Senin (18.42), 12 April 2021
----------------------
“Astaga.”
Kanza meringis sambil memperhatikan kissmark di sisi lehernya dalam cermin. Terlihat jelas dan mulai membiru.
Sungguh, Kanza tidak habis pikir dengan kelakuan tunangannya itu. Tingkahnya semakin jauh berbeda dengan Fachmi yang pertama kali Kanza kenal. Fachmi yang sekarang dan Fachmi yang dulu seolah memiliki jiwa yang berbeda namun dalam wujud yang sama.
Hufftt.
Sekarang bagaimana caranya dia menutupi tanda itu? Orang yang melihatnya pasti akan langsung tahu bahwa itu bekas ciuman, bukannya bekas gigitan serangga.
Tidak mau terlalu larut memikirkan Fachmi yang berubah, Kanza buru-buru menyelesaikan mandinya lalu keluar hanya dengan sehelai handuk. Dengan cepat dia memilih sweater rajutan berkerah tinggi tanpa lengan lalu dipadukan dengan rok selutut. Setelah memastikan penampilannya cukup rapi, ia pun keluar kamar menuju dapur.
Saat melewati kamar Fachmi, Kanza diam sejenak mencoba mendengarkan. Terdengar suara seperti benda berat yang digeser. Itu berarti Fachmi belum selesai merapikan kembali perabotan dalam kamar itu.
Kanza hanya mengangkat bahu dan sama sekali tidak tergerak untuk membantu. Lelaki itu yang membuat kekacauan. Jadi biar dia sendiri saja yang menyelesaikannya. Lagipula Kanza masih marah karena kissmark di lehernya.
Tiba di dapur, Kanza membuka kulkas lalu memperhatikan isinya sejenak, berpikir dia ingin memasak apa untuk sarapan hari ini. Kemudian perhatiannya tertuju pada udang segar yang siap diolah. Dia ingat saat pertama kali datang ke apartemen ini, Fachmi memintanya memasak udang. Ternyata udang adalah makanan favorit Fachmi. Dia suka menikmati udang dengan bumbu apapun.
Dengan senandung kecil, Kanza mulai mengeluarkan bahan-bahan untuk membuat sarapan. Meski Fachmi akhir-akhir ini selalu bersikap buruk padanya, namun Kanza sama sekali tidak keberatan memasak makanan kesukaan lelaki itu. Lagipula dirinya memang dituntut untuk belajar mengurus Fachmi karena sebentar lagi lelaki itu akan resmi menjadi suaminya. Yah, jika semua lancar dan tidak ada hambatan dalam hubungan mereka.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Kanza sudah mulai menata hidangan di meja. Bersamaan dengan itu terdengar langkah mendekat memasuki dapur.
“Hmm, aromanya sedap sekali. Kau masak apa?”
“Makanan kesukaanmu.” Lalu Kanza menambahkan dengan nada ketus. “Lihat, kan! Aku masih sudi memasak makanan kesukaanmu meski kau selalu bersikap buruk. Harusnya kau mulai memperbaiki sikapmu itu.”
Farrel hanya mengangkat bahu lalu memperhatikan hidangan di atas meja. Seketika keningnya berkerut tidak suka. “Apanya yang makanan kesukaan? Kau ingin membunuhku dengan udang itu?”
Kanza berbalik menghadap Farrel dengan bingung. “Kenapa kau menuduhku seperti itu?”
“Kenapa kau masak udang?” Farrel malah balas tanya. “Kau ingin membuatku mati keracunan?”
“Bukankah udang adalah makanan favoritmu?” kali ini Kanza bertanya dengan nada lemah, seolah bertanya pada dirinya sendiri dan mencoba menggali ingatan. Dia tidak mungkin salah. Kanza ingat betul saat Fachmi melahap udang dengan nikmat.
“Makanan favoritku hati sapi. Tapi sayang di sini tidak ada persediaan hati sapi.” Mendadak Farrel tampak bersemangat. “Bagaimana kalau kita pergi berbelanja sekarang? Aku perlu membeli cat dan kau bisa berbelanja keperluan dapur. Sekalian kita sarapan di luar.”
“Tapi ini—” Kanza menunjuk dengan lemah hidangan yang baru dimasaknya.
“Aku tidak mungkin bisa memakannya. Kalau kau sanggup, kau bisa menghabiskannya sendiri.”
Kanza menatap lekat mata Farrel, mencoba membaca kebenaran di sana. “Kau benar-benar serius tidak bisa makan udang?”
