Patra menekan tombol telepon. Nada tunggu hanya dua kali sebelum suara di seberang menjawab, santai tapi setengah mengejek.
“What an honor… Patra Adinata Baskoro nelpon gue.”
Patra tidak menanggapi. Suaranya datar, tajam.
“Bawa penetral stimulan. Sekarang. Apartemen gue.”
Hening sepersekian detik. Lalu terdengar dengusan pendek.
“Lo kira gue apotek jalanan?”
Patra meremas setir, nadanya turun satu oktaf, berat.
“Kalau obat itu nggak sampai dalam lima belas menit, pasien gue bisa mati.”
Suara di seberang langsung meninggi, setengah panik.
“Wait—what?! Maksudnya apa?!”
Patra melirik kursi penumpang. Ninda menggeliat resah, napasnya pendek, bibirnya setengah terbuka.
“Gue lagi meeting. Kenalan gue kena obat perangsang. Gue butuh obatnya sekarang.”
Suara di seberang terdengar ketus.
“Ya bawa aja ke UGD, bro! Gue nggak bisa ambil obat kayak gitu sembarangan. Nyokap gue direktur rumah sakit, satu vial ilang aja, kepala gue bisa dipenggal!”
Patra mendengus pelan.
“Kalau gue bawa ke UGD, besok headline koran penuh nama gue.”
Jeda singkat, lalu suara di seberang terdengar ragu.
“Jelasin dulu kondisi dia… Lagian, siapa sih yang bisa bikin lo sampai panik gini?”
“Nanti gue jelasin.” Suara Patra datar, tak terbantahkan.
“Tapi, Pat—”
“Gue yang bakal jelasin ke nyokap lo kalau ada apa-apa.”
Suara helaan napas berat terdengar di ujung sana.
“…Oke, gue sampe tiga puluh menit.”
“Lima belas,” potong Patra cepat.
“Gue harus ke rumah sakit dulu ambil vialnya, Pat.”
“Dua puluh.”
“Pat, ini Jakarta. Jalanan—”
Tuut…
Sambungan terputus.
Patra meraih tuas perseneling, menekan pedal gas. Mobil melaju lebih cepat, menembus lampu-lampu kota.
***
Patra membanting pintu apartemennya. Dengan panik, ia meletakkan tubuh Ninda di sofa panjang ruang tengah.
“Anindita,” panggilnya. Tak ada jawaban.
Denyutnya menggila. Napasnya patah. “Sial.”
Ponselnya berdering. Patra langsung mengangkat tanpa melihat layar.
“Lo di mana?” suara Pram cepat. “Gue udah di lobi.”
“Naik,” jawab Patra singkat dan sambung pun diputus.
Patra kembali menatap wajah Ninda yang pucat memerah, keringat menetes di pelipisnya. Ia meraih jaket yang membungkus tubuh Ninda, lalu menariknya pelan sampai terlepas.
Begitu udara dingin menyentuh kulitnya, Ninda mendesah lirih.
“Ssshh… ahhh… di…ngin…” gumamnya.
Patra terdiam sejenak, garis rahangnya menegang. Suara itu terlalu lirih, hampir seperti rintihan.
“Gue nggak tahu harus marah atau kasihan,” ucapnya rendah, nadanya setengah geram.
Tapi dari bibir Ninda hanya lolos desahan samar.
“Hhh… mmm…”
Patra mendekat sedikit, wajahnya hanya beberapa inci dari Ninda.
“Nin,” panggilnya pelan, suaranya berat dan rendah. “Tarik napas. Fokus sama gue.”
Tapi Ninda hanya menggeleng pelan, napasnya memburu tak teratur. Tangannya terulur, mencengkeram kemeja Patra. Ninda merasakan panasnya makin membakar, tapi udara dingin apartemen Patra justru membuatnya menggigil.
Hening menekan di antara mereka. Hanya napas pendek Ninda dan tarikan napas berat Patra yang terdengar. Lalu, bel pintu berdenting, memecah ketegangan yang menebal di udara.
Patra bangkit, langkahnya panjang menuju pintu.
Di ambang sana berdiri Pramudiya Ardhan Manggala — kemeja biru tua lengannya digulung, kaos putih tipis di baliknya. Rambutnya sedikit acak, senyum tengilnya berkembang setengah, dan satu tas hitam besar menggantung di bahunya.
Ia berjalan masuk tanpa diminta. Begitu pandangannya jatuh ke sofa, alis Pram langsung terangkat tinggi.
“Dari semua cewek di dunia ini…” ia mendengus pendek, “…kenapa harus istri sepupu lo? Pat, serius?”
Patra melirik tajam, rahangnya mengeras.
Pram mengangkat sebelah alis, senyum tipisnya makin jelas.
“Lo belum move on, ya?”
Patra menatapnya datar. “Pram, bacot. Buru periksa!”
Pram mengangkat satu tangan, pura-pura menyerah. Senyumnya menghilang, berganti fokus. Ia meletakkan tas di meja dengan bunyi berat. "Obatnya apa?" tanyanya cepat sambil membuka tas.
Patra mengeleng. “Enggak tahu gue."
Pram mendecak pelan, tangannya sudah meraih stetoskop.
“Asik banget, ya, yang bikin. Stimulan campur alkohol? Mau bikin orang panas sekaligus tumbang, apa gimana?”
Patra menatapnya datar, rahangnya mengeras. “Pram.”
“Ya, ya. Santai, gue kerja,” gumam Pram, mencondongkan tubuh untuk memeriksa Ninda.
Jemarinya cekatan, menyingkap sebagian blus. “Sorry, Nin,” lirihnya, lalu meletakkan stetoskop di d**a Ninda.
“Gue yakin ini GBL,” katanya, lebih pada dirinya sendiri. “Detak jantungnya cepat, tapi udah lebih stabil.”
Ia kembali ke tasnya, mengeluarkan sebuah spuit kecil berisi cairan bening. “Gue kasih penenang dosis rendah, cuma buat ngurangin efek stimulannya.”
Patra menahan napas. "Dia bakal… sadar?"
Pram melirik sekilas, tersenyum tipis. “Physicaly, dia bakal baik-baik aja. Tapi mentally… itu beda urusan.”
Jarum menembus kulit putih di lengan Ninda. Gadis itu mengerang lirih sebelum akhirnya kelopak matanya merapat, napasnya perlahan stabil.
“Tidur yang nyenyak, princess,” gumam Pram pelan, suaranya separuh bercanda, separuh iba.
Patra hanya berdiri kaku di sisi sofa, tatapannya tak lepas dari wajah Ninda yang masih basah keringat.
Pram meraih tasnya kembali, menutup resleting dengan bunyi srek yang jelas di ruang hening itu. Senyum miringnya muncul lagi.
“Gue dokter, Pat, bukan psikolog. Tapi tarif curhat gue sama mahalnya.”
Patra mendengus, tangannya meraih selimut tipis yang tersampir di sandaran sofa dan menyelimuti tubuh Ninda.
“Lo baru balik lima bulan,” Pram menatapnya sambil mencondongkan tubuh, nadanya setengah sindir setengah serius. “Dan lo udah bawa… dia ke sini?”
Pram menjatuhkan diri ke kursi single seberang sofa, menyilangkan kaki dengan santai seakan ruang tamu Patra milik sendiri. Tangannya merogoh rokok elektrik dari saku kemejanya, tapi tatapan Patra langsung tajam.
“Jangan.”
“Tenang aja, gue nggak bakal ngerokok di depan pasien.” Pram mengedikkan dagu ke arah Ninda yang terbaring. “Tapi serius, Pat. Lo sadar ini ribet banget kan? Kalau wartawan tahu lo bawa istri lo ke apart tengah malam, besok headline koran meledak.”
Patra menatap wajah Ninda lama, seolah mencari alasan kenapa harus peduli sejauh ini.
Pram mendesah dramatis. "Udah lah, jangan pura-pura cuek. Gue tahu lo dari dulu emang nggak bisa kalau udah nyangkut sama dia."
Tatapan Patra menyambar cepat, "Mulut lo, Pram."
Pram mengangkat kedua tangannya, pura-pura pasrah. "Gue cuma bilang fakta. Dari dulu, lo selalu liatin dia kayak...."
Satu bantal melayang menghantam wajahnya.
“Sensitif amat."
Namun Patra tidak membalas. Ia kembali menatap Ninda, yang terlelap dengan tenang. Jemarinya tanpa sadar mengusap pelipis perempuan itu, menyingkirkan anak rambut yang basah oleh keringat.
Pram, yang kini serius, bangkit. Ia berjalan ke jendela, menatap pemandangan kota di bawah.
“By the way…” Pram memutar badan, bersandar santai di bingkai kaca.
“Sepupu lo hari ini sah nikah.”
Patra mendongak cepat, keningnya berkerut. “Nikah?”
Pram mengangguk pelan, senyumnya miring. “Sama adik istrinya sendiri.”
Hening sepersekian detik. Rahang Patra menegang, jemarinya mengepal di sisi tubuh.
“Anj*ing…” desisnya pelan, hampir seperti geraman. “Adiknya Ninda?!”
“Adik tiri,” koreksi Pram santai, bahunya terangkat cuek. Matanya melirik sekilas ke arah Ninda. “Gila sih,” lanjutnya, nadanya datar. “Sepupu lo bisa dapetin dua cewek se-spek gini. Kakak beradik pula.”
Senyum miring Pram muncul lagi. “Gue cuma pengen tahu… dia pake dukun apa, Pat.”
Patra kembali menatap Ninda, tak segera mengalihkan pandangannya. Ekspresinya gelap—entah karena marah, atau karena perasaan lain yang tak ingin ia tunjukkan.
Ninda menggeliat pelan, bibirnya setengah terbuka, napasnya cepat. Jemarinya meremas ujung selimut, tubuhnya terlihat resah.
Pram mendekat, mengecek denyut nadinya sekali lagi.
“Hmm… detaknya stabil, tapi panasnya belum turun.”
Patra hanya menoleh sekilas, "Terus?"
“Obat penenang cuma nurunin efek stimulan, bukan bikin dia adem,” jelas Pram. “Makanya dia masih gelisah. It’s normal, bro.”
Patra memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang. “Jadi?”
“Kalau nggak mau dia overheating, lo harus turunin suhu tubuhnya sekarang. Rendam pake air dingin, kompres, terserah.”
Pram melepas stetoskopnya, lalu berdiri sambil meraih tas hitamnya.
“Gue balik. Kalau ada apa-apa, kabarin.”
Patra mendongak cepat. “Serius lo ninggalin dia kayak gini?”
Pram berhenti sebentar di ambang pintu, senyumnya miring.
“Pat, pilihan lo cuma dua. Air dingin… atau kasih dia kepuasan biar drop sendiri.”
Patra hanya menggeser dagunya sedikit. “Keluar.”
Pram mengangkat tangan pura-pura pasrah.
“Gue cuma ngasih opsi, eksekusinya terserah lo, Pat.”
Ia melangkah pergi sambil bersiul kecil, jelas menikmati ekspresi kesal Patra.
Pintu menutup. Sunyi.
Patra mendecak pelan, jemarinya menekan pelipis sambil menarik napas panjang. Tatapannya kembali pada Ninda di sofa… dan saat itu, ia menangkap gerakan kecil di sana.
Ninda menggeliat, kelopak matanya setengah terbuka. Bibirnya kering, napasnya tersengal. Jemarinya menyingkap selimut, lalu tangannya meraba d**a, menarik sedikit belahan blouse V-neck-nya, desah lirih lolos dari bibirnya.
Patra mendekat perlahan. “Nin…” suaranya nyaris berbisik.
Ninda tak merespons. Bibirnya bergetar, jemarinya gemetar menyentuh belahan blouse, seperti hendak membuka lebih banyak ruang untuk bernapas.
“F*ck…” desis Patra tertahan. Dalam sekejap, tangannya mencengkeram pergelangan Ninda, menghentikan gerakan itu.
Lalu, ia menyelipkan satu tangan di bawah lutut Ninda dan satu lagi di punggungnya. Tubuh perempuan itu terangkat ringan ke dalam pelukannya. Langkah Patra cepat, nyaris tergesa, menyusuri lorong apartemen menuju kamar.
Pintu kamar mandi dibuka dengan satu hentakan. Patra menurunkan Ninda perlahan ke dalam bathtub, lalu segera memutar kran, membiarkan air dingin memenuhi dasar bak. Jemarinya bergerak sigap, meraih shower di sampingnya, memutar tuas hingga alirannya sejuk, lalu mengguyurkan air itu ke tubuh Ninda.
“Tarik napas… pelan,” ucapnya rendah, suaranya nyaris serak. Guyuran air mengalir di leher, lalu turun ke pergelangan tangan, membasahi kulitnya perlahan sambil mencoba menurunkan panas tubuhnya.
Ninda hanya mendesah pelan, tubuhnya melemas tapi matanya masih setengah terpejam. Jemarinya meremas sisi bathtub, d**a naik-turun cepat.
Blouse tipisnya sudah basah kuyup, menempel erat di kulit Ninda yang panas. Patra menghela napas berat, lalu menariknya lepas dengan satu gerakan tegas. Kain itu jatuh di lantai, meninggalkan tubuhnya hanya terbalut pakaian dalam. Kulit pucatnya kontras dengan bra hitam tipis yang mulai lembap, membuat Patra harus menarik napas dalam untuk menahan diri.
Air dari shower terus mengucur deras, menuruni lekuk leher hingga perut Ninda. Dan saat itu, pandangan Patra berhenti.
Di bawah pusar, sisi kiri… tahi lalat mungil itu.
Rahang Patra langsung mengeras. Napasnya tercekat, jantungnya berdetak tak karuan. Sekilas, pikirannya kosong, seolah semua suara di luar menghilang.
Lalu, lirih…
“Adit…”
Nama itu lolos dari bibir Ninda, setengah sadar, nyaris seperti gumaman mimpi.
Patra menutup mata rapat-rapat, jemarinya mengepal kuat. Ucapan Pram tadi menggema di kepalanya:
Air dingin… atau kasih dia kepuasan.
“Brengs*k,” desisnya nyaris tanpa suara.
Ia berdiri mendadak, melangkah keluar kamar mandi, dan menutup pintu dengan satu hentakan.
***
*arti GBL: GBL biasanya merujuk pada Gamma-Butyrolactone, yaitu cairan kimia yang sering digunakan sebagai bahan pembuatan GHB (Gamma-Hydroxybutyrate) — semacam zat penenang yang bisa menyebabkan efek sedatif (penenang), pusing, hilang kesadaran, bahkan amnesia sementara.