Tubuh yang berkhianat

1594 Kata
Suara denting lift terdengar. Itu satu-satunya jalan keluar. Ninda mempercepat langkah, tumit stiletonya menghantam lantai marmer. Pandangannya berkunang, napasnya memburu. Tubuhnya makin panas, wine dan sesuatu yang diselipkan Bento ke minumannya membuat darahnya seperti mendidih. Ia hendak bersandar ke dinding, tapi tasnya terlepas. Clutch, ponsel, dan ipadnya jatuh berserakan. Ninda sempat melirik sekilas, tapi mengabaikannya. Yang penting sekarang: kabur. Matanya hanya fokus pada angka digital yang membayang di atas pintu lift. Begitu pintu itu terbuka, ia langsung melangkah cepat— Buk! Tubuhnya menabrak d**a seseorang. Benturannya cukup keras sampai bahunya sakit, kepalanya terantuk pelan. “Aghh…” rintihnya lirih. Refleks, lengan kokoh melingkari pinggangnya, menahan agar ia tidak terhempas ke lantai. Aroma maskulin bercampur wangi aftershave langsung menyergap hidungnya. “Sor—” “Ninda?” Ninda mengedipkan matanya beberapa kali. ‘Suara ini… kayak gue kenal.’ “Lo gak apa-apa?” Ninda buru-buru melepaskan pegangan pria itu. Ia mencoba berdiri dengan kakinya sendiri. Shiiit! umpatnya dalam hati. “Pa…tra…?” bisiknya parau. Patra Adinata Baskoro menatapnya lekat-lekat. Lima tahun. Lima tahun sejak terakhir kali ia melihat perempuan ini—dan sekarang... begini?. Dengan blouse V-neck terbuka, mata setengah sayu, dan tubuh yang gemetar. Rahang Patra mengeras. Jemarinya tanpa sadar meremas pinggang Ninda lebih erat. “Lo… sama siapa?” Tatapan Patra bergeser, menemukan seorang pria berjas biru mendekat, clutch wanita dan iPad di tangannya. Pandangan mereka bertemu sejenak. “Sorry, bro. She’s a little high,” ucap Bento dengan senyum tipis. Tangannya terulur, hendak meraih Ninda. Patra menggeser tubuhnya setengah langkah, berdiri di antara Ninda dan Bento, lalu melempar tatapan dingin ke arah pria itu. “High?” nada suaranya rendah. “Lo kasih apa ke dia?” Bento tertawa pelan, nada meremehkan. “Santai aja, bro. Gue cuma nolongin dia. Kita kenal lama kok. Gue yang handle.” Tangannya masih terulur, ingin meraih Ninda lagi. Ninda merintih kecil, tubuhnya makin panas. Jemarinya mencengkeram blouse di dadanya, napasnya memburu. “Ja…ngan… sentuh gue…” suaranya pecah lirih, tapi cukup jelas untuk membuat Patra menariknya ke belakang tubuhnya. Patra bereaksi lebih cepat dari pikirannya. Ia menarik Ninda ke belakang tubuhnya, melindunginya sepenuhnya. “Lo denger, kan? Dia nolak.” Suara Patra datar, tapi dinginnya terasa jelas. Bento mendecih, rahangnya menegang. “Lo siapa sih, ikut campur?” Patra mendekat sedikit, sorot matanya dingin. "Gue gak peduli urusan lo berdua. Tapi kalau dia gak nyaman, lo harus berhenti." Bento terdiam sepersekian detik, lalu tersenyum miring. “Santai, bro. Gue cuma nolongin.” Patra tak membalas. Hanya sorot matanya yang berkata banyak — tajam, dingin, dan jelas-jelas sebuah peringatan. Lift berbunyi pelan. “Ding.” Begitu pintunya terbuka, Ninda langsung masuk dan menempelkan tubuhnya pada dinding baja yang dingin, memejamkan mata. Pelipisnya basah, tubuhnya seperti terbakar. Bento melangkah hendak menyusul — tapi Patra menahan pintu lift dengan satu tangan, menatapnya tanpa senyum. “Gue saranin… jangan.” Nada suaranya datar, tapi ada ancaman yang jelas terasa di bawah permukaannya. Bento mengerjap, menahan diri. Rahangnya mengeras, tapi ia mundur setengah langkah. “Lo belum tau siapa lawan lo,” gumamnya dingin. Patra hanya menaikkan satu alis, ekspresinya tenang, nyaris meremehkan. “Gue juga saranin lo inget… siapa yang lo sentuh.” Pintu lift menutup perlahan. Tepat sebelum celah itu menutup rapat, Bento menatap tajam ke arah mereka. "Sial!" Umpat Bento. *** Di dalam lift, Ninda berusaha berdiri tegak, tapi lututnya bergetar hebat. Pandangannya kabur, tubuhnya panas seperti terbakar. Pintu lift hampir menutup, tapi Patra menahan dengan satu tangan dan masuk bersamanya. Ruangan sempit itu langsung terasa sesak. “Apa sih lo…” gumam Ninda parau, mencoba mendorong d**a Patra. Jemarinya bergetar, sentuhannya lemah. “Ja…ngan… sen…tuh… gue…” Patra tidak bergerak. Tatapannya jatuh ke wajah Ninda yang memerah, lehernya basah oleh keringat dingin. Rahangnya mengeras, tapi ia tidak melepaskannya. “Lo bahkan nggak bisa bedain atas sama bawah sekarang,” suaranya rendah, nyaris geraman. Ninda mengerjap, tubuhnya limbung, terhuyung ke depan — nyaris jatuh kalau saja Patra tidak lebih dulu meraih pinggangnya. “Lepas…” bisiknya lirih, tapi tangannya justru mencengkeram jas Patra, seolah tubuhnya mencari pegangan. Patra menatapnya lama, napasnya terdengar lebih berat dari biasanya. “Gue nggak akan nyentuh lo… kecuali lo minta.” Ninda mengelengkan kepala, mencoba memfokuskan pandangannya. "Lo... gue.... suami gue..." "Dimana suami lo?" Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya napas terbata Ninda dan keluh lirih yang lolos di sela bibirnya. Tangannya bergerak ke kancing blouse, wajahnya memerah, tubuhnya menjerit ingin bebas dari panas yang membakar. Patra dengan cepat menangkap pergelangan tangannya sebelum sempat membuka lebih. “Fu*vk,” desisnya, suaranya serak—bukan sekadar kaget, tapi juga penuh kekesalan. Lalu Patra melepaskan jasnya dengan cepat, menyampirkannya ke bahu Ninda, lalu ditarik rapat ke depan untuk menutupi d**a yang terekspos. Jemarinya cekatan mengikat kedua sisi lengan jas di depan tubuh Ninda, membungkusnya rapat seperti perisai. “Nggak usah gerak,” ucapnya rendah, nadanya setengah perintah, setengah ancaman. Tapi Ninda meronta pelan, tubuhnya panas, pikirannya kabur. “Gue… gerah…” suaranya serak. "Gue nggak peduli,” katanya dingin, tapi jemarinya menahan gerakan berontak Anindita. Pintu lift berdenting, terbuka. Di detik itu juga, Ninda mendorong d**a Patra dengan sisa tenaga yang ia punya. “Ja… jangan! I… ikutin… gue!” ucapnya, setengah berteriak. Patra sedikit terhuyung, cukup untuk memberi celah. Ninda langsung berlari keluar, tumit stiletonya beradu keras di lantai marmer, lalu menuruni tangga menuju area parkir basement. Udara di sana lebih dingin, tapi tidak cukup untuk meredam panas yang membakar darahnya. Ia menempelkan telapak tangan ke mobil terdekat, napasnya memburu, keringat menetes di pelipis. "aahh... sii...al..." pikirnya panik, mencoba mengingat dimana ponsel dan tasnya. Otaknya kacau, seperti kabut tebal yang menghalangi logika. Ia meraba-raba saku celana —kosong. Jemarinya bergetar, menyusuri pinggiran rok, mencari clutch yang jelas-jelas sudah hilang. Napasnya kian tersengal. "uugghhh..." Matanya berkunang, pandangan berputar. Setiap kali ia melangkah, stiletto-nya nyaris membuatnya terjatuh. Tangannya menahan di kap mobil, sementara tubuhnya gemetar hebat. Detik berikutnya, Patra membungkuk, lalu tanpa basa-basi menyelipkan satu tangan di bawah lututnya dan satu lagi di punggungnya. Dalam satu gerakan mulus, tubuh Ninda sudah terangkat dari lantai. Ninda menjerit lirih, tapi malah terdengar seperti desahan an tangannya terus bergerak di bahu Patra. “Berhenti teriak, Nin,” suara Patra berat, nyaris geraman. Rahangnya mengeras. “Atau gue geletakin lo di sini, di depan semua orang.” Ancaman itu cukup membuat Ninda terdiam, tapi tubuhnya tak mau patuh; panasnya terus mendesak, membuat napasnya terputus-putus. Jemarinya mencengkeram kemeja Patra, seolah mencari pegangan. “Gue… nggak… kuat, Pat…” Patra menunduk sedikit, rahangnya mengeras. Saat merapikan jaket di bahu Ninda, ujung jarinya tak sengaja menyentuh kulitnya yang membara — dan sentuhan singkat itu membuat Ninda memejamkan mata. Desahan lirih lolos begitu saja. “Ahhh… enak… Pat…” Patra sontak menahan napas, pandangannya membeku sepersekian detik. Sial. Telinganya jelas mendengar itu, tapi otaknya tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. “Lo cuma… kepanasan,” katanya datar, menahan diri agar tidak meledak. Tapi desahan Ninda makin lirih, tubuhnya gelisah, dan udara di kabin terasa semakin sesak. Patra memejamkan mata sejenak, menenangkan diri, lalu mempercepat gerakannya. Untung saja parkiran malam itu sepi, memberi mereka ruang tanpa tatapan siapa pun. Ketika mereka sampai di depan mobil, Patra segera membuka pintu dan setengah mendorong, setengah menggendong Ninda ke kursi penumpang. Tubuhnya jatuh dengan hentakan ringan, membuatnya meringis kecil. “Auuh!” protesnya lirih, bibirnya mengerucut. Patra tak peduli. Dengan cepat, ia meraih bahu Ninda, memperbaiki posisinya agar duduk tegak. Tapi tiba-tiba, wajah perempuan itu condong ke arahnya — bibirnya nyaris menyentuh rahang Patra. Hembusan napas panas Ninda menyapu kulitnya, membuat Patra sontak menegang. Jantung Ninda berdegup kencang. Pandangannya kabur, pikirannya separuh sadar. Dari jarak sedekat itu, ia bisa melihat garis rahang Patra yang tegas, bayangan cambangnya samar, dan aroma maskulin yang menusuk inderanya. Patra menarik napas dalam. Rahangnya mengeras, kedua tangannya menahan pundak Ninda agar tidak bergerak lebih jauh. Jarak mereka hanya beberapa inci. Ninda menelan ludah, matanya setengah terpejam. Dalam kepalanya, ia mengira Patra akan… Patra sedikit maju. Refleks, tubuh Ninda mundur cepat, punggungnya membentur sandaran kursi mobil yang dingin. Jantungnya berdetak kencang. Lalu— Klik. Patra menarik seatbelt dan menguncinya di daada Ninda. Pandangannya dingin, suaranya berat, nyaris seperti geraman. “Duduk. Diam.” Bibir Ninda kembali mengerucut, suaranya lirih nyaris manja. “Kok lo jahat banget…” Patra menatapnya sebentar, lalu menarik tubuhnya menjauh. “Lo bahkan nggak sadar sekarang,” gumamnya rendah. Namun tentu saja Ninda tidak diam. Tubuhnya gelisah, jemarinya meraih kerah Patra, kakinya bergerak tak tentu arah. Nafasnya memburu, kulitnya memanas. “Hhh… panas… Pa…tra… lepasin… ssshh…” Patra menghela napas panjang, senyum tipisnya muncul seolah menahan diri. “Gue udah bilang diam, Nin. Lo mau gue paksa?” Desah lirih lolos dari bibir Ninda, “Y… yes… please…” Rahangnya mengeras. Tanpa ragu, Patra melepas sabuknya sendiri dan kembali ke sisi penumpang. Jaket yang tadi ia lilitkan di tubuh Ninda sudah hampir terlepas. Satu tarikan cepat, ia merapikannya lalu mengikatnya di depan d**a Ninda. Sabuknya pun dililitkan erat, menahan tubuh perempuan itu agar tak lagi meronta. “Pa… tra… ja… jangan… ss…sakit…” Patra menunduk sedikit, menatapnya tajam. “Anindita.” Suaranya berat. “Diam.” Patra membanting pintu, lalu duduk di balik kemudi. Tangannya mencengkeram setir erat, mencoba mengatur napas. Tapi dari sisi penumpang, suara lirih itu terus terdengar. “Ahh… hhh… Tra… gerah… panas… tolong…” Patra menoleh sekilas. Ninda meringkuk gelisah, bibirnya setengah terbuka, napasnya tersengal, tubuhnya terikat seatbelt tapi tetap menggeliat seperti mencari sesuatu. “Fu*ck…” desisnya, rahangnya mengeras. Satu tangan terulur, menekan tombol di layar mobil untuk menelpon seseorang. Tatapannya kembali pada Ninda, napasnya memburu. Apa yang sebenarnya diminum perempuan ini…?! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN