Senin (18.46), 12 April 2021
---------------------
Tok tok tok.
Farrel mengetuk pintu kamar mandi lalu menempelkan telinga di daun pintu. Sudah lebih dari setengah jam namun wanita itu tak kunjung keluar. Dia jadi khawatir Kanza pingsan di dalam sana atau malah melakukan sesuatu yang buruk seperti menyakiti diri sendiri.
“Kanza,” Farrel menyebut nama wanita itu dengan nada ragu. “Apa kau baik-baik saja?”
Hening.
“Kalau kau tidak menyahut, aku langsung masuk saja.”
“Aku belum selesai.”
Suara itu terdengar amat pelan, membuat Farrel urung membuka pintu kamar mandi.
“Jangan berendam terlalu lama. Aku sudah menyiapkan pakaianmu di ranjang.”
Tidak ada sahutan.
Farrel mendesah lalu memutuskan keluar kamar. Rasa bersalah mendera hatinya. Dia masih tidak mengerti mengapa kesedihan yang tampak jelas dalam mata Kanza mengusik hatinya. Padahal tidak sedikit wanita yang telah ia buat menangis. Tapi mengapa yang satu ini malah membuat perasaannya jadi kacau?
Farrel menuju ruang tengah lalu menatap makanan yang telah ia tata di atas meja depan tv. Dia tidak pintar masak seperti Fachmi. Karena itu ia terburu-buru menuju restoran dekat apartemen setelah mandi kilat dan berganti pakaian.
Ini benar-benar bukan kebiasaan Farrel. Dia tidak pernah sampai menyiapkan makan siang seperti ini hanya untuk menghibur seorang wanita yang telah ia buat menangis. Kalaupun ia melakukan hal semacam ini, jelas untuk meluluhkan hati wanita yang ingin ditidurinya.
Farrel duduk di sofa dengan pandangan masih mengarah pada makanan di depannya. Tidak ada lilin dan bunga untuk menambah kesan romantis. Makanan itu benar-benar hanya untuk tujuan mengenyangkan perut, bukannya merayu.
Sepuluh menit berlalu, Farrel menegakkan punggung saat mendengar pintu kamar utama terbuka. Padahal suara itu sangat pelan, tapi dia bisa mendengarnya dengan jelas. Seketika Farrel menjadi cemas. Sungguh, lebih mudah menghadapi wanita yang mengamuk karena telah ia sakiti hatinya daripada hanya diam membisu seperti Kanza.
“Hai, akhirnya kau selesai mandi.” Farrel buru-buru berdiri saat melihat Kanza di dekat sofa. Tanpa menunggu tanggapan, dia merangkul pundak wanita itu lalu menariknya duduk di sampingnya. “Aku menyiapkan makan siang untukmu. Makanlah.”
Kanza masih diam. Hanya memandangi makanan itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Hal itu membuat Farrel menjadi gelisah.
“Hmm, atau kau mau kusuapi?” Farrel mencoba menggoda namun masih tetap tidak ada tanggapan.
“Kanza—”
“Aku minta maaf.”
“Hah?” Farrel tidak mengerti mengapa Kanza mendadak minta maaf. Seharusnya dirinya yang berkata demikian.
“Aku—aku minta maaf karena telah bersikap berlebihan.” Kanza menunduk untuk menyembunyikan air mata yang kembali mengalir. “Aku memang egois. Aku meminta terlalu banyak darimu padahal kau sudah memberi lebih dari yang pantas kudapatkan.”
Kening Farrel berkerut tidak mengerti. “Apa maksudmu? Kau tidak salah apa-apa. Aku yang minta maaf. Wanita itu, dia mantan kekasihku. Aku lupa belum memutuskan hubungan dengannya sebelum bertunangan denganmu.”
Shit! Kenapa dia memilih kata itu? Lupa? Dia jadi terdengar seperti b******n yang sesungguhnya. Yah, meski itu benar. Tapi seharusnya dia tidak membuat dirinya sendiri jadi terlihat lebih buruk di mata Kanza.
“Jadi, aku adalah orang ketiga?”
“Tidak, bukan seperti itu.” Apa yang harus ia katakan? Bahwa Abey adalah teman tidurnya?
“Seharusnya aku juga minta maaf pada wanita itu,” suara Kanza berubah lemah. Lalu tiba-tiba dia mendongak menatap mata hitam Farrel seraya kedua tangan menangkup di depan d**a dalam posisi memohon. “Sungguh, aku janji tidak akan bersikap seperti ini lagi. Aku tidak akan mencampuri urusanmu. Aku hanya terbawa suasana hingga lupa di mana tempatku.”
Mata Farrel menyipit sementara keningnya berkerut tidak mengerti. “Apa maksudmu? Kau tunanganku. Tentu saja kau berhak mencampuri urusanku.”
Tak diduga, Kanza malah tersenyum manis seraya menghapus air mata di wajahnya. “Terima kasih,” ucapnya singkat lalu menghadap makanan yang sudah disajikan Farrel. “Seharusnya kau tidak perlu repot-repot membeli makanan untukku juga. Sisa sarapan tadi masih banyak.”
Kali ini Farrel yang tidak menanggapi. Dia terus menatap Kanza dari samping, seolah berharap menemukan jawaban atas kebingungannya. Sebenarnya seperti apa hubungan Kanza dengan Fachmi? Kenapa wanita itu tampak merasa bersalah karena telah bersikap lancang?
Ingin rasanya Farrel bertanya lebih jauh. Tapi tentu saja itu akan menimbulkan kecurigaan. Jadi dia putuskan untuk diam, namun bertekad mencari tahu.
“Kau tidak makan?” tanya Kanza karena Farrel masih diam sambil memandangi dirinya.
Farrel hanya tersenyum kecil lalu mengalihkan perhatian pada makanan di hadapannya.
***
Sore kemarin, Farrel memutuskan membeli keperluan mengecat seorang diri. Namun pulangnya dia juga membawa banyak belanjaan untuk keperluan dapur termasuk makanan kesukaannya.
Sikap Kanza sudah kembali ceria seperti semula namun Farrel merasakan dengan jelas bahwa wanita itu hanya bermain peran. Ya, sikapnya seperti dipaksakan. Bibirnya tetap tersenyum namun hatinya mungkin masih terluka. Karena itu Farrel bertekad akan bersikap manis untuk menyembuhkan luka hati Kanza akibat perbuatannya.
Malamnya Farrel meminta Kanza tidur di kamar utama sementara dirinya tidur di sofa. Lagi-lagi itu di luar kebiasaannya. Dia tidak pernah harus bersikap layaknya lelaki sejati di hadapan siapapun.
Hari ini beberapa saat sebelum waktu makan malam, akhirnya Farrel selesai mengecat kamar Kanza. Dia tidak bisa menahan senyum puas melihat mata Kanza berbinar saat memandangi seluruh dinding ruangan itu.
“Wow, Fachmi. Ini indah sekali.”
Seketika senyum Farrel menghilang dan raut wajahnya berubah kesal. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia tidak suka mendengar seseorang salah menyebut namanya. Rasanya dia ingin berteriak memberitahukan namanya pada Kanza.
“Kau bahkan melukis wajahku dengan sangat detail. Benar-benar mirip.”
Kanza tampak takjub memandangi lukisan wajahnya di dinding dan Farrel tahu betul itu bukan pura-pura. Namun bukannya senang, Farrel semakin kesal karena perasaan itu Kanza tujukan untuk Fachmi, bukannya dirinya. Farrel.
Masih dengan mata berbinar, Kanza menoleh menatap Farrel. “Aku akan memasak apapun yang kau inginkan malam ini. Jadi sebaiknya kau segera mandi dan ganti pakaian.” Kanza berbalik hendak keluar kamar namun langkahnya terhenti karena Farrel memegang lengannya. “Ada apa?”
“Tidak perlu masak. Aku ingin jalan-jalan. Kudengar ada pameran dekat sini.”
“Oh,” Kanza berusaha menyembunyikan perasaan kecewanya. “Kalau begitu hati-hati di jalan. Biar aku yang membereskan tempat ini.”
Farrel berdecak. “Apa maksudmu? Aku tidak ingin pergi sendirian. Kau harus menemaniku.”
Hati Kanza berubah girang seketika. Namun dia segera menekan perasaan itu. Lagi-lagi dia terbawa suasana. Padahal Fachmi hanya bersikap baik padanya. “Hm, kalau begitu sebaiknya aku ganti pakaian sekarang.”
“Ya, tentu saja.” Farrel melepas lengan Kanza lalu menyelipkan kedua tangan di saku depan celana jins.
“Kau juga sebaiknya mandi dan ganti pakaian.”
Salah satu alis Farrel terangkat. “Memangnya kenapa? Para wanita selalu bilang aku tampak keren mengenakan pakaian apapun.”
Kali ini Kanza yang berdecak. “Kau bau keringat dan pakaianmu kotor. Kalau kau tidak keberatan dianggap sopirku, tidak masalah kau pergi seperti itu.”
“Hei, Nona! Jangan cemburu lagi kalau nanti ada banyak wanita yang menempel padaku setelah aku mandi dan ganti pakaian bagus.”
Refleks Kanza melotot ke arah lelaki itu sementara Farrel menampilkan sorot menantang. Tapi itu hanya sebentar karena detik berikutnya Kanza kembali didera rasa bersalah. Kenapa dia harus selalu terbawa suasana? Dia tidak berhak melarang Fachmi dekat dengan wanita manapun. Sementara itu Farrel juga merasa bersalah setelah melihat sorot mata Kanza berubah redup. Seharusnya dia tidak mengingatkan Kanza tentang kejadian kemarin.
“Maaf.”
Keduanya mengatakan itu bersamaan lalu saling memandang lama. Kanza yang lebih dulu memalingkan wajah karena mendadak debar jantungnya berubah aneh saat matanya beradu dengan mata Fachmi.
Farrel sendiri menggosok tengkuknya dengan perasaan bingung. Dia tidak mengerti perasaan apa yang tadi melanda hatinya saat mereka berdua saling pandang.
“Hmm, sebaiknya kita pergi sekarang sebelum malam semakin larut,” gumam Farrel kemudian.
“Ya.” Kanza mengangguk. “Jangan lupa mandi dan ganti pakaian,” imbuhnya lalu buru-buru keluar kamar. Tapi beberapa detik kemudian Kanza kembali masuk dengan wajah bersemu merah karena malu. “Pakaianku ada di sini.”
“Oh,” Farrel nyengir. “Seharusnya aku yang keluar.” Lalu buru-buru dia keluar kamar tanpa menunggu tanggapan lagi.
Bibir Kanza menampilkan senyum tertahan. Belum pernah ia melihat Fachmi tampak malu seperti itu. Lelaki itu jadi terlihat amat manis. Mendadak Kanza menepuk kening dengan kesal saat menyadari lagi-lagi dirinya terbawa suasana, dan mungkin juga sudah terjerat pesona Fachmi.
***
Farrel dan Kanza keluar dari mobil seraya memperhatikan keramaian di sekeliling mereka. Lalu keduanya saling pandang dengan senyum girang.
“Siap bersenang-senang?” tanya Farrel seraya mengedipkan sebelah mata.
“Tentu saja.” Kanza menyeringai.
Farrel mengulurkan tangan yang langsung disambut Kanza. Tapi Farrel memindahkan tangan Kanza yang balas menggenggam jemarinya agar merangkul lengannya. “Jangan dilepas. Kalau kau hilang, aku tidak akan mencarimu.”
Kanza tertawa kecil, sadar betul Farrel hanya bercanda. Lalu keduanya berjalan mengikuti arus manusia di keramaian itu layaknya sepasang kekasih.
“Lihat ini! Cocok untukmu.” Farrel menunjuk salah satu jepit saat mereka berhenti di stan aneka jepit rambut.
“Lebih cocok untukmu.” Kanza memasang jepit kawat dengan hiasan bunga yang ditunjuk Farrel ke rambut lelaki itu, lalu tertawa geli.
“Ah, kau ini. Nakal.”
Farrel memukul bahu Kanza dengan gaya gemulai, membuat wanita itu meringis geli. Lalu keduanya tertawa.
“Eh, Farrel. Kapan kau pulang?”
DEG.
Seketika tubuh Farrel jadi kaku. Dia tidak segera berbalik menghadap orang di belakangnya yang baru saja bicara. Astaga, kenapa dia lupa bahwa dirinya sedang berperan menjadi Fachmi? Saudara kembarnya itu tidak pernah tertawa lepas atau bercanda seperti yang tadi dia lakukan. Apalagi di tengah keramaian.
Setelah berdehem pelan dan memastikan raut wajahnya berubah datar, dia berbalik menghadap orang di belakangnya yang merupakan salah satu teman dekatnya, Trevor. Tanpa kata, Farrel menatap tajam Trevor sambil berdoa dalam hati semoga dia segera pergi. Trevor selalu berkata tatapan Fachmi mengerikan dan hal itu membuatnya enggan berlama-lama dekat Fachmi.
Trevor tampak tertegun selama beberapa saat lalu meringis. “Oh, kukira Farrel. Maaf telah mengganggu.” Setelahnya Trevor buru-buru pergi, tidak ingin terlibat percakapan lebih jauh dengan Fachmi.
Farrel menghela napas lega.
“Siapa itu?” tanya Kanza.
“Tidak tahu. Mungkin salah orang,” sahut Farrel datar.
Kening Kanza berkerut dan dia menatap Fachmi lebih lama. Sadar betul sikap lelaki itu kembali berubah. Dia jadi bertanya-tanya apa dirinya melakukan sesuatu yang salah hingga membuat sikap Fachmi berubah seperti awal pertemuan mereka.
“Kenapa?” Farrel bertanya, masih dengan nada datar.
“Ah, tidak.”
Sadar apa yang Kanza pikirkan, Farrel mendekatkan bibirnya ke telinga Kanza lalu berbisik, “Cepat beli jepit manapun yang kau mau. Kita tidak bisa berlama-lama karena masih banyak stan yang harus kita kunjungi. Dan aku mulai lapar.”
Kanza hanya mengangguk singkat sebagai jawaban. Dia selalu merasa ada jarak diantara mereka jika sikap Fachmi sudah berubah menjadi kaku dan dingin seperti ini. Bahkan sepanjang sisa perjalanan menyusuri stan-stan yang lain, Kanza sama sekali tidak bisa menikmatinya.
Sekitar dua jam kemudian, mereka sudah berada di dalam apartemen kembali. Ada banyak kantong belajaan namun semua itu atas pilihan Farrel karena Kanza sudah kehilangan minat sejak sikap Farrel berubah.
Seperti kebiasaannya, Kanza selalu menyempatkan diri cuci muka setelah keluar rumah selama berjam-jam. Saat dirinya keluar kamar mandi, dia dikagetkan dengan kehadiran Fachmi yang tengah duduk di tepi ranjangnya
“Ada apa?” tanya Kanza seraya melipat lengan di depan d**a. Tadi dia sudah melepas pakaian dan kini hanya mengenakan tanktop tipis dan celana pendek setengah paha.
Farrel berdiri lalu tanpa bisa dicegah, matanya melirik ke arah d**a Kanza yang tidak sepenuhnya tertutup lengannya. Tapi buru-buru dia mengalihkan pandangan ke arah mata kecokelatan wanita itu. “Hm, aku minta maaf.”
Kening Kanza berkerut bingung. “Untuk apa?”
“Untuk yang tadi. Kadang aku tidak bisa mencegah sikapku berubah aneh.” Lagi, ini di luar kebiasaan Farrel. Dia tidak pernah meminta maaf untuk hal sepele seperti ini.
Mendadak Kanza tertawa geli. “Kau lucu. Kenapa harus minta maaf untuk hal tidak penting seperti ini?”
Farrel meringis. “Aku hanya merasa harus minta maaf karena telah membuatmu tidak bisa menikmati waktu akibat sikapku.”
“Maaf diterima.” Kanza menyeringai. “Kalau begitu tunggu di luar. Aku hendak—argh!”
Kanza memekik kaget karena dirinya terpeleset saat hendak berbalik menuju lemari. Beruntung Farrel segera menarik lengannya tapi akibatnya wanita itu jatuh ke atas ranjang menimpa tubuh Farrel.
“Sial!”
Farrel mengumpat karena Kanza berhasil membuat dirinya menegang. Padahal sedari tadi dia sudah mati-matian menahan diri.
“Oh, maaf.”
Kanza buru-buru hendak berdiri karena dia pikir Farrel marah. Tapi keseimbangan tubuhnya belum terjaga hingga ia lagi-lagi harus jatuh dan kali ini bibirnya mendarat tepat di bibir Farrel.
Kanza segera menjauhkan wajahnya dengan ekspresi kaget. Kembali dia berusaha bangun dari atas tubuh Farrel namun Farrel malah melingkarkan lengannya di pinggang Kanza.
“Kau benar-benar cari mati rupanya,” geram Farrel lalu tanpa memberi Kanza kesempatan menghindar, dia menyambar bibir wanita itu sementara salah satu tangannya menahan belakang kepala Kanza.
-------------------
♥ Aya Emily ♥