Bab 6. Sepuluh Tahun Lalu

1407 Kata
Sepuluh tahun lalu. Sudah hampir seminggu Rainer pergi meninggalkan Shasha. Padahal pekerjaan syuting di luar kota yang menjadi alasan kepergiannya hanya memakan waktu lima hari saja. Dua hari sisanya ia sengaja alokasikan untuk mengunjungi seseorang di kota yang sama, lebih tepatnya menemui Adelia, sepupu Briana. Tujuan Rainer menemui Adelia adalah untuk meminta bantuannya agar bisa kembali dekat dengan Briana, wanita yang masih sangat dicintainya sampai saat ini. Dia bahkan berencana akan menikahinya saat Briana kembali ke Indonesia nanti. Rencana kepulangan Briana ke tanah air bulan depan membuat tekad Rainer kuat untuk bisa bersama dengan wanita itu, meskipun Briana sendiri mengatakan jika dia tidak mau menikah karena Rainer masih punya istri, Rai sendiri akan meyakinkan jika dia dan Shasha akan bercerai sebentar lagi. Selama perjalanan menuju rumah Adelia yang lokasinya tak jauh dari bandara, pikiran Rainer tiba-tiba teralih pada Shasha, istrinya yang telah ia tinggalkan selama lima hari. Perasaan bersalah mulai mengusik hatinya. Ia menyadari bahwa selama kepergiannya, ia belum sekalipun menghubungi Shasha. "Aneh, kenapa Shasha gak kirim pesan sama sekali?" gumam Rainer sambil memeriksa ponselnya. Ia menggulirkan layar ponsel, memeriksa daftar pesan masuk, namun tak ada satu pun pesan dari Shasha. Keheningan Shasha membuatnya gelisah. Biasanya, Shasha selalu mengirimkan pesan untuk menanyakan kabarnya, atau sekedar memberikan perhatian sekiranya mengingatkannya untuk makan. Ketidakhadiran pesan dari Shasha terasa janggal dan menimbulkan pertanyaan di benak Rainer. Apakah Shasha marah karena dia tidak memberikan kabar selama hampir seminggu ini? Atau mungkin Shasha sedang sibuk dengan urusannya sendiri? Berbagai kemungkinan berputar di kepala Rainer, membuatnya semakin cemas. Ia mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk, dan rasa bersalahnya semakin bertambah. Ia merasa egois karena terlalu fokus pada rencananya dengan Briana hingga melupakan Shasha, wanita yang seharusnya menjadi prioritas utamanya. "Ah, kenapa jadi seperti ini?" Rainer menghela napas panjang, rasa gelisah menggerogoti hatinya. Kepalanya terasa berat, memikirkan Shasha yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Biasanya, Shasha selalu menghubunginya, menanyakan bagaimana kabarnya dan pekerjaannya. "Kenapa, Mas?" tanya Edo yang menyadari kegelisahan bosnya. Ia melihat Rainer sejak tadi menatap ponselnya, sesekali mengusap wajahnya dengan gusar. Edo pun merasa khawatir, biasanya Rainer tenang dan fokus, tetapi hari ini tampak berbeda. Ada aura kecemasan yang terpancar dari raut wajahnya. "Do, Shasha ada hubungi kamu, nggak?" Rainer bertanya dengan nada cemas, berharap Edo membawa kabar baik. Ia menatap Edo dengan penuh harap lewat kaca spion, berharap asistennya itu mengatakan bahwa Shasha telah menghubunginya. Namun, dari ekspresi wajah Edo, Rainer tahu bahwa harapannya mungkin akan pupus. "Nggak tuh, Mas. Memangnya kenapa?" jawab Edo dengan jujur. "Nggak biasanya Shasha gini? Dia gak kirim pesan apapun, padahal biasanya pasti selalu kasih kabar dan tanya gimana syutingku? Tapi ini—" Rainer menggantungkan kalimatnya, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Dia merasa ada yang tidak beres. Ketidakhadiran Shasha dalam kesehariannya terasa sangat mengganggu. Biasanya, pesan dan panggilan dari Shasha menjadi penyemangatnya di sela-sela kesibukan syuting. Namun, beberapa hari ini sunyi dan semuanya terasa hampa. "Apa Shasha tahu tentang mbak Bina?" Ucapan Edo tiba-tiba menyentak Rainer. Pertanyaan itu bagai petir di siang bolong, membuat Rainer terkejut. Ia terdiam sesaat, memikirkan kemungkinan Shasha mengetahui tentang Briana. Mungkinkah Shasha mendengar percakapan teleponnya dengan Briana pagi subuh itu? Pikiran itu membuat jantungnya berdebar kencang. Wajahnya memucat, ia tidak siap jika Shasha mengetahui tentang dirinya dengan Briana. Kecemasan semakin mencengkeram hatinya. Bayangan Shasha yang marah dan kecewa menghantuinya. Ia harus segera memastikan keadaan Shasha dan menjelaskan semuanya. "Edo, kita balik ke Jakarta sekarang!" ucap Rainer tegas. "Nggak jadi ke tempatnya Adelia, Mas?" "Nggak, aku ingin ketemu istriku!" *** "Mas, ada tamu yang ingin bertemu, katanya dia pengacara dari Shasha," lapor Edo. Rainer hanya mengangkat kepalanya sejenak, tatapannya kembali jatuh pada dua benda yang tergeletak di atas meja: cincin kawin dan kartu ATM milik Shasha. Dua benda itu adalah satu-satunya yang ditinggalkan Shasha setelah kepergiannya yang tiba-tiba, tanpa sepatah kata pun, tanpa penjelasan apa pun. Heningnya ruangan semakin menekankan rasa hampa yang menggerogoti hati Rainer. Cincin emas putih itu berkilau memantulkan cahaya lampu, seolah mengejek kebahagiaan mereka yang kini telah sirna. Kartu ATM itu pun terasa dingin dan tak bernyawa, seperti hubungan mereka yang kini membeku. Tidak ada surat, tidak ada pesan singkat, hanya dua benda bisu yang menjadi saksi bisu luka hati Shasha. Sejak kepulangannya hari itu, dia langsung memeriksa rekaman CCTV seluruh ruangan, salah satunya di sekitar studio, dan firasatnya terbukti benar. Shasha datang ke studio tepat ketika ia sedang berbicara dengan Sabrina melalui telepon di pagi buta. Di layar monitor, Rainer melihat dengan jelas raut wajah Shasha yang dipenuhi kekecewaan dan luka yang mendalam. Hati Rainer mencelos, ia bisa merasakan betapa hancurnya perasaan Shasha saat itu. Pada saat itulah, Shasha pasti mendengarnya mengatakan pada Sabrina bahwa ia akan menceraikannya. Kalimat yang seharusnya tak pernah terucap, kini telah menjadi duri yang menusuk hati kedua insan yang pernah saling mencintai. Dada Rainer terasa sesak, rasa sakit yang teramat sangat menyerangnya. Ia membayangkan betapa terlukanya hati Shasha saat mendengar kata-kata itu. Rasa bersalah yang mendalam menguasainya. Ia tahu, rasa sakit yang ia rasakan saat ini tidak sebanding dengan apa yang dirasakan Shasha. Ia telah menghancurkan hati wanita yang yang selalu ada untuknya, wanita yang telah berjanji untuk menemaninya seumur hidup meksi tahu dia memiliki banyak kekurangan. Penyesalan yang terlambat kini membayangi setiap langkahnya. "Baiklah, persilakan masuk," jawab Rainer akhirnya, suaranya terdengar serak. Ia berusaha menguasai emosinya, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa sakit dan penyesalan. Saat ini, Rainer berada di studionya yang terletak di dalam rumahnya. Ironisnya, tempat ini pula lah yang menjadi saksi bisu percakapannya dengan Sabrina, mantan kekasihnya yang masih berada di luar negeri. Percakapan yang telah menghancurkan rumah tangganya, percakapan yang telah melukai hati Shasha. Studio yang dulunya menjadi tempatnya berkarya, kini terasa seperti penjara yang mengurungnya dalam labirin rasa bersalah. Seorang pria berpakaian rapi memasuki ruangan. Wajahnya ramah, namun sorot matanya tajam. "Selamat siang, Pak Rainer. Saya Gama, pengacara yang ditunjuk oleh Ibu Shasha untuk mengurus proses perceraian," ucap pria itu dengan sopan. *** Saat ini ... Shasha merasa sangat tidak nyaman ditinggal berdua dengan Rainer seperti ini. Suasana canggung dan hening menyelimuti mereka. Sudah sepuluh menit berlalu sejak Silvia dan Edo meninggalkan mereka, dan selama itu pula Rainer tak berhenti memandanginya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tatapan itu membuat Shasha merasa risih, gugup, dan jantungnya berdebar tak karuan. Ia berusaha mengabaikan tatapan Rainer dengan mengalihkan pandangannya ke arah lain, namun tetap saja ia merasakan tatapan intens Rainer yang seakan menembus dirinya. Shasha menggigit bibir bawahnya, berusaha meredam kegugupannya. Ia merasa seperti seekor kupu-kupu yang terperangkap dalam jaring laba-laba, tak bisa bergerak dan hanya bisa menunggu nasibnya. "Aku tahu kamu sangat berbakat sebagai artis dan aku yakin kamu pasti bisa, Sha," ujar Rainer memecah keheningan yang menyelimuti mereka. Suaranya terdengar lembut dan penuh keyakinan. "Kamu sejak remaja sudah hebat, aku salut dengan dedikasimu dan kerja kerasmu dalam mengejar mimpimu. Kamu memiliki bakat alami yang luar biasa, dan aku selalu percaya bahwa kamu akan mencapai kesuksesan besar di dunia seni peran." "Ya, aku tahu," jawab Shasha dingin, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia tak ingin Rainer melihat betapa terpengaruhnya ia dengan pujian yang dilontarkan pria itu. Sebenarnya, Shasha merasa sedikit tersanjung dengan pujian Rainer, namun ia berusaha keras untuk tetap bersikap dingin dan acuh tak acuh. Sejak tadi, Shasha terus-menerus mengirimkan pesan kepada Silvia, berharap sahabatnya itu segera kembali dan menyelamatkannya dari situasi canggung ini. Namun, hingga saat ini pesan-pesannya belum juga dibuka oleh Silvia. Kecemasan mulai menggerogoti hatinya. "Sha, sebenarnya kamu salah paham," lirih Rainer, tatapannya tak lepas dari wajah cantik sang mantan istri. Suaranya terdengar sendu dan penuh penyesalan. Ia menghela napas panjang, seakan ada beban berat yang menghimpit dadanya. Shasha kini memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menatap Rainer. Tatapannya tajam dan penuh pertanyaan. "Salah paham? Dalam hal apa? Peranku kah? Apakah kau meragukan kemampuanku dalam memerankan tokoh ini?" "Bukan, selama ini aku sangat kehilanganmu. Aku merindukanmu, Sha. Aku menyesal atas semua kesalahanku di masa lalu. Aku tahu aku telah menyakitimu, dan aku berharap kau bisa memaafkanku," ucap Rainer dengan suara lirih, penuh penyesalan. "Cukup, Rai! Aku di sini tidak mau bahas masa lalu! Semua itu sudah berakhir, dan aku tidak ingin mengungkitnya lagi. Lebih baik aku pulang karena aku tidak—" Ucapan Shasha terpotong oleh kedatangan Silvia. "Loh, Sha? Kenapa?" Silvia masuk ke dalam ruangan itu dengan wajah penuh tanya dan langsung menghampiri Shasha. Ia melihat raut wajah sahabatnya yang tampak tegang dan tidak nyaman. "Aku mau pulang!" jawab Shasha dengan tegas. Ia tak ingin berlama-lama berada di dekat Rainer, karena hal itu hanya akan membuka kembali luka lama yang telah berusaha ia kubur dalam-dalam. "Sha! Tunggu!" Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN