Enam

2904 Kata
Senin (18.44), 12 April 2021 -------------------- Farrel merangkul Kanza lalu membawanya menembus tirai hujan kembali ke apartemen yang jaraknya hanya beberapa meter dari minimarket. Petugas kebersihan apartemen pasti akan mengeluh dalam hati karena mereka datang dengan air menetes-netes dari tubuh. Tapi Farrel maupun Kanza sedang tidak peduli. Toh para petugas itu tidak akan berani menyampaikan keluhan di hadapan penghuni apartemen. Di dalam lift, keduanya terus saling membisu. Kanza sudah berhenti menangis namun sakit hatinya masih terasa jelas. Sedangkan Farrel semakin dibuat bingung dengan perasaannya sendiri. Sejak memasuki lift, Farrel tak lagi merangkul Kanza. Namun tangan kirinya menggenggam tangan kanan Kanza erat. Sementara Kanza hanya pasrah saja. Tidak menolak tapi juga tidak menunjukkan persetujuan akan sikap Farrel. Dia masih tertunduk, seolah lantai kini menjadi pusat dunianya. Di dalam apartemen Fachmi, Kanza hanya mengikuti ke arah mana Farrel membawanya. Dia bahkan sama sekali tidak menolak saat Farrel menariknya menuju kamar utama, langsung ke kamar mandi. Kanza nampak sudah tidak peduli lagi. “Aku bisa saja membantumu mandi, tapi aku tidak ingin membuatmu lebih membenciku dari ini.” Farrel berusaha melucu namun Kanza sama sekali tidak merespon. “Mandilah. Aku akan ambilkan pakaianmu.” Selama beberapa detik, Farrel masih berdiri diam di sana, ragu meninggalkan Kanza karena wanita itu terus berdiri bak patung. Tapi akhirnya dia mundur selangkah, lalu berbalik keluar kamar mandi. Sepeninggal Fachmi, air mata Kanza kembali menetes. Satu tetes, dua tetes, dan akhirnya mengalir semakin deras diiringi isakan. Perlahan tubuh Kanza merosot lalu terduduk di lantai dengan kedua kaki menekuk di depan d**a. Wanita itu terus menangis dengan wajah terbenam di atas lutut.  Tangis tertahan yang menyayat hati. Tanpa bisa dicegah ingatan Kanza melayang pada pertemuan pertamanya dengan Fachmi Aditama Effendi. *** “Ayah, minum dulu tehnya.” Ayah Kanza tersenyum seraya menerima teh hangat dari tangan putri sulungnya itu. “Sebaiknya Ayah tidak perlu bekerja hari ini. Asma Ayah kambuh lagi.” Kanza menatap sang Ayah dengan raut cemas. “Jangan terlalu dipikirkan.” Lelaki enam puluh tahun itu membelai rambut Kanza. “Ayah baik-baik saja. Kalau hari ini Ayah tidak bekerja, gaji Ayah akan dipotong dan kita akan  semakin kesulitan membayar uang sekolah Wina.” Kanza mendesah. Ya, selalu uang yang menjadi masalah utama dalam keluarga kecil Kanza. Ibunya meninggal karena menutup-nutupi penyakit yang ia derita. Apalagi alasannya kalau bukan biaya pengobatan? Dan sekarang sang Ayah kondisinya juga kian memburuk karena menolak memeriksakan diri ke dokter. “Kanza berharap Ayah mendapat pekerjaan lain. Pekerjaan yang tidak membuat asma Ayah semakin parah,” ujar Kanza sedih. Ayah Kanza bekerja pada seorang petani tembakau. Mulai dari panen, merajang, hingga menjemur tembakau, membuatnya harus berjam-jam menghirup aroma bahan utama rokok yang mengandung nikotin itu. Jadi tidak heran meski Ayah Kanza bukan seorang perokok, penyakit asmanya terus bertambah parah. Sementara Kanza yang hanya lulusan SMP, bekerja sebagai guru PAUD di sebuah sekolah dekat rumah mereka. Gajinya tentu tidak seberapa, bahkan setelah digabungkan dengan gaji sang Ayah. Hanya cukup untuk makan mereka sehari-hari. Lalu untuk membayar uang sekolah Wina, mereka mencari penghasilan tambahan dengan menjadi pemulung. Kanza sama sekali tidak malu melakukan pekerjaan itu. Selama dia bekerja dengan cara halal dan tidak merugikan orang lain, dia akan melakukannya. Kini Wina sudah mendekati ujian kelas tiga SMA. Semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan. Apalagi Kanza dan sang Ayah bertekad agar Wina bisa melanjutkan ke bangku kuliah. Setidaknya sang adik tidak akan hidup susah seperti mereka dengan bekal ilmu dan ijazah tinggi yang akan dimilikinya kelak. Namun semua itu masih rencana jangka panjang. Masalah di hadapan mereka kini adalah mencari tambahan uang untuk sekolah Wina. Jika tidak, Wina tidak akan bisa mengikuti ujian akhir. Bahkan Kanza sudah mulai bertanya pada tetangga dan teman-temannya untuk meminjam uang, namun mereka semua juga sedang berada dalam masalah yang sama. “Pekerjaan sekarang sulit, Nak.” Ayah Kanza menanggapi kata-kata Kanza sebelumnya. “Lagipula Ayah masih sanggup.” Lagi-lagi tidak ada yang bisa Kanza lakukan selain mendesah. Ingin sekali dia meminta sang Ayah berhenti bekerja. Namun gajinya sendiri terlalu kecil untuk menghidupi mereka bertiga. Bahkan gaji sang Ayah masih lebih besar dari gaji Kanza. “Seperti biasa, kamu terlalu memikirkan banyak hal. Itu tidak baik untuk kesehatanmu. Ingat, Kanza. Tuhan tidak pernah tidur. Kalau kita meminta dan menurut Tuhan kita pantas mendapatkan apa yang kita minta, maka Dia akan memberikannya. Kalau apa yang kita minta tidak terwujud, coba introspeksi diri. Mungkin ada sesuatu yang membuat Tuhan merasa kita tidak pantas mendapatkan apa yang kita minta.” Kanza terdiam, merenungi kata-kata sang Ayah. “Apa mungkin ada sesuatu yang pernah kita lakukan yang membuat Tuhan tidak senang, ya?” “Atau Tuhan sedang menguji kita dan Dia tengah menyiapkan hadiah jika kita berhasil.” Ayah Kanza tersenyum, kembali membelai rambut lurus Kanza yang panjang mencapai punggung. Akhirnya Kanza turut tersenyum, paham maksud sang Ayah. Drrrtt. Getar ponsel di saku Kanza mengalihkan perhatian wanita dua puluh satu tahun itu dari masalah di hadapannya. Sebenarnya Kanza sudah berencana menjual ponsel itu jika uang yang berusaha ia kumpulkan masih kurang. Namun sang Ayah melarang karena ponsel itu satu-satunya benda yang bisa menghubungkan Wina dengan Kanza. Ya, tidak jarang mereka harus meninggalkan Wina sendirian di rumah karena Kanza dan sang Ayah harus bekerja hingga larut malam. Hanya di akhir pekan Wina diizinkan membantu. Lagipula ponsel itu sudah ketinggalan zaman. Kalaupun dijual pasti laku dengan harga yang sangat murah. “Halo. Kenapa, Win?” Kanza tidak berbasa-basi setelah membaca caller id di layar ponselnya. “Apa benar Anda Kakak dari saudari Wina?” DEG. Kanza tidak bisa menyembunyikan perasaan kaget mendengar suara lelaki yang berbicara padanya. Dia sampai menjauhkan ponsel dari telinga lalu membaca lebih teliti caller id. Tidak salah. Itu memang nomor ponsel Wina. Ragu, Kanza kembali mendekatkan ponsel ke telinga lalu berkata, “Iya, benar. Ini siapa dan kenapa ponsel adik saya berada di tangan Anda?” “Saya security Mall. Adik Anda terpaksa saya tahan di kantor karena baru saja mencoba mencopet. Beruntung berhasil digagalkan.” DEG. Kali ini debar jantung Kanza terasa lebih menyakitkan. Dia sampai ternganga, tidak mempercayai pendengarannya. Benarkah yang dimaksud si security adalah Wina adiknya? Apa mungkin dia salah orang? Tapi ponsel yang dia gunakan menelepon memang ponsel Wina. “Kanza, ada apa?” tanya Ayah Kanza karena merasakan perubahan sikap putrinya. Kanza hanya menatap sang Ayah selama beberapa saat, lalu menggeleng pelan. Nanti saja akan Kanza katakan setelah dia berhasil mendapat informasi yang jelas. “Anda yakin tidak salah orang? Adik saya tidak pernah melakukan hal semacam itu.” Kanza masih berusaha menyangkal. “Saya harus kembali bekerja. Jika dia bukan adik Anda, biar saya langsung kirim ke kantor polisi.” “Jangan! Baiklah, saya akan menemui Anda.” Kanza mulai panik lalu buru-buru mematikan sambungan telepon. “Kanza, ada apa?” kali ini sang Ayah bertanya lebih tegas. “Wina,” Kanza tercekat. “katanya Wina mencoba mencopet dan sekarang sedang ditahan security Mall.” Ayah Kanza tampak kaget lalu detik berikutnya dia memegang d**a karena mendadak asmanya kambuh. “Ayah!” seru Kanza seraya berlutut di hadapan sang Ayah yang sedang duduk di kursi kayu ruang tamu. Buru-buru dia meraih inhaler lalu menyerahkannya ke tangan sang Ayah. Mata Kanza berkaca-kaca namun dia menahan diri untuk menumpahkan air mata. Selama beberapa saat dia hanya menggenggam jemari sang Ayah erat seraya menunggu kondisi Ayahnya pulih. “Pergilah, jemput adikmu. Pasti itu hanya salah paham,” ujar Ayah Kanza dengan nada lemah. “Lalu Ayah bagaimana?” suara Kanza berubah serak. “Apanya yang bagaimana? Asma Ayah sudah biasa kambuh. Setelah istirahat sebentar, Ayah akan pulih kembali.” “Sebaiknya Ayah tidak perlu pergi mencari barang bekas hari ini. Biar Kanza dan Wina saja yang akan melakukannya.” Ayah Kanza mengangguk untuk menenangkan putrinya. “Sudah, sana jemput adikmu. Kasihan dia.” Kanza mencium punggung tangan dan pipi sang Ayah sejenak lalu buru-buru keluar rumah. Hari ini adalah hari minggu. Kanza dan sang Ayah libur bekerja. Biasanya dari pagi mereka sudah keliling untuk mengumpulkan barang bekas yang nantinya mereka jual. Namun pagi ini kondisi sang Ayah terlihat lebih buruk hingga Kanza memutuskan menunda bekerja. Sementara Wina meminta izin ke rumah temannya untuk mengerjakan tugas. Kanza tahu betul sang adik bukanlah seorang pembohong. Ayah mereka mendidik mereka dengan baik. Lalu bagaimana bisa Wina ada di Mall? Pasti Ayahnya benar. Ada kesalahpahaman yang terjadi. Kanza berjalan lebih cepat menuju satu-satunya Mall di kota itu. Lima belas kemudian, dia telah sampai dan segera menghampiri salah seorang security yang tampak berjaga di pintu depan. Security itu mengatakan bahwa rekannya yang mengatasi kasus pencopetan tadi lalu mengantar Kanza ke tempat pelaku sedang ditahan. Jantung Kanza serasa akan lepas saat melihat sendiri orang yang telah melakukan aksi pencopetan. Itu memang Wina yang tampak sedang menangis dengan kepala tertunduk. “Wina, apa yang terjadi?” Kanza langsung bertanya begitu ia berlutut di hadapan sang Adik. Mendengar suara Kanza, Wina makin menunduk, tak berani menantang mata sang Kakak. “Kenapa diam saja? Katakan pada Kakak! Apa ada yang mencoba memfitnahmu?” Kanza mendesak seraya mengguncang bahu Wina. Namun sang Adik masih bungkam dan sesekali nampak tubuhnya bergetar, menangis tanpa suara. “Tidak ada yang mencoba memfitnah, Nona. Adik Anda memang pencopet.” Security berkumis tebal yang tadi menelepon Kanza, menyahut dengan nada malas. Tidak terima adiknya dituduh pencopet, Kanza berdiri lalu menatap tajam si security. “Siapa yang Anda bilang pencopet?! Adik saya tidak akan melakukan hal semacam itu!” “Tidak ada gunanya melotot pada saya. Banyak saksi mata dan insiden tadi juga terekam CCTV. Ditambah lagi korban sendiri yang langsung menangkap adik Anda sebelum sempat kabur.” Si security menjelaskan dengan santai. “Atau Anda ingin bicara sendiri dengan korban?” tanyanya seraya menunjuk ke arah sofa dekat pintu masuk. Saat itulah Kanza baru menyadari keberadaan orang lain dalam ruangan itu selain dirinya, Wina, dan security berkumis tebal. Lelaki itu duduk tenang memperhatikan keributan di depannya. Mata hitamnya menyorot tajam mata kecokelatan Kanza dengan ekspresi menilai. Tanpa membuang waktu, Kanza bergegas menghampiri lelaki itu. “Tuan, Anda pasti salah orang. Adik saya tidak mungkin mencopet. Walau kami orang miskin, Ayah kami selalu mengajarkan agar kami tidak pernah melakukan pekerjaan rendahan seperti mencopet dan sejenisnya.” Tidak ada tanggapan dari lelaki itu. Dia hanya diam dengan tatapan lurus menghunjam mata kecokelatan Kanza. “Kenapa Anda hanya diam saja? Kalau Anda terus diam, berarti Anda mengakui bahwa Anda memang salah orang,” putus Kanza dengan suara serak. “Lalu kenapa Adik Anda diam?” mendadak lelaki itu balik tanya. “Apa itu artinya dia juga mengakui bahwa dirinya salah?” DEG. Pertanyaan yang diajukan dengan nada dingin itu serasa menusuk hati Kanza. Bukan lagi karena sakit hati adiknya dituduh macam-macam, melainkan karena dia mulai berpikir kemungkinan Wina memang benar telah melakukan perbuatan yang dituduhkan padanya. “Adik saya—tidak mungkin—” “Kakak.” Suara lemah Wina mengalihkan perhatian Kanza. Buru-buru dia menghampiri adiknya lalu kembali berlutut di hadapannya. Kali ini Wina balas menatap Kanza dengan mata merahnya yang masih nampak berair. Rasa bersalah tercetak jelas di sana. “Katakan pada mereka bahwa ini salah paham. Kau tidak mungkin—” “Mereka benar, Kak.” Hanya itu yang bisa Wina katakan sebelum dia terisak pelan. Seketika Kanza merasa tubuhnya lemas. Dia terduduk di lantai di hadapan sang Adik. “Kenapa, Win? Kenapa kamu lakukan itu?” kali ini Kanza membiarkan air matanya mengalir. “Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan Ayah jika mengetahui hal ini? Dia pasti sangat kecewa.” Wina terus terisak. “Ma—af, Kak.” Tanpa menanggapi permintaan maaf Wina, Kanza segera berdiri seraya menghapus air mata di wajahnya lalu menghadap pada dua orang lelaki dalam ruangan itu. “Saya—” Kanza tercekat. “Saya mewakili adik saya untuk minta maaf. Kalau Anda minta ganti rugi, saya akan berusaha memenuhinya.” Si security tidak menanggapi, hanya menoleh ke arah lelaki bermata hitam. Dia hanya bertindak sebagai penengah di sini. Jadi dia sama sekali tidak berhak memberi hukuman atau minta ganti rugi. Perlahan, lelaki bermata hitam itu berdiri. Lalu dia mengatakan sesuatu yang membuat Kanza ternganga tidak percaya. “Ayo, kuantar kalian pulang.” *** Lelaki bermata hitam itu memperkenalkan diri dengan nama Fachmi Aditama Effendi. Kanza semakin merasa bersalah saat lelaki itu mempersilakan dirinya dan sang adik naik ke mobil mewah lelaki itu yang dikemudikan sopir. Fachmi duduk tenang di kursi belakang dengan pandangan lurus ke depan. Sementara Kanza yang duduk di sebelahnya tampak gelisah. Wina yang duduk di kursi depan sebelah sopir juga sesekali melirik ke arah Kanza dengan raut tidak tenang. “Sekali lagi, saya minta maaf untuk kejadian tadi.” Kanza berusaha memecah keheningan. “Kau sudah mengatakan itu lebih dari sepuluh kali. Aku sampai bosan mendengarnya,” Kanza menggigit bibir mendapat tanggapan dingin itu dari Fachmi. Dia berpikir bahwa lelaki itu masih marah tapi berusaha menutupinya. Hanya butuh lima menit dan mobil hitam Fachmi sudah sampai di depan rumah Kanza dan Wina yang tampak nyaris roboh. Ya, kayu-kayu penopang rumah itu sudah rapuh dan beberapa terlihat jelas digerogoti rayap. “Jadi, di sini kalian tinggal?” tanya Fachmi dengan nada datar setelah mereka semua turun dari mobil. “Ya,” sahut Kanza singkat, bingung harus melakukan apa karena lelaki itu tidak segera pergi. Dia jadi berpikir apa lelaki itu masih hendak membalas perbuatan Wina yang nyaris mencopetnya. “Boleh aku masuk?” Kanza dan Wina kembali saling pandang. Tapi kemudian Kanza mengangguk ragu. Kanza mendahului Fachmi masuk ke dalam rumah seraya memanggil sang Ayah. Namun tidak ada sahutan. “Silakan duduk. Saya akan memanggil Ayah. Dia pasti sedang istirahat di kamar.” Fachmi hanya mengangguk sebagai tanggapan dengan pandangan mengarah pada sekeliling ruangan. Buru-buru Kanza masuk untuk mencari sang Ayah “Ayah!” seru Kanza lagi karena tidak menemukan ayahnya di kamar. Apa ayahnya memaksakan diri pergi kerja sendirian? BRAKK! Kanza tersentak kaget. Buru-buru dia menuju dapur tempat suara tadi berasal. Seketika mata Kanza melebar melihat sang Ayah tergeletak di lantai dengan napas tersendat-sendat. *** Kanza tidak pernah menyangka bahwa hidupnya berubah tiba-tiba hanya dalam waktu satu hari. Perubahan itu tentu karena campur tangan seorang Fachmi. Lelaki itu dengan sigap membantu membawa Ayah Kanza ke rumah sakit. Seperti yang ditakutkan Kanza, penyakit asma sang Ayah bertambah parah. Dokter mengharuskan lelaki dua anak itu dirawat intensif di rumah sakit. Kanza dan Wina hanya bisa menangis. Mereka tidak punya cukup uang untuk biaya pengobatan. Belum lagi uang sekolah Wina yang harus segera dilunasi. Saat itulah Fachmi mengulurkan tangan bak pahlawan bagi keluarga Kanza. Dengan nada datarnya dia berkata akan menanggung penuh biaya pengobatan Ayah Kanza dan juga hendak menanggung biaya sekolah Wina hingga lulus sarjana. “Tapi tentu saja ada syaratnya,” ujar Fachmi kala itu. “Apa syaratnya?” Kanza bertanya dengan nada cemas. “Kau harus menikah denganku.” Kanza terbelalak namun tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. “Tidak!” mendadak Wina berseru. Fachmi mengatakan itu memang di hadapan Wina dan Kanza. “Kakakku bukan w************n. Dia tidak akan menjual diri hanya demi sejumlah uang.” “Siapa yang bilang kakakmu hendak menjual diri? Yang aku tawarkan adalah pernikahan.” Wina langsung bungkam meski dalam hati masih merasa apa yang ditawarkan Fachmi tidak benar. “Ke—kenapa kau ingin menikah denganku?” Akhirnya Kanza sanggup bersuara. “Sudah waktunya aku menikah dan hatiku merasa kau adalah wanita yang tepat.” “Aku—tidak mengerti. Kita baru kenal dan keluargaku menyeretmu dalam masalah. Kenapa kau malah berpikir aku adalah wanita yang tepat?” “Anggap saja insting seorang lelaki.” Fachmi angkat bahu. “Intinya kau mau atau tidak? Aku juga akan menjamin kehidupan Ayah dan Adikmu di sini. Semua kebutuhan mereka. Makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Semua akan kupenuhi.” Kanza tergiur. Kesepakatan yang diajukan Fachmi sangat menguntungkan Kanza dan keluarganya. Bahkan dia sendiri juga akan diakui istri sah lelaki itu. Lalu, apalagi yang dirinya tunggu? “Tidak, Kak. Aku merasa ada yang salah di sini. Dia seolah membeli Kakak untuk menjadi istrinya. Berarti ada sesuatu yang tidak baik yang akan menimpa Kakak.” Wina berkata dengan suara pelan. Dia yang salah karena telah membawa Fachmi dalam kehidupan mereka. Dia tidak mau sesuatu yang buruk menimpa sang Kakak karena menerima kesepakatan yang diajukan Fachmi. Kanza terdiam. Perasaannya campur aduk. Memangnya hal buruk apa yang akan menimpanya dengan menerima sebuah pernikahan? Ditambah lagi pernikahan ini akan membuat kehidupan Ayah dan Adiknya jadi lebih baik. Bukankah sangat bodoh jika Kanza menolak? “Jadi, bagaimana jawabanmu?” desak Fachmi. “Maaf sebelumnya tapi kakakku tidak—” “Aku setuju.” Wina langsung terdiam sambil menoleh menatap sang Kakak dengan raut tak percaya. “Kak—” Kanza tersenyum, berusaha menenangkan sang Adik. “Tidak perlu menatap ngeri seperti itu. Kakak hanya akan menikah, bukannya hendak menuju medan perang.” “Pilihan yang bagus. Besok pagi ikut bersamaku membeli cincin tunangan. Aku akan melamarmu di depan Ayahmu. Minggu depan kau akan ikut bersamaku untuk bertemu keluargaku. Kuharap kau tidak keberatan tinggal di apartemenku selama beberapa hari.” Mendengar kata keluarga, Kanza mulai panik. “Bagaimana jika keluargamu menolakku?” “Mereka tidak akan menolak pilihanku.” Hanya itu yang Fachmi katakan mengenai keluarganya. Setelahnya semua berjalan seperti yang direncanakan. Semua, kecuali hari ini. Sekarang Kanza mengerti seperti apa kesepakatan yang ditawarkan Fachmi sebenarnya. Lelaki itu hanya menginginkan istri di atas kertas. Kanza akan menjadi istri sah Fachmi dan Fachmi akan memenuhi semua kebutuhan Kanza serta keluarganya. Namun Kanza tidak akan memiliki lelaki itu sepenuhnya. Baik hati maupun tubuhnya. --------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN