Happy Reading
Shasha menatap pantulan dirinya di cermin, mengamati setiap detail penampilannya. Gaun malam berwarna biru tua yang ia kenakan memeluk tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya yang ramping. Rambutnya yang panjang tergerai indah, dihiasi dengan jepit rambut berkilauan. Riasan wajahnya tampak natural namun tetap elegan, menonjolkan kecantikan alaminya.
Malam ini, Shasha telah berdandan semaksimal mungkin, mempersiapkan diri untuk sebuah pertemuan yang telah lama ia hindari. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya, menandakan kegelisahan yang ia rasakan. Perasaan malas dan enggan menggerogoti hatinya. Sungguh, ia lebih memilih untuk bermalas-malasan di rumah daripada harus menghadiri makan malam ini. Namun, Silvia terus-menerus memaksanya untuk datang.
"Ayolah, Sha, ini kesempatan bagus untuk bertemu Rainer. Kesempatan langka dan kalau kamu bisa membuat Rainer si aktor dingin itu akrab denganmu, siapa tahu nanti bisa membuat rating film kita melonjak, demi karir, Sha. Demi aku dan kamu juga," bujuk Silvia beberapa jam yang lalu.
Shasha tahu Silvia benar, tetapi tetap saja, bertemu dengan Rainer untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun pasti akan sangat canggung. Kenangan-kenangan masa lalu, baik yang manis maupun yang pahit, tiba-tiba bermunculan di benaknya, membuatnya semakin enggan untuk bertemu Rainer.
Bayangan wajah Rainer, senyumnya, dan tawa renyahnya, semuanya terasa begitu nyata. Shasha menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir kenangan-kenangan itu. Ia harus fokus pada saat ini, bukan terjebak dalam nostalgia masa lalu.
"Udah siap?" Silvia masuk ke dalam kamar Shasha dan menatap sahabatnya yang sudah berdandan begitu cantik. Mata Silvia berbinar kagum melihat penampilan Shasha. "Wow, Sha, kamu cantik banget!" pujinya tulus. Shasha tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
"Makasih, Sil," jawabnya singkat. "Udah, yuk pergi sekarang," ajak Shasha.
Ia ingin segera menyelesaikan pertemuan ini dan kembali ke apartemen kemudian video call dengan Devan. Lebih cepat lebih baik, pikirnya. Sebenarnya, Shasha tidak mau berurusan di luar pekerjaan dengan Rainer.
Namun, Silvia meyakinkannya bahwa pertemuan ini penting untuk proyek film yang sedang mereka kerjakan. Silvia menjelaskan bahwa pertemuan ini hanya sebatas urusan pekerjaan.
Shasha menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia harus bersikap profesional dan mengesampingkan perasaan pribadinya. "Oke, ayo kita pergi," ucap Shasha mantap, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
***
Shasha dan Silvia melangkah masuk ke dalam ruangan VIP sebuah restoran mewah yang telah di reservasi khusus oleh Rainer. Aroma sedap masakan menguar lembut, berpadu dengan dekorasi elegan yang didominasi warna emas dan merah marun. Shasha menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang berpacu tak menentu. Ia harus menguatkan diri, mempersiapkan mental untuk bertemu kembali dengan mantan suaminya, setelah perpisahan yang telah berlangsung selama satu dekade.
Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat, banyak hal yang telah berubah, termasuk dirinya dan tentu saja perasaannya. "Aku pasti siap," bisik Shasha dalam hati, "Semuanya sudah berubah, termasuk perasaanku. Aku tak lagi sama seperti dulu. Luka itu, luka masa lalu, sudah sembuh. Ya, aku sudah harus berdamai dengan masa lalu, mengikhlaskan semuanya, dan melanjutkan hidupku," batin Shasha.
"Selamat malam, silahkan duduk," ujar seorang pria muda yang usianya sekitar 30 tahunan dengan ramah. Shasha dapat memastikan dengan yakin bahwa pria itu adalah Edo, asisten pribadi Rainer. Di samping Edo, duduk seorang pria dengan aura dingin yang menusuk. Pria itu tak lain adalah Rainer, mantan suaminya. Jantung Shasha berdebar kencang, rasa terkejut menjalar di seluruh tubuhnya.
Matanya bertemu pandang dengan mata Rainer yang tajam, seolah-olah waktu berhenti berputar. Rainer masih sama seperti yang dulu ia kenal, bahkan mungkin bisa dikatakan lebih tampan dan mempesona. Wajahnya yang tegas, rahangnya yang kokoh, dan tatapan matanya yang intens membuat Shasha terpaku di tempatnya. Ia merasakan campuran emosi yang rumit, antara rasa canggung dan juga sedikit rasa sakit yang samar-samar.
"Makasih Mas Edo, malam Mas Rai. Kita ketemu lagi, udah lama nunggu?" tanya Silvia dengan nada ceria, memecah keheningan yang sempat menyelimuti mereka. Silvia menatap kedua pria tampan di hadapannya itu dengan senyum ramah, lalu menoleh ke arah Shasha yang sejak tadi diam membisu, seolah-olah kehilangan kata-kata. Shasha masih terpaku pada sosok Rainer, seolah-olah dunia di sekitarnya memudar.
"Duduk, Sha," bisik Silvia lembut, sambil menarik lengan Shasha dengan hati-hati untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Sentuhan Silvia menyadarkan Shasha dari lamunannya. Ia tersentak dan perlahan-lahan duduk di kursi, masih dengan perasaan canggung yang mendominasi. Shasha berusaha mengendalikan emosinya dan bersikap tenang, meskipun hatinya bergemuruh hebat.
"Belum lama, sih. Kira-kira sekitar 20 menitan," jawab Edo sambil tersenyum ramah. Senyumnya yang tulus sedikit meredakan ketegangan yang terasa di ruangan itu. Edo berusaha menciptakan suasana yang lebih nyaman dan rileks.
"20 menit? Udah lama berarti? Maaf ya, tadi agak macet di jalan," jawab Silvia sedikit terkejut.
Ia merasa sedikit bersalah karena membuat Rainer menunggu, meskipun hanya 20 menit. Padahal, mereka sudah berangkat lebih awal dari yang direncanakan untuk menghindari kemacetan. Namun, ternyata Rainer sudah tiba di tempat itu 20 menit sebelumnya. Silvia merasa takjub dan sedikit heran.
Wow, bukankah ini kabar yang luar biasa? Seorang Rainer Anshel, aktor terkenal yang sedang naik daun dan biasanya sangat sulit ditemui, sudah menunggu kedatangan mereka? Silvia semakin penasaran dengan hubungan antara Rainer dan Shasha. Apalagi melihat sikap Shasha yang sejak tadi terdiam kaku, Silvia menduga ada masalah di masa lalu antara keduanya. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka?
Pikiran Silvia berputar-putar, mencoba merangkai potongan-potongan informasi yang ia miliki. Ia memperhatikan ekspresi wajah Shasha yang tampak tegang dan berusaha menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan oleh sahabat sekaligus artisnya itu. Silvia harus bertanya pada Shasha setelah ini, mungkin saja memang dia punya rahasia dengan Rai di masa lalu.
"Nggak apa-apa, kita pesan makanan dulu, ya?" ujar Edo, berusaha mencairkan suasana yang kembali menegang setelah ia mendapatkan injakan kaki dari Rainer di bawah meja.
Edo menyadari bahwa ada ketegangan di antara Rainer dan Shasha, dan ia berusaha untuk mengalihkan perhatian mereka dengan mengajak mereka memesan makanan. Edo melirik Rainer sekilas, lalu kembali tersenyum ramah kepada Silvia dan Shasha. Ia membuka buku menu dan mulai membacakan pilihan-pilihan makanan yang tersedia, berharap dapat mengalihkan perhatian mereka dari ketegangan yang ada.
***
"Apa kabar, Sha?" tanya Rainer setelah beberapa menit hanya diam saja, terpaku pada sosok yang baru saja datang. Kedatangan mantan istrinya, Shasha, menimbulkan rasa berdebar aneh di jantungnya.
Bukan hanya debar biasa, melainkan campuran rasa canggung, kagum, dan mungkin sedikit penyesalan. Matanya tak bisa lepas dari Shasha yang sekarang terlihat begitu berbeda. Aura dingin yang terpancar darinya justru menambah pesonanya. Shasha terlihat sangat cantik, lebih dewasa dan memancarkan aura elegan yang tak pernah Rainer lihat sebelumnya.
Dulu, saat mereka masih bersama, Shasha memang cantik, tetapi kecantikannya sekarang terasa lebih matang dan memikat. Rainer terpaku, pikirannya melayang ke masa lalu. Wanita di depannya ini, dulu pernah menjadi istrinya, berbagi hidup bersamanya. Mereka pernah membangun rumah tangga selama tiga tahun, menjalani hari-hari penuh kebahagiaan, tawa riang, dan juga luka yang pernah dia berikan.
Kenangan-kenangan itu berputar di benaknya seperti film usang yang diputar ulang. Rainer memperhatikan perubahan fisik Shasha. Tubuhnya terlihat lebih berisi, memberikan kesan seksi yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Dulu, tubuh itulah yang sering ia peluk erat saat mereka berbagi kehangatan di atas ranjang. Keintiman yang dulu mereka bagi kini terasa begitu jauh, hanya tinggal kenangan yang tersimpan rapi di sudut hatinya.
"Baik," suara Shasha yang tenang dan datar membuyarkan lamunan Rainer.
Pria itu sedikit terkesiap, seolah-olah baru tersadar dari mimpi panjang. Rasa canggung kembali menyeruak, membuat Rainer secara refleks menyugar rambutnya kasar, sebuah gestur gugup yang sering ia lakukan saat merasa tidak nyaman. Ia berusaha menguasai diri, mencoba bersikap tenang dan biasa saja di hadapan mantan istrinya yang kini terasa begitu asing.
"Kamu tinggal di mana selama ini? Sepuluh tahun yang lalu, tiba-tiba kamu pergi begitu saja, tanpa pamit, tanpa penjelasan. Meninggalkan surat perceraian yang sudah kamu tanda tangani. Bahkan kamu sudah menyewa pengacara. Aku—" Rainer menghela nafas panjang, mencoba mengendalikan emosinya yang meluap-luap. "Aku masih—"
"Maaf tuan Rai, manager saya mengatakan jika pertemuan ini bukan pertemuan pribadi, melainkan masih akan membahas project film kita nanti, jadi ...." Shasha meletakkan tangannya di atas meja, jemarinya ramping dan lentik, sebuah cincin perak melingkar di jari manisnya. Tatapannya tajam, menusuk ke dalam mata Rainer, seakan membangun dinding kokoh di antara mereka. "Mohon jangan membahas masa lalu."
Shasha sedikit kesal karena ditinggal berdua saja dengan Rainer, entah kemana Silvia pergi dengan Edo, kenapa dia merasa jika tengah dipermainkan oleh kedua pria ini?
Bersambung.