Bab 7. Pengkhianat

1753 Kata
Happy Reading Rainer melangkah masuk ke dalam kamarnya yang luas dan mewah, nuansa abu-abu mendominasi ruangan, memberikan kesan modern dan maskulin. Namun, kemewahan itu seakan tak berarti apa-apa. Wajahnya terlihat murung, lesu, dan dipenuhi penyesalan. Makan malam yang telah direncanakannya dengan matang gagal total karena Shasha memutuskan untuk pulang bahkan sebelum menyentuh hidangan yang telah disiapkannya. Keheningan kamar semakin mempertegas rasa hampa yang menggerogoti hatinya. Pria tampan dengan postur tinggi dan kulit putih itu menghela napas panjang, lalu menyugar rambutnya dengan gusar. Bayang-bayang wajah Shasha dan tatapan kebencian yang terpancar dari mata indahnya terus menghantuinya, membuat hatinya terasa sakit seperti diremas. Kejadian di restoran tadi malam berputar ulang di benaknya, memperjelas betapa bodohnya dia telah menyia-nyiakan kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Dia ingat betul bagaimana Shasha menatapnya dengan penuh kekecewaan, sebelum akhirnya berbalik dan pergi meninggalkannya sendirian. "Bagaimana caranya aku mengatakan kepada Shasha bahwa aku benar-benar menyesal? Aku salah, aku egois, dan aku sudah mendapatkan karmanya!" gumam Rainer lirih, tatapannya tertuju pada bingkai foto yang berada di samping tempat tidurnya. Bingkai perak itu berkilau memantulkan cahaya lampu, namun tak mampu memantulkan kembali kebahagiaan yang pernah ada di antara mereka. Pria itu bangkit dari sofa dan berjalan perlahan menuju meja di samping tempat tidurnya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil bingkai foto tersebut. Gambar yang ada di dalamnya adalah gambar dirinya dan Shasha saat masih menjadi suami istri, tersenyum bahagia di hari pernikahan mereka. Shasha terlihat begitu cantik dalam balutan gaun putih, sementara Rainer berdiri gagah di sampingnya, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua. Kini, senyum dalam foto itu terasa seperti sindiran pahit atas kebodohannya. "Aku terlambat menyadari, Sha. Aku terlambat menyadari bahwa aku jatuh cinta padamu!" Rainer kembali duduk di ranjang, mendekap bingkai foto tersebut erat-erat di dadanya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, mengancam untuk tumpah. Penyesalan yang mendalam menguasai dirinya, membuatnya sulit bernapas. Ingatannya kembali ke sepuluh tahun yang lalu, masa-masa sulit yang dijalaninya tanpa Shasha di sisinya. Setelah perceraian mereka, Shasha pergi meninggalkannya, membawa serta seluruh kebahagiaan yang pernah mereka bangun bersama. Ternyata, kebersamaan mereka selama tiga tahun telah mengubah hidup Rainer dalam banyak hal, dan semua itu karena Shasha. Dia menyadari betapa salah dirinya menganggap Shasha hanya sebagai pelarian dari luka hatinya akibat ditinggalkan oleh Briana. Shasha bukan sekadar pelarian, melainkan wanita yang telah membuatnya begitu nyaman, mengajarkannya arti cinta sejati, dan membuatnya tertawa lepas di atas rasa sakit yang ditinggalkan oleh wanita masa lalunya. Shasha adalah wanita yang telah mengisi kekosongan hatinya, memberinya kekuatan, dan membuatnya merasa utuh. Flashback. Suara ketukan palu hakim bergema di ruang sidang, terasa seperti palu godam yang menghancurkan hati Rainer berkeping-keping. Suasana hening mencekam, hanya diisi oleh deru napas Rainer yang tercekat dan suara langkah kakinya yang gontai saat melangkah keluar. Ironisnya, hanya dia dan pengacaranya yang hadir dalam sidang perceraian itu. Shasha, wanita yang pernah mengisi hari-harinya dengan cinta dan tawa, menghilang tanpa jejak, bak ditelan bumi. Ketidakhadiran Shasha semakin mempertegas kenyataan pahit yang harus Rainer terima: pernikahan mereka telah resmi berakhir. Rainer tak tinggal diam. Ia mengerahkan segala upaya untuk menemukan Shasha. Berbagai cara telah ia tempuh, mulai dari menghubungi teman-teman dekat Shasha, mengunjungi tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi bersama, hingga menyewa jasa detektif swasta. Namun, semua usaha itu berakhir sia-sia. Shasha seakan lenyap ditelan bumi, tak meninggalkan satu petunjuk pun. Bahkan agensi yang menaungi Shasha sebagai seorang aktris pun tak mengetahui keberadaannya. Informasi yang Rainer dapatkan hanyalah kabar pengunduran diri Shasha dari dunia hiburan. Keputusan yang tiba-tiba dan tak terduga itu semakin menambah penyesalan Rainer. Saat itu, Shasha memang sedang tidak terlibat dalam proyek film apapun. Satu-satunya kontrak yang ia miliki hanyalah sebuah iklan, itupun telah diselesaikan sebelum ia menghilang. Shasha menyampaikan pengunduran dirinya melalui manajernya, tanpa memberikan alasan yang jelas. Keputusan ini meninggalkan banyak pertanyaan di benak Rainer. Dalam keputusasaannya, Rainer akhirnya pasrah dengan proses perceraian yang berjalan sepihak. Meskipun hatinya hancur, ia tak punya pilihan lain selain menerima kenyataan. Sempat terbersit di pikirannya untuk menghubungi Gama, pengacara Shasha, dengan harapan bisa mendapatkan informasi tentang keberadaan istrinya. Beberapa kali Rainer mencoba mendekati Gama, namun usahanya selalu menemui jalan buntu. Gama bersikeras mengatakan bahwa ia tidak tahu menahu tentang keberadaan Shasha. Meskipun demikian, Rainer tetap curiga bahwa Gama menyembunyikan sesuatu darinya. Intuisi Rainer mengatakan bahwa Gama tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Di tengah kemelut perceraian dan pencarian Shasha yang tak kunjung membuahkan hasil, Rainer juga harus bergelut dengan tuntutan pekerjaannya sebagai seorang aktor. Ia tengah terlibat dalam sebuah proyek film yang menuntut konsentrasi dan fokus penuh. Namun, pikirannya terus terpecah antara tuntutan pekerjaan dan masalah pribadinya. Situasi ini membuatnya tertekan dan tidak bisa bergerak bebas. Ia merasa terjebak dalam labirin emosi dan ketidakpastian, tanpa tahu jalan keluar. Beban yang ia pikul terasa semakin berat, membuatnya semakin lelah dan putus asa. *** "Halo, Bina?" Suara Rainer terdengar sedikit ragu, seperti ada beban yang ia pikul. "Rai, aku udah kembali. Kapan kita bisa ketemu? Katanya kamu ingin bertemu denganku setelah aku balik ke Indonesia?" Briana bertanya dengan nada penuh harap. Dua minggu sudah ia menanti di Indonesia, menantikan janji Rainer untuk bertemu. Waktu dua minggu terasa begitu lama, dipenuhi dengan bayangan akan pertemuan mereka. Ia membayangkan pelukan hangat Rainer, senyumnya yang menawan, dan canda tawa mereka seperti dulu. Ia telah merencanakan banyak hal untuk dilakukan bersama Rainer, mengunjungi tempat-tempat favorit mereka, mencicipi makanan yang mereka rindukan, dan berbagi cerita tentang pengalaman mereka selama terpisah. Rainer terdiam sejenak setelah mengangkat panggilan dari Briana. Keheningan itu terasa berat, dipenuhi dengan kebimbangan dan rasa bersalah. Briana sudah pulang ke Indonesia dua minggu yang lalu, dan sampai saat ini, Rainer memang belum menemuinya padahal dia sudah berjanji pada Briana. Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh bayang-bayang Shasha. "Aku masih banyak pekerjaan, pemotretan dan jadwal syutingku padat, tapi aku usahakan akan mengatur waktu untuk bertemu denganmu," jawab Rainer akhirnya, sambil mematikan rokoknya ke dalam asbak. Asap rokok yang mengepul seolah menggambarkan kegelisahan hatinya. Ia merasa terjebak di antara dua wanita, Briana yang menunggunya dan Shasha yang semakin membuatnya rindu. "Aku udah kangen banget, tapi aku tahu kamu sibuk, Rai. Itulah yang sejak dulu tak ku suka darimu, selalu sibuk dan nggak ada waktu untukku." Suara Briana yang biasanya membuat Rainer berdebar, kini terasa biasa saja. Dulu, suara Briana adalah melodi terindah di telinganya. Namun kini, nada manja dan keluhan Briana justru membuatnya merasa terbebani. Ia merindukan pengertian dan dukungan yang selalu ia dapatkan dari Shasha. "Maafkan aku, Bina. Aku janji akan memberikan waktu untukmu," ucap Rainer, namun kata-kata itu terasa hampa bahkan di telinganya sendiri. Ia merasa bersalah pada Briana, namun ia juga tidak bisa melupakan Shasha. Tiba-tiba Rainer teringat Shasha. Sudah tiga bulan Shasha pergi, meninggalkan kekosongan yang sulit ia isi. Sikap Briana yang selalu menuntut perhatian dan waktu sangat berbeda dengan Shasha yang selalu mengerti kesibukannya dan memberikan dukungan tanpa syarat. Shasha selalu ada untuknya, mendengarkan keluh kesahnya, memberikan semangat, dan menerimanya apa adanya. Kenangan bersama Shasha membuat Rainer semakin bimbang. Ia merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Di satu sisi, ia tidak ingin menyakiti hati Briana, namun di sisi lain, ia juga tidak bisa memaksakan perasaannya. *** Rainer memacu mobilnya menuju gedung apartemen tempat Briana tinggal. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ia baru saja menyelesaikan syuting dan teringat akan janjinya untuk bertemu Briana. Setibanya di gedung apartemen, Rainer langsung menuju lift dan menekan tombol lantai unit Briana. Ia berencana memberikan kejutan untuk wanita yang dicintainya itu. Namun, dalam hatinya, sebuah pertanyaan mengusik. Cinta? Mengapa rasa cinta yang dulu menggebu-gebu kini terasa hambar? Mengapa kini ia merasa biasa saja, tanpa antusiasme sedikit pun saat akan bertemu Briana? Apakah ia benar-benar masih mencintai wanita itu? Keraguan itu terus berputar di benaknya saat lift melaju naik. Sesampainya di lantai unit apartemen Briana, Rainer langsung menekan kode akses pintu. Ia masih hafal betul kodenya. Di tangannya, ia membawa sebuah tas kertas berisi gaun cantik untuk Briana. Ia membayangkan wajah terkejut dan mata berbinar Briana saat menerima kejutan darinya. Dengan langkah perlahan, Rainer membuka pintu apartemen. Bayangan wajah bahagia Briana memenuhi pikirannya. "Lu beneran akan balik sama Rai? Bukankah lu bilang kalau dia membosankan?" Langkah Rainer terhenti tiba-tiba. Suara seorang pria terdengar dari dalam apartemen. Jantungnya berdetak kencang. Sepertinya ada orang lain di apartemen Briana selain wanita itu. Kecemasan mulai merayap di hatinya. Siapa pria itu? Apa yang mereka lakukan di dalam sana? Pikiran-pikiran negatif mulai bermunculan di benaknya. "Gue udah mutusin buat balikan sama dia kalau dia udah cerai sama Shasha. Lagian Rainer juga tergila-gila sama gue. Tapi gue balikan bukan karena gue masih cinta sama dia. Gue mau buat Rai bertekuk lutut di kaki gue dan bikin Shasha semakin panas. Salah siapa beraninya dia nikah sama Rai, padahal cantikan gue." Suara Briana terdengar jelas, penuh dengan nada perhitungan dan kekejaman yang tak pernah Rainer kenal sebelumnya. Dunianya seakan runtuh seketika. Kata-kata Briana bagai hantaman palu godam yang menghancurkan hatinya. "Lalu, hubungan kita gimana sayang? Lu udah belain pergi ke London karena katanya mau sama gue, tapi kenapa sekarang jadi balik lagi sama dia?" Suara pria itu kembali terdengar, dipenuhi rasa cemburu dan kebingungan. Rainer berusaha mencerna percakapan mereka, setiap kata terasa menusuk hatinya. "Doni, lu tahu sendiri kan kalau hubungan kita ini sebuah skandal? Kita sepupuan dan keluarga kita pasti nentang. Tapi lu tenang aja, meskipun gue udah nikah sama Rai, tapi kita tetep masih bisa berhubungan." Briana menjawab dengan tenang, seolah-olah perselingkuhan dan kebohongan adalah hal yang biasa. Rainer merasa mual mendengarnya. Ia tak pernah menyangka Briana tega mengkhianatinya seperti ini. "Jangan bilang kalau Rai cuma lu jadiin tameng?" Pria yang bernama Doni itu bertanya dengan nada tak percaya. Rainer pun merasakan hal yang sama. Ia merasa seperti pion dalam permainan kotor Briana. "Yups, lu bener baby. Kita kabur keluar negeri kan biar bisa berhubungan bebas. Tapi kalau nanti gue nikah sama Rai, gak bakalan ada yang curiga lagi kalau kita memiliki hubungan. Jadi, lu tenang aja, ya? Gue masih milik lu!" Tawa Briana terdengar begitu menyakitkan di telinga Rainer. Ia merasa dikhianati dan ditipu habis-habisan. Tangan Rainer terkepal erat. Ia mendengar suara desahan menjijikkan dari dalam kamar. Amarah, kekecewaan, dan rasa sakit bercampur aduk dalam hatinya. Ia merasa seperti orang bodoh yang telah dibutakan oleh cinta Briana sampai mengabaikan perasaan Shasha. "b******k!" Rainer mengumpat lirih. Ia membalikkan badan dan pergi meninggalkan apartemen Briana. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia tak pernah menyangka wanita yang dicintainya selama bertahun-tahun lalu tega sekali menyakitinya dengan cara yang begitu keji. Kepercayaan yang ia berikan telah diinjak-injak tanpa ampun. Malam itu, Rainer pulang dengan hati yang remuk redam. Ia merasa seperti kehilangan segalanya. Hanya demi Briana, wanita licik itu dia menyakiti hati Shasha, wanita yang benar-benar tulus dengannya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN