Happy Reading
Shasha menghela napas panjang, helaan napas yang sarat dengan berbagai emosi yang bercampur aduk. Di tangannya, lembaran-lembaran naskah film tergenggam erat, kisah yang akan segera menjadi bagian dari perjalanan karirnya. Judulnya tercetak jelas di sampul depan, sebuah cerita yang akan menuntutnya untuk menyelami karakter Kania, seorang wanita malam dengan segala kompleksitas dan lika-likunya.
Shasha telah malang melintang di dunia hiburan sejak usianya masih belasan tahun. Perjalanan karirnya dimulai dari bawah, merangkak dari peran-peran figuran yang seringkali tak ternama, hingga akhirnya berhasil meraih posisi sebagai pemeran utama. Pengalaman bertahun-tahun itu telah menempa kemampuan aktingnya, mengasahnya menjadi seorang aktris yang handal dan profesional.
Dalam tiga tahun terakhir, namanya bersinar terang di industri perfilman China dan Korea. Popularitasnya meroket, menjadikannya salah satu artis besar yang paling dicari. Prestasinya pun tak main-main, Shasha berhasil mencatatkan rekor gemilang dengan membintangi 15 film berturut-turut sebagai pemeran utama, sebuah pencapaian yang luar biasa dalam sejarah karirnya. Sepuluh tahun dia pergi ke luar negeri untuk merintis karir dan hasilnya sukses besar.
Di kancah internasional, namanya melambung tinggi, dikenal dan diakui oleh banyak orang. Namun, di negeri sendiri, namanya masih tersembunyi di balik bayang-bayang popularitasnya di luar negeri. Shasha mungkin belum begitu dikenal oleh masyarakat Indonesia karena sejak usianya 21 tahun dia pergi ke Korea.
"Gimana? Kamu udah siap untuk menjadi Kania si wanita malam? Peran ini sebenarnya banyak artis yang mau, lho," ujar Silvia, manajer Shasha, dengan nada suara yang antusias. "Banyak artis papan atas yang mengincar peran ini, mereka bahkan sampai menghubungi pihak agensi secara langsung. Tapi, pihak agensi Cahaya Film bersikeras, mereka hanya menginginkan kamu yang menjadi pemeran utama Kania. Mereka sangat terkesan dengan kemampuan aktingmu di drama-drama China, terutama setelah melihat penampilanmu di film-film sebelumnya. Mereka yakin kamu bisa menghidupkan karakter Kania dengan sempurna," lanjut Silvia, menjelaskan betapa istimewanya Shasha di mata pihak agensi.
"Siap nggak siap, mereka juga maksa, kan?" Shasha menjawab dengan nada datar, menyembunyikan gejolak perasaan yang sebenarnya berkecamuk di dalam hatinya. "Aku juga lagi butuh banyak uang. Jadi, yah ... harus profesional. Lagipula, ini kesempatan bagus untuk menunjukkan kemampuanku di negara sendiri," tambahnya, mencoba meyakinkan Silvia jika dia memang sangat membutuhkan peran ini.
"Betul, lagian kamu nanti akan berakting dengan aktor yang lagi naik daun. Ini kesempatan yang bagus buatmu, Sha."
Shasha mengedikkan bahunya, sebuah gestur yang mencerminkan rasa pasrahnya. Dia merasa tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran ini, meskipun harus memerankan karakter yang jauh berbeda dari kepribadiannya.
Ada rasa berat di hatinya, namun ia harus tetap profesional dan memberikan yang terbaik. Shasha tahu, peran Kania ini adalah sebuah tantangan besar, sebuah ujian bagi kemampuan aktingnya.
Sebenarnya, kendala yang dihadapi Shasha bukan hanya satu, melainkan serangkaian perasaan rumit yang berpusat pada satu sosok: Rainer Anshel, pemeran utama pria dalam film dewasa yang akan dibintanginya itu.
Nama itu sendiri bagaikan duri yang menusuk hatinya, membangkitkan kenangan pahit yang telah lama ia kubur. Awalnya, Shasha menolak mentah-mentah tawaran bermain dalam film tersebut. Bayangan harus beradu akting dengan Rainer, mantan suami yang pernah begitu dicintainya sekaligus menjadi sumber luka terdalamnya, membuatnya gentar. Namun, besarnya bayaran yang ditawarkan akhirnya menggoyahkan pendiriannya.
Kontrak tersebut menawarkan sejumlah uang yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, Shasha sendiri memang sedang butuh uang banyak untuk biaya kemoterapi putranya.
Shasha pun terpaksa menelan egonya, mengesampingkan gejolak batinnya demi kesempatan yang sulit ditolak. Sepuluh tahun Shasha berusaha menghilang, menjauh dari bayang-bayang Rainer, mencari kedamaian di negeri asing, dan kini takdir mempertemukan mereka kembali dalam situasi yang tak pernah ia duga.
Akankah Shasha sanggup menghadapi Rainer? Mampukah ia berakting profesional tanpa terjebak dalam pusaran emosi masa lalu? Pertemuan ini bukan hanya sekedar pertemuan dua mantan pasangan, tetapi juga konfrontasi Shasha dengan luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
"Aku pasti bisa, anggap aja lagi melakoni adegan dengan aktor asing seperti biasanya," batin Shasha.
Pergi ke luar negeri dulu adalah pilihan sulit yang ia ambil, sebuah pelarian untuk menghindari Rainer dan memberi waktu bagi hatinya untuk pulih. Kini, ia dipaksa bertatap muka dengan sumber kesakitannya, sebuah ujian berat bagi kekuatan dan ketabahannya.
"Minggu depan kita mulai syuting, adegannya diambil di sebuah klub malam. Kamu harus menghapal dialognya," ujar Silvia, suara manajernya membuyarkan lamunan Shasha.
"Iya," jawab Shasha pendek, suaranya hampir tak terdengar. Semangatnya menguap entah kemana, digantikan oleh perasaan gelisah.
"Kenapa kayaknya kamu nggak antusias?" tanya Silvia, menatap Shasha dengan tajam. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan artisnya itu.
"Biasa aja, mungkin karena aku harus adaptasi berperan jadi wanita malam," jawab Shasha berusaha menampilkan senyum yang terlihat kaku.
Ia tidak ingin Silvia mencurigai pergolakan batin yang sedang dialaminya. Sebenarnya, bukan peran sebagai wanita malam yang membuatnya tidak antusias, melainkan prospek harus bertemu dan beradu akting dengan Rainer. Bayangan itu saja sudah cukup membuat dadanya sesak dan napasnya terasa berat. Ia berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya, berharap Silvia tidak menemukan kebohongan di balik senyum palsunya.
"Oke deh, aku yakin kamu pasti bisa. Sekarang hapal dulu dialognya. Aku mau pergi beli makanan dulu," ujar Silvia mengambil ponsel dan kunci mobilnya.
Shasha lagi-lagi menghela napas berat, menatap dialog naskah yang kini terasa sangat sulit untuk dia hapal.
Suara dering ponsel membuat Shasha menoleh ke arah tasnya. Dia mengambil ponsel itu dan langsung mengangkat panggilan telepon itu.
"Halo, Dev?"
"Halo Mom! Mommy lagi apa?"
"Mommy lagi kerja, Nak. Devan udah makan? Jangan lupa minum obatnya ya?"
"Iya Mom, tadi barusan minum obat. Mommy berapa lama di sana? Jangan lama-lama, Mom. Dev nggak mau ditinggal lama. Kenapa Mommy nggak aja Devan, sih? Biasanya juga kalau ada pekerjaan di luar negeri Devan di ajak."
Shasha tersenyum mendengar celotehan putranya, usia Devan baru sembilan tahun dan putranya itu selalu memberikan semangat untuknya.
"Paling lama sebulan, tapi nggak tahu. Mudah-mudahan Mommy bisa segera pulang. Devan kan harus sekolah, ada Bibi Ana juga yang menemani Devan."
"Iya deh. Mommy harus jaga kesehatan, ya?"
"Devan juga ya, nak? Besok kalau Mommy balik ke Korea, Devan bisa operasi. Mommy akan berusaha untuk mencari sumsum tulang belakang yang cocok untuk Devan."
Setelah berbincang cukup lama dengan sang putra, akhirnya Shasha mengakhiri panggilannya.
***
"Sha, aku baru dapat telepon dari asisten Rainer, Edo, katanya nanti malam kita harus bertemu," ujar Silvia tiba-tiba, membuat Shasha menoleh dari naskah film yang sedang dibacanya.
Silvia terlihat sedikit terburu-buru dan antusias saat menyampaikan pesan tersebut. Shasha meletakkan naskahnya di atas meja, menatap Silvia yang masuk ke apartemennya kembali dengan tergesa-gesa setelah mendapatkan telepon dari Edo. Raut wajahnya menunjukkan kebingungan bercampur rasa penasaran.
"Bertemu? Untuk apa?" Shasha mengerutkan keningnya, menatap Silvia dengan intens. Pikirannya mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Apakah ada perubahan jadwal syuting? Atau ada hal penting lain yang perlu dibicarakan? Shasha merasa sedikit tidak nyaman dengan pemberitahuan mendadak ini.
"Mungkin biar kalian bisa kenal lebih akrab, biasanya juga gitu sih, kan kamu nanti akan beradu akting dengan Rai, kalian bisa saling sapa dulu dan menggali chemistry sebelum beradu akting," jawab Silvia terlihat senang. Ia berjalan mendekati sofa dan duduk di samping Shasha. "Bayangkan, Sha, makan malam bersama Rainer! Ini kesempatan langka, lho!" tambahnya dengan nada bersemangat.
Bagi Silvia, sikap Rainer yang seperti ini sangat langka. Pria itu sangat sulit untuk ditemui, bahkan dikabarkan jika dia bermain film, tidak pernah saling sapa dengan lawan mainnya di luar pekerjaan, apalagi mengajak makan malam. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat tertutup dan menjaga privasinya. Kabar jika Rainer ingin bertemu dengan Shasha secara pribadi tentu saja menjadi berita luar biasa bagi Silvia. Ia membayangkan betapa beruntungnya Shasha mendapatkan kesempatan ini. Mungkin ini juga bisa menjadi batu loncatan bagi karir Shasha di dunia perfilman.
"Nggak perlu, kita bisa ketemu dan kenalan langsung di lokasi syuting," jawab Shasha dengan dingin.
Dia memang tidak ingin bertemu dengan Rainer di luar syuting. Pertemuan di luar konteks pekerjaan hanya akan membuka kembali luka lama yang berusaha keras ia kubur. Ia tidak siap untuk berhadapan dengan Rainer dalam situasi informal. Cukuplah interaksi profesional di lokasi syuting.
Dia akan bersikap professional sebagai Kania, karakter yang akan ia perankan, dan tidak ingin ada pertemuan pribadi dengan mantan suaminya yang sudah memberikan luka terdalam. Kenangan pahit masa lalu masih begitu jelas terpatri dalam ingatannya. Shasha berusaha keras untuk melupakan Rainer dan melanjutkan hidupnya beberapa tahun ini. Jika bukan karena peran Kania yang membuatnya bisa mendapatkan uang banyak, tentu saja Shasha tidak akan pernah mau beradu akting dengan Rainer.
"Kenapa? Seharusnya kamu bangga loh, seorang aktor seterkenal Rainer mau ngajak kamu bertemu? Ini kesempatan yang banyak orang impikan, Sha!" Silvia berusaha membujuk Shasha. Ia tidak mengerti mengapa Shasha menolak kesempatan emas ini.
"Sil, katanya tadi mau beli makanan? Aku laper," ujar Shasha mengalihkan perhatian. Ia tidak ingin membahas topik ini lebih lanjut. Perutnya yang keroncongan menjadi alasan yang tepat untuk mengalihkan pembicaraan.
"Oke-oke, aku beliin makanan, tapi nanti malam kamu tetep harus bertemu dengan Rainer, titik nggak pakai koma!" Silvia langsung pergi keluar setelah mengatakan itu, meninggalkan Shasha yang termenung di sofa. Keteguhan Silvia membuatnya semakin frustrasi.
Shasha hanya bisa menghela napas panjang. Kalau sudah seperti ini memang dia harus berani menghadapi dan tidak boleh menghindar. Ia tahu Silvia hanya ingin yang terbaik untuknya, tetapi ia belum siap untuk bertemu Rainer. Pertemuan ini akan menjadi ujian berat baginya.
"Apa maumu sebenarnya?" batin Shasha, menatap kosong ke arah pintu apartemen. Pertanyaan itu terus berputar di benaknya, menimbulkan rasa cemas dan gelisah. Ia merasa seperti terjebak dalam situasi yang sulit.
Bersambung