Sisa Semalam

1279 Kata
Ninda menggeliat pelan. Ada sensasi aneh menjalar di tubuhnya, membuatnya merasa seperti bukan dirinya sendiri. Kepalanya terasa berat, dan dunia seolah berputar saat ia mencoba membuka mata yang lengket. ‘Kayak pernah nyium bau ini…’ pikirnya, alisnya berkerut, matanya masih terpejam. Samar-samar, aroma musk maskulin menyusup ke hidungnya, bercampur dengan hint kayu manis dan mint. Hangat… familiar… membuat tubuhnya terasa sedikit lebih tenang. Tapi kesadarannya menolak. Ini bukan aromanya Adit. Eh… bukan Adit? Alisnya berkerut, napasnya tercekat. Jantungnya berdetak lebih cepat, panik mulai merambat. Ia mengerjap perlahan, memaksa kesadarannya kembali. Ruangan itu gelap, tapi entah kenapa ia bisa merasakan… pagi sudah datang. Pandangan mulai fokus. Langit-langit putih… asing. Tirai blackout menutup rapat cahaya dari luar. Aroma maskulin samar memenuhi udara, menempel di dinding-dinding sunyi. Bukan kamarnya. Bukan rumahnya. Bukan hotel. Terus… ini apartemen siapa? Keningnya berkerut, memaksa otaknya untuk mengingat. “Semalem… gue minum sama Bento…” pikirnya kacau. Potongan ingatan berkelebat — dua gelas wine, tawa Bento, musik jazz samar, lalu… tubuhnya mulai panas. Kepala ringan. Pandangan berkunang. Deg. Kesadaran menghantamnya. Ninda terperanjat, jantungnya seolah jatuh. Pandangannya merayap cepat ke tubuhnya. Bajunya… nggak ada. “Oh, sh*t… no, no, no…” desisnya panik, jemarinya buru-buru menarik selimut tebal menutupi d**a. Belum sempat otaknya merangkai logika, suara engsel pintu terdengar. Pintu kamar mandi terbuka. Sosok tinggi keluar dengan hanya sehelai handuk melingkari pinggang. Rambut basahnya meneteskan air ke d**a bidangnya, ototnya tampak jelas di bawah cahaya lampu. Ninda membeku. Matanya melebar, mulutnya kering. “...Patra?!” Patra berhenti sebentar, tatapannya datar. “Lo udah bangun.” Deg. Deg. Deg. Jantung Ninda makin menggila. “L-lo…” bibirnya bergetar, wajahnya memanas sampai ke telinga, “…ngapain lo di sini?!” Patra hanya mengangkat satu alis. Pandangannya turun sebentar ke selimut tebal yang membungkus tubuh Ninda, lalu kembali menatap wajahnya. Senyum tipis—nyaris seperti ejekan—terbit di bibirnya. “Ini apartemen gue, Anindita.” Ninda terperangah. “Apa—” Pandangannya berkeliling cepat. Sebuah ranjang king size dengan seprai putih berantakan mendominasi ruangan. Di sisi lain, sofa panjang elegan membentang di bawah televisi layar lebar yang menempel di dinding. Di balik partisi kaca bening, berdiri lemari pakaian built-in dengan pintu geser yang mengilap. Lampu gantung modern bergaya industrial memancarkan cahaya temaram, memantul di permukaan kayu dan baja, memberi ruangan itu nuansa maskulin dan dingin. “Sh*t…” desisnya lirih, menatap Patra dengan mata membulat. “Tunggu, kapan kita ketemu?! Kenapa gue ada di sini?!” Patra melangkah santai menuju wardrobe built-in yang menempel rapi di balik partisi kaca. Ia menarik pintunya dengan gerakan ringan, meraih sesuatu dari dalam. Handuk basah di tangannya langsung ia lempar ke kursi kulit di sudut ruangan, tak sekalipun menoleh. Otot punggungnya masih berkilat basah di bawah cahaya lampu gantung modern, menegaskan siluet maskulin yang seolah tak peduli pada tatapan Ninda. “Kemarin malem,” jawabnya datar. Ninda tercekat. “Kemarin malem?” suaranya pecah, antara tak percaya dan panik. “Enggak… enggak mungkin.” “Kenapa nggak mungkin?” “Gue…” bibirnya bergetar, nyaris tak bersuara. “…semalem gue sama Bento.” Patra berbalik, menatapnya lama. Sorot matanya dingin, mengunci Ninda tanpa berkedip. “Dan lo pikir… kenapa lo bangun di sini sekarang?” Kepala Ninda berdenyut. Ia memejamkan mata, mencoba meraih sisa-sisa ingatan semalam, tapi yang muncul hanya potongan samar yang makin membuat dadanya sesak. Senyum tipis muncul di bibirnya, kali ini lebih sinis. “Atau…” suaranya menurun, nadanya menekan, “…lo berharapnya bangun di kamarnya Bento?” Darah Ninda mendidih, kepalanya berdenyut. “Apa sih lo, Pat!” Tanpa sadar, pandangannya bergeser ke arah tubuh Patra. Berdiri di balik partisi kaca bening, punggungnya telanjang, hanya boxer hitam melekat pas di pinggang. Otot punggungnya bergerak pelan saat ia mengacak-acak rambut basahnya. Setetes air meluncur turun, mengikuti lekuk punggungnya, lalu lenyap tepat di garis pinggang. Ninda menelan ludah. ‘Great. Kepala gue mau pecah, tapi mata gue malah dengan jelas nge-zoom beginian. Hebat, Nin. Hebat.’ Ia merutuk dalam hati. Ninda buru-buru memalingkan wajah, menarik selimut lebih rapat sampai dagu. Pipinya panas, bibir bawahnya tergigit. “Pat, pake baju lo yang bener, deh!” sergahnya, suaranya pecah dan lebih tinggi dari biasanya. “Dan… pake celana sekalian, please!” Patra mengenakan kaos hitam yang langsung melekat di badannya. Ia berbalik dan meraih celana training abu-abu. “Kenapa?” Ada jeda singkat sebelum kalimat berikutnya jatuh, “Lo kayak belum pernah liat gue telanjjang aja, Nin.” Mata Ninda membulat. Pipinya panas, merahnya jelas di bawah cahaya temaram. “Ki… kita…” suaranya tercekat, kalimat itu menggantung tanpa akhir. Patra mengenakan celana, lalu melangkah mendekat perlahan. Tubuhnya masih lembap, aroma maskulinnya samar memenuhi udara, membuat napas Ninda makin tak beraturan. Dan saat itu juga… potongan samar berkelebat di kepalanya — tawa, sentuhan, ciuman… semuanya kabur, wajahnya tak jelas. Ninda menggigit bibir bawahnya, matanya bergetar. “Gue… gue nggak inget apa-apa,” bisiknya lirih, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri. Patra berhenti di tepi ranjang, menatapnya lama, dalam, sampai udara seolah menipis. Ia mencondongkan tubuh sedikit, wajahnya semakin dekat. “Lo yakin… nggak inget apa-apa, Nin?” suaranya rendah, nyaris seperti desahan, tapi ada ketegangan yang jelas di ujungnya. Sebelum Ninda sempat menjawab, Patra mengulurkan tangannya, jemarinya menyentuh pipi Ninda pelan, dinginnya kontras dengan panas di kulitnya. Tatapannya tak berkedip, tajam, membuat d**a Ninda sesak. “Nggak apa-apa kalau lo lupa…” suaranya berat, dalam, “…gue bisa bikin lo inget.” Ninda sontak menepis tangannya, napasnya memburu. “Jangan sentuh gue, Pat!” sergahnya cepat. Suaranya melengking, campuran panik dan bingung. “Gue nggak mau tau apa pun soal semalem!” Patra menatapnya lama, lalu senyum sinis muncul di wajahnya. “Oke. Kalau mau lo kayak gitu…” suaranya rendah. Ia menggeser dagunya, menunjuk ke arah meja di depan sofa. “Baju lo lagi di laundry. Lagi dianter. Lo pake baju gue dulu.” Entah kapan, Patra sudah meletakkannya di sana. Sebelum Ninda sempat merespons, Patra menambahkan dengan bisikan berat, nyaris menghantam telinganya. “Gue masih inget… tahi lalat lo. Di bawah pusar.” Ninda menelan ludah, tubuhnya kaku. Getar ketakutan menjalari dirinya, bercampur malu dan marah. Ia benci bagaimana Patra selalu bisa membuatnya merasa kecil dan tidak berdaya. Tanpa menunggu balasan, Patra berbalik. Langkah kakinya mantap, cepat, lalu— Klik. Pintu menutup pelan. Anindita langsung membenamkan wajah ke bantal. “Uuughhhhhh!!!” teriaknya teredam kain, antara kesal, bingung, dan nyaris gila sendiri. Jantungnya masih kacau. Ia menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya, lalu bangkit pelan dan mulai mengitari kamar. Matanya liar mencari tas, clutch, ponsel—apa saja. Kosong. “Sh*t!” umpatnya lirih. Jemarinya mencengkeram tepi selimut lebih erat. “Dimana tas gue? Adit… pasti nyariin gue semaleman.” Tapi pikiran itu justru berbalik menghantamnya lebih keras. Adit. Citra. Hari pernikahan. Dan apa yang mereka lakukan di bridal room… masih menggema jelas di ingatannya. Deg. Kakinya melemas. Tubuhnya bersandar pada dinding, dan kali ini Ninda menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. “Gue enggak boleh nangis…” bisiknya pada diri sendiri Dengan gemetar, ia meraih kemeja hitam Patra yang tergeletak di ranjang. Aroma maskulin samar langsung menyeruak, membuatnya menahan napas sesaat. Selimut tebal yang sejak tadi membungkus tubuhnya jatuh begitu saja ke lantai saat ia menyeret langkah ke kamar mandi. Ninda berdiri di depan wastafel, menatap bayangan dirinya di cermin. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat, mata sembab. Ia menelan ludah, mencoba mengatur napas. Lalu matanya membulat. Di bagian atas dadanya, jelas terlihat dua tanda merah oval mencolok di kulitnya. Deg. Deg. Deg. Tangannya perlahan terangkat, nyaris tak berani menyentuhnya. “Oh, Tuhan…” suaranya pecah, serak. Hela napasnya tersendat, tipis dan pendek. Tangannya terangkat pelan, lalu berhenti di udara, seolah tubuhnya sendiri menolak menyentuh bukti itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN