangku? Bukannya Citra sudah pacaran dengan Arman selama setahun lebih? Tangannya terlepas dari gagang pintu. Ia mundur selangkah, napas tercekat—dan pandangannya langsung bertubrukan dengan sosok Lestari Adiningrum yang berjalan mendekat. Ninda buru-buru mengusap air mata. Ia berusaha menata wajah, tapi tatapan ibunya justru membuat dadanya kian sesak. Lestari berhenti tepat di depannya. “Mama tahu ini berat. Tapi demi keluarga, kamu harus kuat. Anggap saja pengorbananmu membayar hutang budi kita.” Ninda tercekat. “Hutang budi… sampai segininya, Ma? Ninda harus kehilangan segalanya?” Tatapan Lestari mengeras, dingin dan tak memberi ruang untuk bantahan. “Kalau bukan karena orang tua Citra, kamu nggak akan berdiri di sini hari ini. Dan kalau bukan karena harta waris Citra, perusahaan Papa kamu nggak akan pernah sebesar ini. Jadi, jangan macam-macam. Jangan bikin ribut hari ini.” Ninda menggigit bibirnya hingga terasa asin darah di lidah. Senyum getir terpaksa ia paksakan, sekadar tameng di depan ibunya. Lestari menarik napas panjang, lalu menepuk lengan putrinya pelan, tapi cukup untuk membuat Ninda paham ada peringatan di baliknya. “Rapikan wajahmu. Tamu nggak boleh lihat kamu berantakan. Mama masuk dulu.” “M-ma… aku nggak bawa bedak. Temenin aku ke toilet sebentar, ya?" Ia tahu alasannya terdengar sepele, tapi itu lebih baik daripada membiarkan Lestari masuk ke bridal room sekarang. Lestari menghela napas, menatap putrinya dengan sorot jengah. “Kamu ini, Nind… hal kecil aja nggak bisa kamu urus sendiri.” Namun ia tetap berbalik. “Ayo, cepat." *** Musik pelan terdengar saat panitia memberi isyarat. Lampu ballroom meredup, menyisakan sorot hangat ke arah pelaminan. Adit berdiri di sana, mengenakan setelan tuxedo hitam modern yang membalut tubuh tegapnya. Kemeja putih bersih dan dasi satin senada. Tidak ada sedikit pun sisa raut kecewa atau amarah yang semalam ia tunjukkan pada Ninda. Wajahnya justru tampak tenang—bahkan nyaris bahagia—seolah pernikahan ini memang yang ia inginkan sejak awal. ’Sejak kapan mereka mulai semua ini?’ batin Ninda, hatinya teriris. Di sampingnya, Citra tampak anggun dalam gaun putih gading, bahu terbuka dengan detail renda halus. Veil tipis menjuntai sampai lantai, menutupi sebagian wajahnya yang dipoles riasan lembut. Buket bunga mawar ia genggam agak tinggi, sengaja menutupi pergelangan tangan yang masih berbalut kain tipis. Senyum kecilnya menambah ilusi kebahagiaan. Ninda berdiri di antara para tamu, clutch di tangannya bergetar. Setiap kata yang keluar dari bibir Adit bukan lagi janji suci, melainkan pengkhianatan yang diumbar di depan semua orang. “Aku bersedia… mendampingi dalam suka maupun duka.” Kata-kata itu meluncur jelas, lantang. Sejenak, ballroom hening. Lalu bisik-bisik mulai menyeruak. “Eh, pengantin prianya kok mirip menantu pertamanya Pak Surya?” “Iya, gue juga kepikiran gitu. Jangan-jangan emang—” “Eh iya… suaminya Bu Anindita.” “Lho, bukannya di undangan tertulis nama Arman Evander?” Ninda merasakan pandangan orang-orang mulai mengarah padanya. Ada tawa kecil di sudut ruangan, samar tapi cukup untuk menusuk telinganya. “Dimadu sama adiknya sendiri…” Kalimat itu terputus oleh denting musik, namun gaungnya sudah lebih dari cukup untuk membuat darah Ninda berdesir. Di sisinya, Greta bolak-balik melirik, wajahnya tegang. Ia mencondongkan tubuh, berbisik cepat, “Nin… jangan dengerin mereka.” Ninda tak menjawab. Ia menelan ludah, matanya tetap terpaku ke pelaminan. “Lo mau keluar? Gue temenin.” Sekilas Ninda menoleh. Sorot mata Greta penuh resah, ingin merangkulnya saat itu juga. Namun Ninda hanya mengulas senyum tipis yang lebih mirip luka. “Enggak. Gue mau lihat… sampai mana drama mereka.” Greta mengerutkan kening. “Hah? Apa barusan?” Ninda memalingkan wajah, menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh. Kini giliran Citra. Dengan suara lembut yang penuh getaran—entah karena gugup atau bahagia—ia mengucapkan janji yang sama. “Aku bersedia…” Ninda merasakan perutnya mual. Tepuk tangan tamu menggema, sorak kecil ikut pecah di beberapa meja. Ninda mematung. Selesai sudah. Di sampingnya, Greta menggenggam pergelangan tangannya erat-erat, mencoba menyalurkan kekuatan. Tapi getar tubuh Ninda terlalu jelas. Tatapan Adit sempat sekilas terlempar ke arah kerumunan—dan bertemu dengan mata Ninda. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuatnya merasa seakan seluruh darahnya membeku. Ada sesuatu di sana… entah kemenangan, entah sekadar pengakuan bahwa ia telah menghancurkannya habis-habisan. Ninda buru-buru menunduk, menahan air mata. Beberapa detik kemudian, Tante Naura—adik bungsu Lestari—menepuk bahunya pelan. “Nin, Mama nyuruh kamu senyum.” Anindita mendongak sekilas. Dari barisan depan, tatapan Lestari langsung menyambar. Datar, dingin, dan jelas: senyum. Acara berjalan cepat. Ucapan selamat, doa-doa yang terdengar hampa di telinga Ninda, sampai akhirnya panitia memanggil untuk sesi foto keluarga. “Anindita, sini.” Suara Lestari terdengar ramah di depan orang-orang, tapi di telinga Ninda terasa pahit. Ia melangkah ke pelaminan. Gaun biru tua yang dipakainya jelas menonjol di samping putih gading milik Citra. Dari luar ia tampak tenang, padahal clutch kecil di tangannya bergetar, jemarinya mencengkeram erat seakan itu satu-satunya cara agar dirinya tidak goyah. Citra tersenyum lembut, senyum yang dibuat-buat agar terlihat rapuh. Tatapannya berkaca-kaca, jemarinya meraih lengan Ninda, menggenggamnya seolah mencari simpati. “Maafin aku, Kak… Kalau aku punya pilihan lain, aku nggak bakal mau nikah sama Kak Adit,” bisiknya lirih sambil mengelus perutnya pelan. Ninda melirik sekilas, mengikuti arah tangan adik tirinya, memaksakan senyum tipis di bibirnya. Manik mata Citra Kembali menatapnya, lalu tersenyum lagi — kali ini seperti anak kecil yang minta dimaklumi. “Tapi aku janji… habis ini aku bakal lebih baik sama Kak Ninda.” Ninda diam. Tidak ada jawaban. Sang fotografer terus mengarahkan posisi mereka, dan kali ini Ninda diminta berdiri di samping sang suami. Rasanya konyol—semua ini konyol. Tapi ia tetap menuruti, menanggung kepalsuan yang ia ciptakan sendiri. Begitu bahu Adit hampir bersentuhan dengannya, bibirnya bergerak tipis. “Puas kamu?” Suaranya datar, dingin. Ninda tidak menoleh. Tatapannya lurus ke kamera, senyum tetap terjaga. Tapi di balik bibir yang terangkat paksa, pikirannya berbisik lirih, getirnya menorehkan luka. “Justru kalian yang puas, kan? Senang akhirnya bisa bebas main di belakangku tanpa sembunyi-sembunyi?” Senyum Ninda tak bergeser, meski jantungnya seperti diremas. Saat sesi foto selesai, Citra kembali mencoba meraih tangannya. Greta lebih cepat. Ia menepis pelan, lalu menarik Ninda menjauh. “Nin, temenin gue.” Suaranya datar, dingin, tapi cukup tajam untuk membuat Citra terhenti di tempat. Ninda menoleh sekilas ke Greta, ragu, tapi membiarkan dirinya dibawa. Dunia terasa berputar, riuh suara tamu bercampur dengan musik dan dering gelas, tapi di telinganya semua terdengar sayup-sayup, seperti gema yang jauh. Greta mencondongkan tubuh sedikit, berbisik pelan. “Tarik napas. Sekali ini, pikirin diri lo dulu.” Ninda menelan ludah, mencoba menata napasnya. Tapi genggaman tangannya di clutch tak mengendur. Rahangnya menegang saat ia berbisik, lirih namun penuh beban. “Kalo gue pergi sekarang… Mama sama Papa bakal ngamuk. Mereka nggak bakal terima gue ninggalin acara.” Greta menarik napas panjang, memilih tidak membantah. Ia tahu Ninda keras kepala. “Yaudah, ikut gue bentar aja. Ambil minum dulu.” Mereka baru melangkah beberapa langkah ketika suara Lestari terdengar memanggil dari kejauhan. “Ninda, sini sebentar.” Ninda menoleh. Di sudut ballroom, Papa, Mama, Tante Naura, dan beberapa keluarga lain sudah berkumpul. Senyum mereka tampak ramah di depan tamu, tapi begitu Ninda mendekat, tatapan ibunya menghujam tanpa ampun. “Jangan pasang muka kayak orang mati,” bisik Lestari sambil tetap menebar senyum manis pada kerabat. “Senyum, Anindita.” Refleks, bibir Ninda melengkung tipis, membentuk topeng senyum yang terasa dingin di wajahnya. Saat itu, ponsel di clutch-nya bergetar. Nama Binar muncul di layar. Ia buru-buru meraihnya. “Ninda…” suara Lestari mengandung peringatan. “Telepon kantor, Mah. Penting.” kilahnya seraya langsung mengangkat panggilan. "Bu, maaf mengganggu," suara Binar terdengar cepat. "Saya cuma mau mengingatkan, jam tujuh ada dinner meeting sama Pak Ben." Ninda melirik jam tangannya. Jarum sudah menunjuk pukul enam. Sial, gue hampir lupa! umpatnya dalam hati. "Oke, Nar. Terima kasih," balasnya, lalu buru-buru menutup telepon. Ninda menyelipkan ponsel ke dalam clutch, menghela napas kasar. Langkahnya sudah hampir melewati pintu ballroom, tapi bayangan ibunya segera terlintas di kepala. Kalau ia pergi begitu saja, Lestari pasti akan membuat keributan. Ia berbalik, memasang senyum tipis yang dipaksakan. “Pah, Mah, Om, Tante… Ninda ada meeting yang enggak bisa ditunda.” Tatapan Lestari langsung menajam, menelusuri wajah putrinya dengan curiga, seolah mencari celah kebohongan. “Meeting?” suaranya naik setengah oktaf. “Bukannya kamu lagi cuti tiga hari?" “Beneran meeting, Mah.” Ninda mencoba mengendalikan nada bicaranya. "Jangan bohong. Kamu cuma cari-cari alasan buat kabur dari pesta ini, kan?" desak Lestari. "Enggak, Mah. Aku—" “Sudah… sudah, jangan diperpanjang.” Surya menutup pembicaraan dengan senyum kaku, mencoba menjaga suasana tetap wajar di hadapan para tamu. “Tugas kantor enggak bisa ditunda. Aku kenal kliennya, penting.” Lestari masih membuka mulut, tapi Surya menepuk pundaknya pelan. “Sudah.” Ninda menunduk sopan pada semuanya sebelum berbalik. Begitu punggungnya meninggalkan ballroom, senyum palsunya langsung runtuh. Di lorong sepi, ia menghela napas panjang. Lega karena berhasil lolos dari ibunya, tapi juga jengah—karena pelariannya justru membawanya ke klien yang menyebalkan. Ia melirik jam tangannya. Hanya empat puluh lima menit lagi. Dan saat menyadari ia bahkan tak sempat pulang untuk ganti baju, kepalanya makin pening. Great, Nind. Hidup lo udah compang-camping, sekarang harus hadap Bento dalam keadaan kayak gini. Tapi baru beberapa langkah, ponselnya kembali bergetar. Satu pesan masuk. [Jangan telat. Saya tunggu.] – B Dada Ninda mendadak sesak. Apa semesta tidak puas menghancurkan dirinya? Belum sempat Anindita mengolah perasaannya dan kini ia harus menghadapi p****************g yang sudah lama dia hindari. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN