Bab 3. Terpaksa menerima

1807 Kata
Happy Reading Shasha memutuskan untuk bertemu dengan Gama, seorang pengacara sekaligus teman lamanya. Ia memilih sebuah restoran mewah dengan ruangan VIP untuk menjaga privasinya. Demi menghindari sorotan publik dan jepretan kamera netizen yang selalu mengintainya, Shasha menyamar dengan kacamata hitam dan topi. Ia tiba dengan langkah cepat dan sedikit tergesa-gesa. "Sorry Gam, tadi gue harus nyamar dulu. Tau sendiri kan netizen di mana-mana pasti kamera hpnya on," ujar Shasha sambil mengatur napasnya, lalu duduk di kursi empuk yang menghadap Gama di salah satu ruang VIP restoran tersebut. Restoran ini terkenal dengan desain interiornya yang elegan dan suasana yang tenang, cocok untuk pertemuan pribadi. "Iya, gue tahu kok. Nggak apa-apa. Mau pesen dulu?" tanya Gama, memahami kekhawatiran Shasha sebagai publik figur. Ia memberikan senyuman menenangkan kepada sahabatnya itu. "Boleh," jawab Shasha singkat, sembari meletakkan tasnya di samping kursi dan melepaskan kacamata hitamnya. Ia menatap Gama dengan raut wajah yang menyimpan beban pikiran. Gama segera memanggil pelayan dan memesan makanan kesukaan Shasha, steak salmon dengan saus lemon dan segelas jus jeruk segar. Setelah pelayan mencatat pesanan mereka dan berlalu, barulah Shasha mulai mengungkapkan tujuan sebenarnya menemui Gama. Ia menghela napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang berat. "Gam, gue mau cerai," ucap Shasha dengan suara lirih, menatap lurus ke mata Gama. "Nggak salah dengar, kan gue? Lo mau cerai sama Rai? Bukannya kalian selama ini adem ayem?" seru Gama terkejut. Selama ini, ia melihat rumah tangga Shasha dan Rainer terlihat harmonis dan jauh dari gosip miring. Kabar perceraian ini sungguh di luar dugaannya. "Gue emang nggak ada masalah sama Rai, tapi dia yang punya masalah. Kayaknya selama ini gue cuma dijadiin pelarian. Rainer masih cinta sama Bina dan bentar lagi Bina balik ke Indonesia. Lo tahu apa yang akan Rai lakuin kalau Bina balik?" tanya Shasha dengan nada getir. Matanya mulai berkaca-kaca. Gama langsung menggeleng, menunjukkan bahwa ia tidak tahu menahu mengenai hal ini. Ia menatap Shasha dengan penuh rasa ingin tahu, menunggu penjelasan lebih lanjut. Shasha tersenyum pahit. "Rai mau cerain gue dan balik sama Bina. Dia bilang Bina adalah cinta sejatinya, dan selama ini dia hanya berusaha membuat Bina cemburu dengan nikah sama gue. Dia bilang pernikahan kami hanya sebuah sandiwara untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya. Sakit, Gam, rasanya sakit sekali," ujar Shasha, suaranya tercekat. Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia mengambil tisu dan mengusap air matanya. "Jadi, sebelum dia menceraikan gue, lebih baik gue duluan yang mengakhiri pernikahan sandiwara ini! Gue nggak mau dicampakkan begitu saja setelah dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Gue mau mempertahankan harga diri gue," lanjut Shasha dengan suara tegas, walaupun raut wajahnya masih dipenuhi kesedihan. Ia menatap Gama dengan penuh harap, menunggu bantuan dari sahabatnya itu. "Gue butuh bantuan lo, Gam. Tolong urus perceraian gue." *** Setelah seharian Shasha sibuk mengurusi perihal perceraian dengan Gama, Shasha memutuskan untuk pulang. Dia tidak membuka ponselnya sama sekali. Dua hari ke depan dia sudah izin pada managernya–Katty kalau dia tidak enak badan dan libur pemotretan. Sebenarnya Shasha menggunakan waktu dua hari untuk mengurus perceraian dan dia akan pulang ke Banyuwangi, ke rumah sang Ibu. Shasha sudah bertekad dalam hati jika dia benar-benar akan mengakhiri pernikahannya dengan Rainer. Meskipun sejujurnya dia masih sangat mencintai sang suami, tetapi mengetahui fakta jika Rainer tidak pernah mencintainya, membuat Shasha harus mengubur dalam-dalam perasaannya. Apalagi dia kini tengah mengandung anak Rainer, Shasha takut pria itu menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya jika Rainer tahu tentang kehamilannya. Jika saja dia tidak mendengar ucapan Rainer di telepon waktu itu dengan Sabrina, tentu saja Shasha tidak akan pernah tahu jika Rainer tidak pernah tulus mencintainya. Rainer masih sangat mencintai Sabrina dan akan menceraikannya demi wanita itu. "Gue harus siap sakit hati sekarang, daripada sakit hati belakangan," gumam Shasha saat masuk ke dalam kamarnya. Dia tidak melihat Rainer dari pagi, pria itu hanya memberikan pesan jika dia ada syuting di luar kota selama seminggu. Shasha tersenyum pahit, sebenarnya Rainer ini sering meninggalkannya karena pekerjaan dan dalam waktu tiga tahun ini Shasha sering sendirian di rumah. Awalnya Shasha mengira jika Rainer memang pekerja keras, mengambil semua jadwal pemotretan dan bermain film. Nyatanya mungkin saja Rainer memang sengaja menghindarinya. "Sakit banget Rai! Gue nggak nyangka lo tega membohongi gue selama ini!" *** Perasaan hampa dan lelah yang mendominasi hati Shasha. Semalam dia hanya berdiam diri di dalam kamar dan tertidur sambil menangis. Shasha tidur dengan mata yang membengkak. Shasha tersenyum pahit, dia berjanji pada dirinya sendiri jika semalam adalah air mata terakhirnya untuk Rainer. Yang terpenting saat ini adalah membersihkan diri dan mempersiapkan mental untuk menghadapi hari yang berat. "Gue harus kuat! Baby, bantu Mami kuat, ya?" Shasha mengelus perutnya yang masih datar. Dia bertekad akan pergi dari kehidupan Rainer dan hidup bahagia bersama ibu dan anaknya nanti. Shasha bangkit perlahan, kakinya terasa lemas, namun tekadnya sudah bulat. Shasha berjalan menuju kamar mandi, air dingin yang mengguyur tubuhnya sedikit meredakan rasa pusing dan menyegarkan pikirannya. Setiap tetes air seakan membasuh sisa-sisa kesedihan dan kekecewaan yang masih membekas. Setelah selesai mandi, Shasha memilih pakaian yang rapi dan sopan. Ia berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Wajahnya pucat, matanya sembab, namun sorot matanya memancarkan keteguhan. Hari ini adalah hari yang penting, hari di mana ia akan resmi mengakhiri ikatan pernikahannya dengan Rainer. Perceraian bukanlah hal yang mudah, namun Shasha telah memantapkan hatinya. Ia telah melewati banyak pertimbangan, banyak air mata, dan banyak sekali pemikiran yang dia ambil untuk kedepannya. Keputusan ini bukanlah keputusan yang impulsif, melainkan keputusan yang telah dipikirkan masak-masak. Shasha mengambil tasnya, memeriksa kembali berkas-berkas penting yang dibutuhkan untuk proses perceraian yang diberikan oleh Gama. Ia harus memastikan semuanya lengkap dan tidak ada yang tertinggal. Hari ini, ia akan memulai babak baru dalam hidupnya, babak di mana ia akan belajar untuk kembali mencintai dirinya sendiri dan membangun kembali hidupnya. Shasha menarik napas dalam-dalam, menguatkan hatinya. Ia siap menghadapi apapun yang akan terjadi di pengadilan nanti. Ia siap untuk melepaskan masa lalunya dan melangkah menuju masa depan yang lebih baik. Dengan langkah tegap, Shasha keluar dari rumah menuju pengadilan untuk mengurus perceraian yang telah dinantikannya. *** Sepuluh tahun kemudian. Banyuwangi. Hawa sejuk khas udara desa menyelimuti Shasha, membuatnya sedikit menggigil meskipun matahari bersinar cukup terik. Di hadapannya, sebuah nisan marmer putih berdiri tegak, bertuliskan nama "Ningsih Ayudiah", nama sang ibunda tercinta. "Ma, Shasha kembali ke Indonesia karena butuh pekerjaan ini. Shasha benar-benar membutuhkannya, Ma. Doakan Shasha agar semuanya lancar, ya, Ma. Shasha minta restu dari Mama, semoga Devan bisa sembuh ya, Ma? Mama apa kabar di sana?" ujar Shasha lirih, suaranya tercekat oleh rasa haru. Jemarinya dengan lembut mengelus permukaan batu nisan yang dingin, seolah-olah sedang membelai wajah ibunya. Rindu yang mendalam terasa begitu nyata, menghujam ulu hatinya. Sudah bertahun-tahun Shasha meninggalkan Indonesia, mengejar karir di negeri orang. Keputusan itu bukanlah hal yang mudah, namun ia harus melakukannya demi masa depannya dan putranya, Devan. Setelah perceraiannya dengan Rainer sepuluh tahun yang lalu, hidupnya berubah drastis. Kabar kehamilannya disambut dengan duka mendalam karena di saat yang bersamaan, Mama Ningsih jatuh sakit. Kondisi kesehatan sang ibu terus menurun hingga akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhir sebelum Shasha melahirkan Devan. Kenangan pahit itu masih terpatri jelas dalam ingatan Shasha, seperti luka yang tak kunjung sembuh. Waktu itu, dunia Shasha seakan runtuh. Ia kehilangan orang yang paling dicintainya dalam keadaan hamil sembilan bulan. Rasa sakit dan kehilangan yang mendalam hampir saja menghancurkannya. Namun, demi Devan, buah hatinya, Shasha harus bangkit dan tetap tegar. Ia harus melanjutkan hidup dan memberikan yang terbaik untuk putranya. Devan adalah alasannya untuk terus berjuang, sumber kekuatannya di tengah badai kehidupan. "Ma, Shasha mungkin akan bertemu dengan Rainer di pembuatan film ini. Shasha terpaksa menerima kontrak ini, Ma, karena Shasha butuh banyak uang untuk pengobatan Devan. Mudah-mudahan Shasha kuat menghadapi semuanya, demi Devan." Shasha menghela nafas panjang, dadanya terasa sesak. Membayangkan akan bertemu kembali dengan mantan suaminya setelah sekian lama, membuat hatinya berdebar tak karuan. Rasa sakit hati, kecewa yang mendalam tentu saja masih tersisa di lubuk hatinya untuk Rainer. Namun, demi kesembuhan Devan, ia harus mengesampingkan perasaannya sendiri. Ia harus kuat dan fokus pada tujuannya. Setelah hampir satu jam berziarah ke makam sang Mama, menuangkan segala isi hatinya, Shasha akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel. Hari sudah mulai siang, dan ia harus mempersiapkan diri untuk penerbangan ke Jakarta esok hari. Perjalanan panjang menantinya, dan ia harus memastikan dirinya dalam kondisi prima untuk menghadapi segala tantangan yang ada di depan. Ia berjanji pada dirinya sendiri, dan juga pada Mama Ningsih, bahwa ia akan melakukan apapun demi kesembuhan Devan. *** Rainer menatap skrip naskah yang ada di tangannya dengan seksama, jemarinya menelusuri setiap baris dialog yang tertulis rapi. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya, mengungkapkan rasa lega dan antisipasi yang bercampur aduk. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, menandakan adanya kegembiraan yang terpendam. Pikirannya melayang pada sosok Shasha, mantan istrinya yang bersedia untuk bekerja sama dengannya dalam proyek film terbarunya. "Jadi, dia benar-benar menerima tawaran ini?" tanya Rainer pada asisten pribadinya, Edo, suaranya terdengar sedikit bergetar karena menahan rasa antusiasme. "Iya, Mas Rainer. Akhirnya setelah sebulan penuh pihak agensi film merayu dan membujuk Shasha dengan berbagai penawaran menarik, dia mau menerima tawaran main film ini. Tentu saja, kesepakatan ini juga melibatkan negosiasi gaji yang cukup alot. Shasha akhirnya menyetujui angka yang fantastis, mengingat reputasi dan bakatnya yang luar biasa," jawab Edo, asisten pribadi Rainer yang telah setia mendampinginya selama bertahun-tahun. Edo tahu betul betapa pentingnya proyek film ini bagi Rainer, bukan hanya dari segi profesional, tetapi juga dari segi personal. "Bagus! Segera atur jadwal untuk bertemu dengannya. Aku ingin melihatnya langsung dan berdiskusi lebih detail mengenai perannya sebelum proses syuting dimulai. Kita perlu memastikan bahwa dia benar-benar siap dan nyaman dengan karakter yang akan diperankannya," ujar Rainer dengan nada tegas, menunjukkan keseriusannya dalam menggarap proyek film ini. Ia ingin memastikan bahwa semuanya berjalan dengan lancar dan sesuai dengan rencananya. "Bukannya Mas Rainer udah sering lihat Shasha, ya? Meskipun dari jarak jauh dan diam-diam... ups!" Edo tiba-tiba menghentikan kalimatnya dan langsung menutup mulutnya dengan tangan, menyadari bahwa ia telah keceplosan mengatakan sesuatu yang seharusnya dirahasiakan. Edo tahu bagaimana Rainer selama ini selalu mencari informasi tengang keberadaan Shasha. Setelah berhasil menemukan sang mantan istri, Rainer malah tidak mau menemui secara langsung bahkan hanya bisa mengikutinya secara diam-diam. Rainer hanya melirik Edo dengan tatapan dingin, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia kemudian berdiri dan melangkah keluar dari studio dengan langkah tegap, meninggalkan Edo yang masih terdiam di tempatnya. Ya, setahun yang lalu, Rainer memang telah berhasil bertemu dengan Shasha saat menghadiri acara fashion show di Hongkong. Namun, ia hanya bisa menatap mantan istrinya dari kejauhan tanpa berani mendekat. Rainer menyadari bahwa Shasha meninggalkannya karena kesalahannya di masa lalu, dan ia masih belum berani untuk menghadapi Shasha secara langsung. Pertemuan dalam proyek film ini akan menjadi momen yang krusial baginya, sebuah kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka yang telah lama hancur. Ia berharap, melalui proyek ini, ia dapat kembali meraih hati Shasha dan menebus kesalahannya di masa lalu. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN