Bab 8. Ingin Cium Bibirnya

1508 Kata
Happy Reading Silvia dengan hati-hati menuangkan sup ayam yang masih mengepulkan uap panas ke dalam mangkuk keramik berwarna putih. Aroma rempah-rempah dan kaldu ayam yang kaya langsung menyebar ke seluruh ruangan, menggelitik indra penciuman Shasha yang sejak tadi fokus membaca skrip naskah film terbarunya. Shasha, yang tadinya begitu asyik mendalami karakter yang akan diperankannya lusa, mendongak dan menoleh ke arah Silvia. Matanya berbinar melihat semangkuk sup ayam yang tampak begitu menggugah selera. "Wah, sepertinya enak, Sil," puji Shasha dengan nada penuh minat, hidungnya sedikit berkerut menghirup aroma sedap yang menguar. Silvia tersenyum ramah, menoleh ke arah Shasha. "Kamu mau, Sha?" tanyanya sambil menggeser mangkuk sup sedikit lebih dekat ke arah Shasha. Shasha, tanpa ragu sedikit pun, langsung mengangguk antusias. Melihat respon Shasha yang begitu bersemangat, Silvia terkekeh kecil. "Boleh-boleh, aku kasih sup nya, tapi ada syaratnya!" ucapnya dengan nada sedikit menggoda. Shasha mendengus pelan. "Ck, kalau syaratnya aku harus menjawab jujur tentang kisah masa laluku dengan Rainer, aku jawab sekali lagi, Sil. Kami dulu pernah main film bareng, sudah, sih. Itu saja. Tidak ada yang spesial," jawab Shasha dengan nada sedikit jengkel, seolah-olah pertanyaan tentang hubungannya dengan Rainer adalah pertanyaan yang sudah terlalu sering dia dengar dan jawab. Memang benar, jejak pernikahan Rainer dan Shasha sepuluh tahun lalu seolah-olah lenyap ditelan bumi. Tidak ada satu pun bukti digital maupun fisik yang menunjukkan bahwa mereka pernah menjadi sepasang suami istri. Keduanya sepakat untuk merahasiakan pernikahan mereka dari publik, bahkan dari teman-teman terdekat mereka sekalipun. Perjanjian untuk menutup rapat-rapat hubungan mereka ini dibuat atas dasar kesepakatan bersama, demi menjaga karir mereka masing-masing di dunia hiburan yang penuh dengan sorotan media. Bahkan, nama yang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) pun adalah nama asli mereka sesuai Kartu Tanda Penduduk (KTP), yaitu Raihan Jaya Anshel dan Shakira Sharma. Keduanya adalah publik figur yang namanya cukup dikenal di industri perfilman Indonesia. Pertemuan pertama mereka terjadi saat keduanya masih remaja, terlibat dalam sebuah proyek film yang sama. Dari situlah awal persahabatan mereka. Shasha, yang hanya lulusan SMA, memutuskan untuk menikah dengan Rainer, yang saat itu usianya lima tahun lebih tua darinya. Keputusan ini diambil Shasha di usia 19 tahun, saat Rainer sedang berada dalam kondisi patah hati karena ditinggal oleh Briana, kekasihnya, ke luar negeri. Pernikahan mereka yang dirahasiakan ini dilatarbelakangi oleh tuntutan karir mereka yang sedang naik daun. Keduanya sepakat untuk menyembunyikan status pernikahan mereka dari media dan seluruh dunia, demi menjaga citra dan popularitas mereka. Hanya keluarga inti Rainer, ibu Shasha, dan tentu saja Briana, yang mengetahui tentang pernikahan rahasia ini. Mereka berjanji untuk menjaga rahasia ini dengan ketat, demi kebaikan Rainer dan Shasha. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah bagi mereka, namun mereka yakin bahwa ini adalah jalan terbaik untuk melindungi karir dan masa depan mereka. Mereka berharap, dengan merahasiakan pernikahan ini, mereka dapat terus berkarya dan memberikan yang terbaik bagi para penggemar mereka tanpa harus terbebani oleh gosip dan spekulasi publik. Namun, pernikahan yang awalnya dipenuhi harapan dan impian indah itu hanya bertahan selama tiga tahun. Shasha, yang kala itu begitu terpikat dengan pesona Rainer, tidak pernah menyangka jika ternyata pria yang dinikahinya itu tidak pernah bisa mencintainya dengan tulus. Cinta Rainer ternyata masih tertambat pada Sabrina. Bahkan, Rainer diam-diam telah merencanakan untuk menceraikannya setelah Sabrina kembali ke Indonesia. Shasha merasa bagai tersambar petir di siang bolong ketika mengetahui kenyataan pahit ini. Hatinya hancur berkeping-keping, mimpi indah tentang keluarga bahagia yang telah dibangunnya bersama Rainer runtuh seketika. Ia merasa tertipu dan dikhianati oleh pria yang begitu dicintainya. "Sha! Shasha!" suara Silvia membuyarkan lamunan Shasha. "Eh!" Shasha tersentak kaget, kembali ke dunia nyata. Wajahnya tampak pucat dan lesu. "Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini sering ngelamun?" tanya Silvia dengan nada khawatir. Silvia memperhatikan perubahan sikap Shasha yang semakin murung dan pendiam beberapa hari ini. Silvia tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran sahabatnya itu. Shasha tersenyum samar, berusaha menyembunyikan kesedihan yang mendalam di hatinya. "Aku kangen sama Devan. Kata pengasuhnya dia semalam ngigau terus, manggil-manggil aku. Tapi gimana lagi, aku kan nggak bisa balik ke sana," jawab Shasha dengan mata berkaca-kaca. Suaranya terdengar lirih dan bergetar. Rasa rindu yang teramat sangat pada putranya semakin menambah beban di hatinya. Hatinya perih jika mengingat Devan yang sampai sekarang tidak pernah tahu siapa ayahnya yang sebenarnya. Shasha terpaksa merahasiakan identitas Rainer dari Devan demi melindungi putranya dari kenyataan pahit yang mungkin akan melukai hatinya kelak. Ia tidak ingin Devan tumbuh besar dengan bayang-bayang kekecewaan dan rasa sakit hati karena mengetahui ayahnya tidak pernah mencintai ibunya dengan tulus. Shasha berjanji pada dirinya sendiri akan membesarkan Devan dengan penuh kasih sayang dan memberikan yang terbaik untuk masa depan putranya. Ia berharap Devan dapat tumbuh menjadi anak yang kuat dan tegar, meskipun tanpa kehadiran seorang ayah di sisinya. Air mata Shasha akhirnya tak terbendung lagi, mengalir deras membasahi pipinya. Silvia memeluk Shasha erat, mencoba memberikan kekuatan dan dukungan kepada sahabatnya yang sedang berjuang melawan kesedihan. "Cup, cup, cup. Kamu udah gede, Shasha. Jangan nangis dong. Ayok, kita video call Devan, aku juga udah kangen sama keponakanku yang lucu," ujar Silvia. Shasha tersenyum dan mengangguk, mungkin Silvia tidak pernah tahu jika air matanya yang jatuh bukan hanya karena dia merindukan Devan, tetapi karena sosok Rainer. *** Lampu-lampu kelap-kelip menerangi ruangan club malam yang remang-remang, menciptakan suasana dramatis untuk pengambilan adegan pertama. Asap buatan mengepul tipis, menambah kesan mistis dan menggoda. Rainer, dengan setelan jas hitam yang elegan, bertransformasi menjadi Danish, seorang Casanova ulung yang terpancar aura kemewahan dan kepercayaan diri. Di hadapannya, Shasha, memerankan Kania, tampil memukau dalam balutan gaun merah yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Kania, seorang wanita malam yang terpaksa bekerja di club demi memenuhi kebutuhan hidupnya, namun tetap menjaga kesuciannya. Tatapannya sendu, menyimpan sejuta cerita dan perjuangan yang tersembunyi di balik kecantikan parasnya. Kamera mulai merekam, menangkap setiap detail ekspresi dan gerakan mereka. Danish, dengan langkah penuh pesona, menghampiri Kania yang duduk di bar. Ia menatap Kania dengan intens, terpesona oleh kecantikan dan aura misterius yang terpancar darinya. "Berapa hargamu? Aku akan membayarmu mahal jika kamu mau melayaniku malam ini?" tanyanya dengan suara serak, penuh godaan. Nada suaranya menggambarkan karakter Danish yang terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya. Shasha, sebagai Kania, sedikit tersentak saat wajah Rainer yang berperan sebagai Danish begitu dekat. Aroma parfum maskulin Rainer tercium samar, membuat jantungnya berdebar tak menentu. Namun, ia tetap profesional dan berusaha menghayati perannya. Seulas senyum manis terukir di bibir Shasha, menampilkan sisi menggoda Kania yang terbiasa berinteraksi dengan para p****************g. "Aku tidak bisa tidur denganmu," jawabnya lembut, namun tegas, "tapi aku bisa melayanimu dengan baik. Terutama memuaskanmu." Jemarinya dengan lincah membelai wajah Rainer, menambah kesan sensual pada adegan tersebut. Jantung Rainer berdegup kencang saat sentuhan lembut Shasha menyentuh kulitnya. Ia terpaku menatap wajah cantik Shasha yang begitu menawan dalam perannya sebagai Kania. Kania, wanita nakal dengan tubuh yang menggoda, membuat Rainer merasa jika di hadapannya adalah sosok Shasha yang dulu selalu memandangnya seperti ini jika mereka akan melakukan hubungan suami istri. Rainer berusaha mengendalikan perasaannya dan tetap fokus pada perannya sebagai Danish yang tergila-gila pada Kania. Ketegangan di antara mereka begitu nyata, menciptakan chemistry yang kuat di depan kamera. "Cut!" teriak sutradara, menandakan berakhirnya adegan tersebut. "Bagus! Bagus banget! Rai, kamu sangat menghayati peran, Shasha juga bagus banget. Setelah ini scene selanjutnya di kamar," pujinya dengan antusias. Shasha, seketika melepaskan diri dari Rainer dan kembali ke dirinya sendiri. Ekspresi dingin dan datar kembali menghiasi wajahnya, seolah-olah adegan mesra yang baru saja mereka lakukan tidak pernah terjadi. "Sha, tunggu sebentar!" Rainer mencoba menahan Shasha, tangannya meraih pergelangan tangan Shasha dengan lembut. "Sorry, gue mau ke kamar mandi," jawab Shasha singkat. Ia menarik lengannya dengan cepat, melepaskan diri dari genggaman Rainer. Perbuatan Rainer dan reaksi Shasha tidak luput dari perhatian para kru dan orang-orang yang ada di lokasi syuting. Bisik-bisik mulai terdengar, spekulasi tentang hubungan mereka mulai bermunculan. Silvia menghampiri dan berbisik di telinga Shasha. "Bentar lagi pasti bakal ada gosip, nih. Kayaknya Rai tertarik sama kamu, Sha?" Silvia menyeringai nakal, menyadari perubahan sikap Rainer terhadap Shasha. Shasha hanya diam, tatapannya kosong, pikirannya melayang entah kemana. "Aku mau ke kamar mandi dulu, Sil," ujar Shasha memakai jaket yang di ulurkan seorang kru yang bertugas mendampinginya. "Oke, aku tunggu di sini." Sedangkan di sisi lain. "Gimana tadi, Rain? Pasti deg-degan banget, kan?" tanya Boy, ketua agensi Stargaze Entertainment yang menaungi film Sang Casanova Mencari Cinta. Suaranya dipenuhi rasa ingin tahu, menanti cerita dari Rainer tentang adegan pertamanya dengan Shasha. Rainer mengambil botol minum yang disodorkan Edo, asisten pribadinya, dan langsung meneguknya hingga tandas. Tenggorokannya terasa kering setelah berulang kali melakukan adegan yang lebih mendekati intim tadi. "Bukan deg-degan lagi, Boy. Rasanya... rasanya tadi tuh gue pengen banget cium bibir Shasha beneran," jawab Rainer sambil menghela napas panjang. Tatapannya masih tertuju pada Shasha yang sedang duduk berbincang dengan Silvia di pojok ruangan. Matanya berbinar-binar, seakan masih terbayang-bayang kelembutan bibir Shasha. "Ck, mata lo di kondisikan, Rai! Inget, itu cuma akting!" tegur Boy sambil menepuk pundak Rainer. "Iya, iya, gue ngerti, Boy. Gue profesional kok," jawab Rainer, berusaha mengalihkan pandangannya dari Shasha. Ia mencoba menenangkan debaran jantungnya yang masih berpacu cepat. Misi untuk mendekati Shasha masih jauh, jelas sekali Shasha terlihat sangat membencinya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN