Bab 14. Tawaran Kerja

1127 Kata
Happy Reading Alva tadinya ingin masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan minum untuk putranya. Valen haus setelah berlari-lari mengejar bola dan minta diambilkan minum. "Om, minta tolong ya? Valen haus, bisa ambilkan minum di dapur?" ucapnya tadi. Alva dengan senang hati Lang mengangguk sebelum masuk ke dalam rumah. Sejauh ini memang Aluna membiarkan dirinya dekat dengan Valen dan itu pun sudah bisa membuatnya sangat bahagia. Meskipun terlihat jelas sekali jika Aluna tidak rela, mungkin wanita yang sangat dicintainya itu masih sangat benci padanya. Alva paham dan mengerti. Akan tetapi, tiba-tiba langkahnya berhenti saat mendengar ucapan sang Mama yang mengatakan jika Aluna bisa mencarikan Papa lain untuk Valen. Bukan itu saja yang membuat Alva merasa tersentil dan hatinya sakit sekali, tetapi ucapan Mamanya yang mengatakan jika Aluna sudah melewati tahun demi tahun bersama Valen tanpa dirinya di negeri orang dan pasti sangat kesulitan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Aluna saat itu. Ditolak mentah-mentah oleh pria yang telah menyumbang benih ke rahimnya bahkan memintanya untuk menggugurkan kandungan tersebut. Lalu akhirnya Aluna memilih pergi menjauh agar bisa menyelamatkan nyawa yang dia bawa dalam rahim, melahirkan sendiri melewati fase-fase kehamilan sendiri tanpa kehadiran seorang lelaki yang seharusnya bisa menjadi sandaran untuknya. Lalu setelah itu, tahun-tahun berganti sampai usia putranya yang sudah menginjak 5 tahun, Aluna tetap tegar berdiri mengasuh putranya sendiri tanpa didampingi oleh seorang suami yang seharusnya setia berada di sampingnya. Membayangkan semua itu membuat Alva ingin menangis, penyesalan selalu datang bertubuh-tubi membuat hatinya sakit sekali. Hanya andai dan andai yang bisa Alva gumam kan di kepalanya. Andai saja dulu dia menerima kehamilan Aluna dan dengan gentle mengatakan kepada seluruh keluarganya jika dia telah menghamili sahabatnya itu. Seharusnya dia membatalkan pernikahannya dengan Mutia dan bertanggung jawab menikahi Aluna seperti keinginan wanita itu dulu saat meminta tanggung jawabnya. Namun, nasi sudah menjadi bubur, dia tidak bisa membalikkan waktu atau mengulang kembali, sekarang Alva hanya bisa berusaha mendapatkan Maaf dari Aluna dan keluarganya. Dia juga yang harus gencar mengejar Aluna kembali agar wanitanya itu tidak menjatuhkan pilihannya kepada laki-laki lain. *** Siang itu akhirnya Tante Andini dan Alva memutuskan pamit pulang, meskipun Alva sebenarnya enggan karena masih ingin bermain bersama putranya, tetapi mereka sudah cukup lama berada di rumah Aluna. Andini mengatakan jika dia akan kembali lagi dan membawa banyak mainan untuk Aluna. Sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil, Alva berbalik dan berjalan cepat menuju ibu dari anaknya itu yang masih berdiri bersama Mama Indira di depan pintu untuk mengantar kepergian tamunya. "Lun, emh ... makasih ya untuk hari ini. Aku senang banget. Aku tetap akan mengejar maafmu dan juga cintamu karena aku udah jatuh cinta sama kamu sejak bertahun-tahun lalu, jadi tolong berikan aku kesempatan untuk menebus semua kesalahan yang aku buat. Aku akan berusaha membuat kamu bisa membuka hati lagi. Jika dulu kamu yang ngejar aku, sekarang kamu cukup diam dan biarkan aku yang mengejarmu," ujar Alva namun dalam hati. Dia masih belum berani berkata terang-terangan seperti itu apalagi ada Indira di sampingnya yang menatapnya secara tajam. "Makasih ya, udah kasih aku kesempatan buat bisa lebih dekat dengan Valen." Hanya itu yang akhirnya terucap dari bibir Alva. "Gue seperti ini karena Tante Andini, kalau nggak ada beliau jangan harap lo bisa main sama anak gue, sebaiknya lo nggak usah kesini, deh. Bukannya lo punya pekerjaan yang lebih penting dari pada main ke sini?" Makjlep. Ucapan Aluna mengena sekali di hatinya. Dulu dia yang mengucapkan hal seperti itu, sekarang dibalik oleh Aluna dengan perkataan datar namun terdengar menusuk di hati Alva. Apalagi saat Aluna mengatakan "Anak gue" seakan tidak ada hubungan darah diantara dirinya dan Valen. "Lun, nggak usah ganggu gue bisa nggak?" "Al, gue cuma mau ngajak lo makan malam di rumah Mama, please mau, ya?" "Gue sibuk, Lun. Pekerjaan ini lebih penting daripada makan di rumah lo!" Kata-kata yang Alva ucapan pada Aluna yang dulu terngiang-ngiang kembali. Saat itu dia memang sangat sibuk hingga harus lembur di kantor. Bukan bermaksud untuk menolak ajakan Aluna dengan mengucapkan hal itu. Tetapi, ketika Aluna yang mengatakannya, entah kenapa Alva bisa merasakan kesakitan dan kekecewaan yang mungkin dulu di alami oleh Aluna. Apakah ini yang di namakan karma? *** Xanders Corporation Mutia gelisah, dia tidak bisa konsentrasi kerja, melihat jam dipergelangan sudah menunjukkan pukul 10 lebih lima menit siang, sejak pagi Alva tidak terlihat di kantor, apa pria itu tidak bekerja? Kenapa dia tidak tahu? Ah, tentu saja dia tidak tahu karena Alva bahkan tidak menyimpan nomornya. Alva juga tidak akan izin padanya kalau tidak masuk kerja, bukan? "Nggak biasanya Alva bolos kerja, ada apa, ya?" gumam wanita itu sambil menatap layar laptopnya. Penasaran? Tentu saja. Sebenarnya sikap Alva akhir-akhir ini terlihat aneh dan seperti ada sesuatu yang membuatnya terlihat sedikit semangat. Bahkan wajah Alva juga terlihat lebih cerah dari biasanya. Sebenarnya apa yang membuat Alva seperti itu. "Kenapa ya aku nggak bisa move on darimu, Al? Kenapa kamu juga nggak mau buka hati lagi untukku. Apa kamu benar-benar udah nggak bisa ngasih kesempatan lagi, Al?" gumam Mutia. Dia mendengar langkah sepatu mendekat ke mejanya. Mutia sudah senang dan mengira jika itu adalah Alva, tetapi dia salah. Bukan Alva yang datang melainkan sekretaris utama sang Presdir. Ketua dari seluruh sekretaris di kantor ini. "Mutia, kamu kerjakan laporan ini, ya? Harus selesai hari ini. Aku sama Angga mau ketemu sama Pak Wiguna buat bahas kerjasama," ujar Dewi–si sekretaris utama menyerahkan beberapa lembar kertas yang berisi laporan yang masih belum diperiksa. "Baik, Bu. Tapi kenapa yang meeting Bu Dewi dan Pak Angga? Memangnya Pak Alva kemana?" "Pak Alva nggak masuk kantor hari ini, jadi Angga sama aku yang menggantikan meeting sama pak Wiguna," jawab Dewi kemudian berjalan masuk ke ruangannya yang bersebelahan dengan ruangan Alva. Mutia menghela napas, meskipun dia menjadi sekretaris Alva selama bertahun-tahun, tetapi dia tetap tidak bisa mendekat pada pria itu. Karena apa? Ya karena dia bukan sekretaris utama yang di mana biasanya selalu ikut Alva kemana-mana. Seperti diajak meeting dan presentasi saat rapat. Alva memang tidak memecat Mutia karena keinginan ayah wanita itu, tetapi Alva juga memiliki batasan dengan sang mantan istri agar Mutia tahu jika dia benar-benar sudah memutuskan semua hubungan dengannya. *** "Jadi, gimana? Kamu mau kerja di sana?" tanya Indira. Tadi, Andini menawarkan pekerjaan di kantor suaminya. Ada jabatan yang bagus untuk Aluna, yaitu manager pemasaran. Manager lamanya sudah memberikan surat resign karena akan pindah ke luar negeri ikut suaminya dan akhirnya Xanders Corp memberikan lowongan untuk posisi tersebut. "Belum tahu, Ma. Itu artinya aku akan kerja di kantor yang sama dengan Alva?" "Ya, nggak apa-apa. Kan kalian nggak pasti bertemu, bahkan mungkin lantai gedung kalian juga beda." Aluna terdiam, dia memikirkan tawaran Tante Andini tetang lowongan pekerjaan di kantor Om Jack yang kini telah di pimpin oleh Alva. Bukankah Mutia juga kerja di sana sebagai sekretaris? Hem, apakah Aluna ambil saja tawaran kerja itu? Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN