Klik.
Pintu kamar menutup pelan.
Patra baru melangkah beberapa meter ketika suara teredam terdengar dari balik pintu.
“Uuughhhhhh!!!”
Jeritan panjang, tertahan bantal.
Langkahnya terhenti sepersekian detik. Ia menarik napas panjang, dagunya sedikit terangkat. Sudut bibirnya melengkung tipis — bukan senyum, lebih seperti gumaman tanpa suara.
Drama queen…
Ia melangkah ke ruang tengah. Sadewa sudah berdiri di sana, tegap dan rapi — kemeja putih bersih, jas arang gelap, rambut disisir klimis. Sepatu kulit hitamnya berkilat sempurna. Sosoknya selalu seperti bayangan Patra: tenang, efisien, tanpa banyak bicara.
“Pagi, Pak,” sapa Sadewa singkat.
Patra hanya mengangguk kecil, lalu menjatuhkan tubuh ke tepi sofa. Jemarinya meraih ponsel di sandaran dan menyalakannya.
“Gimana yang saya minta?”
Sadewa melangkah mendekat. “Sudah beres, Pak. Semua barang Bu Anindita aman.” Ia menunjuk tas, ponsel, dan iPad yang tertata di atas meja kaca. “Mobilnya juga udah saya pindahkan ke basement apartemen. Tidak ada jejak tersisa di hotel.”
Patra mengetuk lengan sofa perlahan, ritmenya teratur.
“Media?”
Sadewa menegakkan bahu. “Sudah dikunci, Pak. Dan…” — ada jeda singkat — “…Pak Bento sendiri yang minta rekaman CCTV dihapus.”
Patra mengangkat alis tipis. “Didn’t waste any time, did he?”
Senyum tipis muncul di bibir Sadewa.
“Wajar, Pak. Kalau bocor, reputasi dia sendiri yang jatuh.”
Patra memutar ponsel di tangannya.
“Dan soal informasi yang saya minta?”
"Benedicto Santara. Direktur utama Aurelia Group, jaringan hotel bintang lima. Usia empat puluh dua, duda. Sejauh ini catatan publiknya bersih.” Sadewa membacakan laporannya dari tablet.
Patra sedikit mengangkat dagu, ada binar dingin di matanya.
“Anything else?”
Sadewa mengambil napas singkat. “Ada, Pak. Aurelia sedang negosiasi dengan Mahitala untuk proyek resort besar. Nilainya cukup tinggi.” Ia menunduk sebentar. “Dan… soal pertemuan semalam, mereka sedang finalisasi draf kontrak.”
Patra berhenti memutar ponsel, ia terdiam sejenak.
“Oke. Gali lebih dalam”
Sadewa mengangguk. “Siap, Pak.”
Patra berdiri, langkahnya tenang menuju dapur. Tangannya meraih botol air mineral, menuangkannya perlahan ke gelas kaca.
“Soal meeting jam sebelas,” ucapnya datar tanpa menoleh, “undur besok.”
Sadewa yang membuntutinya mempercepat langkah, berhenti di sisi kitchen island.
“Tapi, Pak…” suaranya ditahan, ragu, “…rapat itu diminta langsung oleh Pak Ardanaya.”
Patra meraih gelasnya, meneguk setengah isinya sekaligus. Bunyi thok terdengar pelan saat ia meletakkannya kembali di meja. Pandangannya menoleh sebentar, tajam dan singkat.
“Justru karena itu saya undur.”
Sadewa sempat terdiam. Dalam dua tahun bekerja dengannya, ini pertama kalinya Patra menunda rapat sepenting itu — apalagi ini rapat direksi dengan Chairman Baskoro Group.
Namun ia cepat membaca situasi. Menahan komentar, ia hanya mengangguk patuh.
“Baik, Pak.”
Patra sudah menyalakan kompor, meletakkan teflon, lalu memecahkan dua butir telur. Bunyi mendesis pelan terdengar saat putih telur menyentuh permukaan panas.
“Ada lagi, Pak?” tanya Sadewa, masih berdiri tegap di belakang kitchen island.
Patra menjawab tanpa menoleh. “Itu saja dulu.”
“Kalau begitu, saya kembali ke kantor,” pamit Sadewa.
Patra hanya mengangguk tanpa menoleh, pandangannya tetap fokus pada teflon. Jemarinya cekatan merapikan putih telur yang melebar di permukaan panas.
Dan saat itulah, suara langkah pelan terdengar dari arah lorong kamar.
Sadewa spontan menoleh. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya begitu melihat sosok perempuan yang berdiri beberapa meter di depannya.
Ninda.
Kemeja hitam yang ia kenakan terlihat kebesaran, jatuh longgar menutupi lekuk tubuhnya. Rambutnya sedikit basah, beberapa helai menempel di pelipis, membuat wajah pucatnya tampak lebih lembut.
Tanpa riasan apa pun, kecantikannya tetap memikat dengan cara yang sederhana — kontras dengan sorot matanya yang tampak lelah.
Sadewa menunduk sopan. “Permisi, Bu.”
Ninda hanya membalas dengan anggukan kecil. Langkah Sadewa beranjak menjauh, pintu apartemen tertutup klik pelan.
Keheningan langsung memenuhi ruangan. Hanya bunyi mendesis dari teflon di atas kompor yang terdengar samar.
Ninda menarik napas pelan, lalu melangkah mendekat dan duduk di kursi bar, tepat di sisi kitchen island tempat tadi Sadewa berdiri.
“…Lo… masak?” tanyanya, setengah tidak percaya.
Tanpa menoleh, Patra menjawab santai, “Enggak. Gue lagi bikin eksperimen kimia.”
Ninda mendecak pelan, bibirnya mengerucut. “Bisa gak sih… sekali aja lo jawab normal?”
Patra tidak menanggapi, hanya mengambil dua piring, memindahkan telur dan sandwich ke atasnya, lalu meletakkannya di depan Ninda. Segelas jus jeruk menyusul.
“Makan,” ucapnya datar.
Ninda hanya melirik sekilas, lalu tanpa komentar langsung meraih sandwich dan menggigitnya kecil-kecil. Perutnya ternyata memang protes sejak tadi.
Patra menatapnya sebentar, satu alisnya terangkat. “Kirain lo mau drama dulu.”
Ninda mendongak setengah, mulutnya masih penuh. “Gue nggak punya energi buat debat sama lo, Pat.”
Patra tersenyum tipis, lalu ikut duduk di sampingnya, mengambil piring sendiri. Suara kunyahan mereka memenuhi dapur sesaat, hening tapi bukan hening yang nyaman.
Ninda akhirnya bersuara, lirih, “Jam berapa sekarang?”
Patra meraih gelas jus, meneguknya santai.
“Sembilan.”
Ninda terdiam.
Ia mengunyah sandwichnya perlahan, hampir tanpa rasa, lalu meletakkan potongan terakhir di atas piring. Gelas jus jeruknya ia angkat, meneguknya sampai habis.
Begitu gelas itu kembali ke meja, ia menarik napas panjang, mencoba meredakan degup jantungnya yang berantakan.
“Gue balik,” ucapnya.
Tanpa menunggu balasan dari Patra, ia buru-buru berdiri. Langkahnya tergesa menuju meja kaca. Ninda hendak kabur dari hadapan pria itu. Namun, baru beberapa langkah, langkah Ninda sudah terhenti dan dia sudah berada di pangkuan Patra.
Napasnya tercekat.
"Mau kabur ke mana, hm?" bisik Patra di telinganya, suaranya rendah dan berat. Aroma maskulinnya langsung menyerbu indra penciuman Ninda, membuatnya semakin gugup.
Ninda mencoba memberontak, tapi cengkeraman Patra di pinggangnya terlalu kuat. namun anehnya, ia tidak sepenuhnya ingin melepaskan diri.
"Pat, lepasin gue," ucap Ninda, berusaha terdengar kesal.
Patra justru semakin mengeratkan pelukannya. Ia menyandarkan dagunya di bahu Ninda, berbisik lagi, "Gue belum selesai sama lo, Nin."
Bulu kuduk Ninda meremang. Detak jantungnya kacau, denyutnya terdengar sampai ke telinga. Kenapa gue nggak langsung dorong dia? Kenapa tubuh gue malah…
Ia memejamkan mata rapat, mencoba menguasai diri. “Pat… gue istri sepupu lo.”
Patra terdiam sebentar, lalu tertawa kecil, sinis, benar-benar menikmati kegelisahan Ninda.
“Seinget gue…” ia menundukkan kepala sedikit, bibirnya menyentuh kulit leher Ninda sebentar, hanya sentuhan ringan yang membuatnya merinding, “…semalem lo nggak peduli sama itu semua.”
Ninda terperanjat, napasnya patah-patah. “Lo…”
Patra melanjutkan bisikannya, nyaris seperti desahan di telinganya, “Lo bahkan manggil nama gue, Nin… bukan nama dia.”
Deg.
Ninda membeku.
Bukan kilasan adegan panas yang muncul di benaknya, melainkan tatapan dingin Adit di pelaminan, senyum sinis Citra, dan bisikan Lestari yang menusuk. 'Anggap saja pengorbananmu membayar hutang budi kita.'
Ia membuka mata, menatap Patra dengan tatapan yang lebih tajam dari sebelumnya.
"Lo mau apa?" tanya Ninda, suaranya rendah, nyaris mengancam.
Patra mengangkat bahunya acuh tak acuh, tapi matanya memancarkan kilatan aneh. "Gue? Gue nggak mau apa-apa."
"Bohong," balas Ninda cepat. "Lo nggak mungkin nolongin gue tanpa alasan."
Patra tersenyum miring. "Siapa bilang gue nolongin lo? Gue cuma nggak suka lihat orang dimanfaatin."
Ninda memucat. "Bullshit," desisnya. "Lo pasti punya motif lain."
Senyum Patra makin lebar, tapi matanya tetap dingin. Ia mencondongkan tubuhnya, wajahnya hanya sejengkal dari Ninda.
“Bukannya sekarang giliran lo yang jelasin, Nin?” bisiknya tajam. “Lo lepas kendali semalem… apa lo pikir gue bakal pura-pura nggak ada yang terjadi?”
Ia berhenti sebentar, menahan tatapannya tepat di mata Ninda.
“Jadi gue tanya sekali lagi… lo inget apa yang lo lakuin semalem?”
Ninda terdiam, lidahnya kelu. Jemarinya mengepal erat di dadanya sendiri.
“…Gue nggak inget apa-apa,” ujarnya akhirnya, suara lirih itu nyaris terdengar seperti permohonan.
Patra menatapnya lama, intens.
“Sayangnya,” bisiknya rendah, “tubuh lo nggak bisa bohong, Nin.”
Patra mendekat, mengikis jarak hingga hanya tersisa sehelai napas. Hembusan napasnya yang hangat, beraroma mint dan musk, menyapu bibir Ninda, membangkitkan sensasi yang tak diinginkannya.
Ninda membeku. Otaknya menjerit 'Menjauh!', tapi tubuhnya berkhianat, membatu di tempat. Jantungnya berdebar keras.
Sepersekian inci lagi…
“Pat…” bisiknya tercekat.
Dengan sisa kekuatan yang ia kumpulkan, Ninda mendorong daada Patra sekuat tenaga.
“Stop it!” serunya terengah, suaranya serak dan bergetar.
Patra tidak marah. Senyum tipis muncul di bibirnya. Senyum dingin yang membuat Ninda makin benci.
"Br*ngs*k lo!"
Ninda meraih tasnya dengan gerakan kasar, lalu berbalik dan pergi, meninggalkan Patra di sana, dengan senyum yang masih berkembang di bibirnya.
***