Ninda buru-buru melangkah ke ruang private dining Aurelia Grand Hotel, salah satu jaringan hotel mewah tempat Bento kerap menjamu tamu penting. Cahaya remang berpadu dengan alunan jazz lembut menyambutnya begitu masuk. Di sudut ruangan, sebuah pintu privat terbuka, menyingkap sosok Benedicto Santara yang duduk santai dengan segelas wine di tangannya.
“Anindita,” sapanya, senyumnya lebar tapi matanya langsung jatuh ke belahan d**a Ninda.
Sial. Karena terburu-buru meninggalkan rumah pagi tadi, ia lupa membawa baju ganti. Blouse hitam V-neck pinjaman Greta menjadi satu-satunya pilihan. Potongannya terlalu dalam, membingkai leher jenjang sekaligus menyingkap sedikit lekuk d**a. Biasanya, setiap kali meeting dengan Bento, Ninda selalu memastikan busananya tertutup rapat.
“Maaf, saya telat,” ujar Ninda, berusaha menegakkan punggung, meski menyadari betul arah pandangan pria itu.
Bento tersenyum tipis. “Santai saja. Justru saya senang bisa nunggu lebih lama… kalau yang ditunggu kamu.”
Ninda menarik kursi di hadapannya, berusaha setenang mungkin. Clutch diletakkan di atas meja, tangannya meremas ujung kain blouse untuk menutupi gugup yang tak boleh terlihat.
“Apa yang ingin Bapak bahas soal proyek Mahitala?” tanyanya cepat, mencoba mengalihkan fokus.
Bento memutar gelas winenya perlahan, menatap cairan merah yang berputar di dalamnya sebelum kembali menancapkan pandangan ke wajah Ninda. “Tenang dulu. Kita kan baru mulai.”
Ia menyandarkan tubuh, senyumnya tak bergeser. “Kamu tahu, Anindita, saya selalu suka orang yang tepat waktu. Tapi kalau yang telat itu kamu, saya rasa… pengecualian.”
Ninda mengatur napas. “Pak Ben…” nada suaranya ditegaskan, seolah memberi peringatan halus.
Bento terkekeh rendah, lalu meletakkan gelas di meja. “Baiklah. Proyek resort di Labuan Bajo.” Ia mendadak serius, meski tatapannya masih sesekali turun ke potongan blouse itu. “Saya sudah lihat draft kerja samanya. Ada beberapa angka yang ingin saya revisi.”
Ia mendorong map tipis ke arah Ninda. Kertas berlogo Aurelia Group terlipat rapi di dalamnya.
Ninda meraihnya, menatap halaman-halaman itu dengan cepat. Tapi rasa tidak nyaman membuat konsentrasinya buyar. Tatapan Bento terlalu jelas, terlalu lama singgah di tempat yang seharusnya tidak ia perhatikan.
Fokus, Nin. Jangan kasih celah.
Ia mengangkat wajah. “Kalau soal angka, nanti saya koordinasikan dulu dengan tim finance. Biar jelas sebelum kita tanda tangan.”
Bento tersenyum miring. “Enggak usah terburu-buru. Malam ini panjang. Dan saya lebih suka kalau kita bicarakan… perlahan.”
***
Diskusi pun bergulir. Hampir setengah jam mereka membicarakan detail proyek: revisi angka, pembagian saham, hingga rencana pembangunan. Ninda mencatat secukupnya di iPad, berusaha fokus meski tatapan Bento tampak lebih tertarik pada belahan dadaanya ketimbang pembicaraan bisnis.
Akhirnya, ia menutup iPad itu dengan tegas. “Kalau begitu, izinkan saya pamit. Saya masih harus kembali ke acara keluarga.”
Ninda berdiri, meraih clutch. Namun Bento mengangkat tangan, gerakannya cukup untuk menghentikannya.
“Buat apa terburu-buru, Anindita? Suamimu sekarang sedang sibuk… merayakan malam dengan adikmu.”
Darahnya mendidih. Rahangnya mengeras, bibirnya terkatup rapat hingga wajahnya terasa kaku.
Bento berdiri, melangkah santai ke sisi ruangan. Deretan botol wine tersusun rapi di atas meja bar kecil. Jemarinya menyisir label seolah mencari yang paling tepat sebelum mengambil satu botol berwarna gelap.
“Pak Bento,” suara Ninda bergetar, separuh karena marah, separuh karena menahan sakit hati. “Tolong jaga ucapan.”
Bento hanya tertawa rendah, nyaris seperti orang tua yang sedang menasihati anak kecil. “Ah, Anindita… jangan terlalu tegang. Saya cuma menyebut apa yang semua orang tahu.”
Seandainya bukan karena kepentingan perusahaan, Ninda pasti sudah menampar mulut pria bermata jalang itu.
“Kalau tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, saya pamit.” Ia berbalik, siap melangkah pergi.
Bento sudah lebih dulu menuang wine ke dua gelas kristal, gerakannya elegan, seolah-olah mereka hanya sedang diundang jamuan santai. Ia mendorong salah satunya ke arah Ninda.
“Setidaknya, temani saya satu gelas. Anggap saja… perayaan kecil setelah kerja kerasmu,” ujarnya lembut, senyumnya nyaris manis. “Percayalah, pulang sekarang hanya akan membuatmu semakin cepat berhadapan dengan kenyataan yang menyakitkan.”
Ninda menatap gelas itu lama. Ia tahu lebih baik menolak, tapi kalimat Bento menggema di kepalanya. Pulang hanya akan membuatmu lebih cepat menyaksikan apa yang tak ingin kau lihat.
Rahangnya mengeras. Dengan satu tarikan napas, ia meraih gelas itu dan menenggaknya habis. Rasa getirnya menyatu dengan getir di dadanya—sama-sama menyesakkan.
Gelas itu diletakkannya kembali dengan dentum halus. Tenggorokannya masih panas, tapi anehnya ada sensasi lega sesaat, seolah luka dalam dirinya ikut terbasuh.
Ia mengembuskan napas panjang. “Boleh tambah satu lagi?”
Bento mengangkat alis, senyumannya melebar puas. “Tentu. Untuk wanita secantik kamu, selalu ada gelas kedua.” Ia menuang perlahan, lalu mendorongnya ke depan.
Ninda tak menunggu lama. Jemarinya meraih gelas itu, menyesap lebih cepat daripada sebelumnya.
Hangatnya menjalar lebih kuat, menekan dari dalam. Pandangannya mulai berkunang, napasnya pendek, dan ada denyut aneh yang merambat di bawah kulit.
Ia mengedip berulang kali, mencoba menjernihkan pandangan. Namun bayangan di sekelilingnya justru semakin kabur, lampu temaram terasa menusuk matanya. Baru dua gelas… kenapa efeknya secepat ini?
“Sial…” desisnya, napas terputus-putus. “…Dia masukin apa ke minuman gue?"
Bento hanya duduk tenang, dagunya bertumpu pada tangan, senyum tipis tak bergeser. Tatapan itu membuat Ninda semakin yakin, Bento memang memasukkan sesuatu ke minumannya.
Ia mencoba menarik napas dalam, tapi dadanya kian sesak. Denyut aneh itu merambat ke kepala, membuat pikirannya semakin kabur.
“Wajahmu mulai berwarna,” komentar Bento datar, suaranya nyaris dingin. “Wine memang bekerja lebih cepat pada orang yang sedang terluka.”
Ninda menggenggam clutch di pangkuannya, berusaha menahan getar jemarinya. “Maaf, Pak Ben…” suaranya serak, tertahan di tenggorokan. “Saya pamit.”
Ia berdiri dengan gerakan kaku. Kursi bergeser, saat akan melangkah tumitnya goyah. Tubuhnya oleng, dan sebelum ia sempat meraih sandaran kursi, sebuah tangan sigap sudah menahan lengannya.
“Pelan-pelan, Anindita.”
Bento memapah lengannya, menahan lebih erat dari yang seharusnya. Senyum tipisnya justru membuat darah Ninda semakin dingin.
“Bagaimana kalau saya antar? Kebetulan penthouse saya ada di lantai atas. Kamu bisa beristirahat sebentar.”
Ninda menguatkan diri, menarik lengannya kasar. “Terima kasih, Pak Ben. Saya bisa sendiri.”
Begitu keluar dari ruang privat, kakinya goyah. Koridor hotel tampak meregang, lebih panjang daripada tadi.
Tetap saja, ia memaksa maju. Di belakangnya, langkah Bento terdengar teratur—tenang, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk Anindita meremang.
Ia mencoba mempercepat langkah, namun tubuhnya justru semakin berat, seperti diseret bayangan yang mengekornya.
Panas itu terus merambat, menekan dari dalam hingga dadanya semakin terbakar. Pandangannya mulai mengabur; cahaya lampu koridor pecah menjadi lingkaran-lingkaran kabur.
“Hhh… hhh…” napasnya tersengal, seperti udara yang masuk tak pernah benar-benar mencapai paru-parunya. Suara debar jantungnya berdentum di telinga, dug-dug-dug, makin cepat, makin tak terkendali.
“Pa… panas… susah… nafas… sesak banget…” desisnya.
Tangannya meraba dinding, tapi jemarinya gemetar, nyaris tidak mampu menopang tubuhnya. Clutch dan iPad terlepas dari genggamannya, jatuh dengan bunyi debam kecil di lantai.
“Ninda…” Bento kembali menangkap lengannya. “Enggak usah maksain diri. Biarkan saya—”
“Jangan… dekat-dekat…” suaranya pecah, diiringi desahan tertahan.
Langkahnya makin terhuyung. Tepat ketika pintu lift terbuka, tubuhnya oleng ke depan—menabrak seseorang yang baru saja keluar. Benturan itu membuatnya hampir terjerembab.
“Oh… shiiiiit!” umpat Ninda, napasnya tersengal. Lututnya hampir menyerah ketika sebuah tangan kuat menangkap lengannya.
“Ninda?” suara itu rendah, asing.
Pandangannya kabur. Yang terlihat hanya siluet samar, tapi hangat yang melingkari pergelangan tangannya membuat dadanya bergetar aneh. “Ah…” desahannya lolos begitu saja.
“Hey, are you okay?” suara itu kini lebih jelas. Asing, tapi hangat yang melingkar di pergelangan tangannya justru membuat tubuhnya bergetar—berlawanan dengan penolakan yang barusan ia tunjukkan pada Bento.
***