“Aku alergi udang seperti Papa Freddy.” Farrel nyengir.
“Papa Freddy?”
“Sebenarnya dia Pamanku. Tapi dia selalu bilang bahwa aku dan Juan tertukar. Dia lebih yakin bahwa aku adalah anaknya.” Farrel terkekeh pelan, ingat saat-saat keluarga besarnya berkumpul. Pasti Pamannya itu tidak bosan berkata bahwa Farrel dan Juan tertukar atau mengejek Mama Rena yang membenci pamannya itu selama kehamilan hingga sifat Farrel jadi mirip sang Paman.
“Sepertinya keluargamu sangat menyenangkan.” Kanza tersenyum lembut, teringat pada Ayah dan adik perempuannya.
Kening Farrel berkerut. “Kau belum pernah bertemu keluargaku?”
“Kau ini bagaimana, sih? Kau sendiri yang bilang hendak mencari waktu senggang untuk membawaku menemui keluargamu.”
“Oh ya? Aku tidak ingat pernah bilang begitu.” Kerutan di kening Farrel semakin dalam. Kalau Kanza memang benar tunangan Fachmi, mengapa wanita itu belum diperkenalkan pada keluarga besar mereka?
“Tidak heran. Namaku saja kau lupa.” Kanza berkata sinis lalu kembali menatap hidangan di atas meja. “Kalau kau tidak mau, biar aku sendiri yang makan. Sisanya akan kupanaskan untuk makan siang dan makan malam nanti.”
Farrel masih ingin bertanya lebih jauh. Terutama mengenai bagaimana Kanza bisa bertunangan dengan Fachmi. Tapi pertanyaan itu jelas akan membongkar identitasnya sendiri. Meski sejauh ini Kanza belum menyadari bahwa dirinya adalah saudara kembar Fachmi, namun wanita itu sudah mulai curiga. Mungkin hanya menunggu waktu sampai Kanza benar-benar yakin bahwa Fachmi dan Farrel adalah dua orang yang berbeda.
Tapi itu urusan nanti. Sekarang Farrel belum ingin Kanza tahu. Dia tetap tidak setuju Fachmi menikah dengan wanita itu. Karena itu dirinya harus bergerak cepat. Sepertinya sudah waktunya Farrel bersikap lebih tegas untuk mengusir Kanza mennjauh dari kehidupan Fachmi.
Farrel kembali memusatkan perhatian ke arah Kanza yang kini tengah memasukkan sebagian besar hidangan ke dalam wadah untuk ia simpan. Otaknya berputar membuat rencana kilat.
“Kau benar-benar tidak mau makan?” Kanza memastikan, masih belum percaya kenyataan bahwa Fachmi alergi udang.
“Kau juga memasukkan udang ke dalam sup itu?”
Kanza mengangguk. “Hanya potongan kecil. Saat aku membuatnya beberapa hari lalu, kau makan dengan lahap.”
“Aku tidak bisa memakannya.” Farrel menggeleng. “Kau makan saja. Tapi tetap temani aku berbelanja setelah ini.”
“Aku masih harus mencuci.”
“Aku akan menunggu sampai kau selesai mencuci sambil melukis dengan cat yang masih tersisa.” Farrel sudah siap berbalik namun urung karena pertanyaan Kanza.
“Kupikir kau sudah selesai mengecat kamarmu.”
“Memang sudah.”
“Lalu ruangan mana lagi yang hendak kau cat?”
“Kamarmu.” Farrel menyeringai seraya mengedipkan sebelah mata ke arah Kanza lalu bergegas pergi tanpa menunggu tanggapan.
Kanza hanya bisa mendesah, tahu tidak mungkin sanggup mencegah Fachmi melakukan apa yang dia inginkan. Semoga saja dia tidak melukis macam-macam. Setidaknya lukisan di kamar lelaki itu cukup bagus dan pasti akan membuat Kanza betah berlama-lama di kamar.
Akhirnya Kanza menikmati sarapan seorang diri sambil memikirkan mengapa tiba-tiba Fachmi alergi udang. Belum sempat mendapat jawaban, Kanza merasa tidak tega membiarkan Fachmi tidak sarapan sementara dirinya makan enak di sini.
Selesai sarapan, Kanza membuat sandwich sederhana dan segelas jus lalu ia bawa ke kamarnya. Kamar itu sudah tampak berantakan seperti kamar Fachmi kemarin. Tangga dua sisi juga sudah berdiri di salah satu dinding namun Fachmi tidak berada di atasnya. Lelaki itu tampak sedang menuang cat ke dalam wadah lalu mencampur dengan warna lain.
“Sarapan dulu.” Kanza menyodorkan gelas jus dan piring sandwich ke arah Fachmi.
Farrel menatap makanan di tangan Kanza lalu menyeringai. “Tunanganku memang perhatian. Sekalian suapi. Tanganku penuh cat.”
“Aku masih harus mencuci,” ketus Kanza seraya meletakkan piring dan gelas yang dibawanya ke meja lalu berbalik menuju pintu.
“Hei, kenapa marah? Aku kan memujimu.”
Kanza merengut dan sama sekali tidak menghentikan langkah untuk keluar dari kamar. Pujian yang dilontarkan Fachmi selalu saja terdengar seperti ejekan. Jadi mana mungkin Kanza menerima pujiannya dengan hati senang?
Kali ini tujuan Kanza adalah ruang cuci. Desah lelah terdengar dari sela bibirnya melihat ada banyak pakaian Fachmi di sana. Dan, astaga! Celana dalam! Banyak sekali. Memangnya lelaki itu ganti celana dalam berapa kali sehari?
Kanza hanya geleng-geleng kepala lalu mulai memasukkan pakaian kotor itu ke dalam mesin cuci. Benaknya memutar ingatan saat ia baru menginjakkan kaki di apartemen ini. Fachmi benar-benar banyak berubah. Membuat Kanza semakin yakin bahwa dia sedang bersama lelaki lain, bukannya tunangannya. Lama-lama Kanza tidak akan bisa menahan diri untuk berpikir bahwa Fachmi benar-benar memiliki alter ego. Setidaknya hal itu lebih masuk akal untuk menjelaskan perubahan sikap Fachmi yang drastis dan mendadak.
***
Di luar apartemen, Farrel terpaksa benar-benar meniru sikap Fachmi. Dia tidak mau ada seseorang yang mengenalinya dan langsung menyebutnya dengan nama Farrel.
Kadang menjadi kembar identik cukup menguntungkan. Tidak ada yang bisa membedakan wajah Farrel dan Fachmi. Semua orang hanya menebak dari sifat mereka yang sangat bertolak belakang. Tapi berbeda dengan Mama mereka, Rena. Dia bisa membedakan keduanya meski Farrel sedang berpura-pura menjadi Fachmi. Kalau ditanya bagaimana caranya, Rena hanya mengatakan bahwa perasaannya yang bisa membedakan.
Farrel tidak mengambil resiko dengan datang ke Mall. Dia memilih minimarket dekat apartemen yang Farrel ingat juga menjual peralatan melukis dan mengecat.
Tiba di sana, Farrel meminta pendapat Kanza untuk memilih warna-warna yang wanita itu sukai. Sesekali keduanya membahas apa yang hendak Farrel lukis lalu warna apa yang harus digunakan.
Lagi-lagi Kanza merasa sikap Fachmi berubah. Setidaknya kali ini dia berubah ke sifat asalnya. Kaku, dingin, dan jarang tersenyum. Tingkahnya juga tidak lagi asal-asalan. Dia terlihat begitu serius saat memilih cat yang hendak dibelinya. Bahkan cara berjalannya pun tegap dengan langkah yang seolah telah diatur.
Yah, sebenarnya tidak sekaku itu. Tapi Kanza merasa demikian jika dibandingkan dengan sikapnya yang urakan.
“Aku tinggal memilih kuas. Kau bisa mencari kebutuhan dapur sendiri, kan?”
“Ah, iya.”
“Jangan lupa membeli hati sapi.”
“Memangnya di sini ada?”
“Entahlah. Cari saja.”
Kanza hanya mengangguk lalu menjauh, menyusuri rak-rak di minimarket itu. Sepeninggal Kanza, Farrel menghubungi seseorang yang memang sudah dimintanya menunggu di minimarket itu.
“Kau di mana?”
“Aku di belakangmu.”
Farrel mematikan panggilan telepon lalu berbalik, menatap wanita cantik dengan pakaian seksi di belakangnya.
“Kau sudah lama menunggu?”
“Lumayan lama untuk menyaksikan drama kecilmu.” Wanita itu berkata seraya menggandeng lengan Farrel dengan manja. Tentu dia langsung tahu bahwa lelaki di hadapannya adalah Farrel karena memang Farrel yang tadi menghubunginya dan dia cukup hafal bahwa Farrel suka berpura-pura menjadi Fachmi. “Apa dia calon tunangan Fachmi?”
Farrel meladeni wanita itu dengan merangkul pinggang rampingnya. “Kenapa kau bisa menebak seperti itu?”
“Kau berpura-pura menjadi Fachmi di depannya dan kau memanggilku sekarang. Pasti kau berniat menggagalkan rencana pertunangan kakakmu lagi, kan?”
“Abey, kau semakin mengenalku rupanya.” Farrel menyeringai seraya menanamkan kecupan singkat di bibir wanita yang dipanggilnya Abey itu. Beruntung saat ini minimarket itu sepi dan Farrel tahu tidak ada kamera CCTV di sana.
“Dan aku merindukanmu.” Abey memindahkan kedua tangannya untuk merangkul belakang leher Farrel lalu dengan manja dia berjinjit, membuat bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lama.
***
Sesuai dugaan, Kanza tidak menemukan hati sapi di minimarket itu. Dia jadi bingung hendak membeli lauk apa jadi memutuskan kembali menemui Fachmi untuk bertanya.
DHARRR!
Baru dua langkah berjalan, suara itu mengagetkan Kanza. Dia mengintip dari dinding kaca ke arah langit yang mulai menjatuhkan hujannya. Memang sejak keluar dari apartemen tadi, langit sudah mendung. Sepertinya musim kemarau telah berakhir dan kini berganti musim hujan.
Kembali Kanza melanjutkan langkah menuju rak peralatan melukis dan mengecat sambil memperhatikan hujan yang semakin deras diiringi kilat yang menimbulkan suara memekakkan telinga.
Tiba di tempat ia meninggalkan Fachmi tadi, mendadak kaki Kanza membeku. Perasaan kaget yang ia rasakan kini lebih parah daripada kaget karena mendengar suara petir yang tiba-tiba. Bahkan kini suara dari langit itu hanya menjadi latar belakang yang sama sekali tidak tertangkap indera pendengaran Kanza.
Sementara itu, dua orang yang kini menjadi pusat perhatian Kanza tampak larut dalam ciuman panas. Keduanya terus saling memagut, mencecap bibir satu sama lain. Hingga akhirnya Farrel menoleh karena merasakan seseorang tengah memperhatikan mereka.
Tatapan Farrel dan Kanza bertemu. Lalu entah mengapa, d**a Farrel dicengkeram rasa sakit saat melihat air mata menetes membasahi pipi Kanza. Perasaan sakit di d**a Farrel kian terasa saat wanita itu berbalik lalu bergegas keluar dari minimarket, tak memedulikan hujan yang mengguyur tubuhnya.
“Sepertinya kau peduli terhadap wanita itu. Tidak biasanya kau tampak merasa bersalah setelah membuat seorang wanita menangis.”
Farrel sudah melepas rangkulan lengannya di tubuh Abey dan ia mundur selangkah. Namun perhatiannya terus tertuju ke arah perginya Kanza.
“Kuharap dia tidak berniat bunuh diri. Jalan di depan sana cukup ramai dan beberapa orang berkendara lebih cepat saat hujan agar bisa lekas tiba di tujuan.”
DEG.
“s**t! Aku harus menyusulnya.”
Tanpa menoleh ke arah Abey lagi, Farrel bergegas keluar minimarket dan diapun membiarkan tubuhnya diguyur hujan. Perasaan panik mulai melanda hati Farrel karena dia bisa melihat Kanza benar-benar berlari lurus ke arah jalan raya.
Dengan secepat yang ia bisa, Farrel berlari mengejar wanita itu. Dia terus berlari hingga jarak di antara keduanya kian menyempit lalu segera menangkap pergelangan tangan Kanza, menyentak wanita itu agar berhenti.
“Apa yang kau lakukan?!” Bentak Farrel dengan perasaan campur aduk. Yang paling dominan adalah rasa takut. Farrel mengartikan perasaan itu sebagai hal wajar karena dia tidak ingin menjadi pihak yang disalahkan atas kematian Kanza.
Kanza tidak menanggapi pertanyaan Farrel. Dia menangis terisak dengan wajah tertunduk.
Hatinya hancur. Dia seorang wanita dan Fachmi sudah memintanya untuk dijadikan istri di hadapan ayahnya yang sakit-sakitan. Lalu dia ikut bersama lelaki itu dengan status sebagai tunangan, mempercayakan seluruh dirinya di tangan Fachmi. Dia bahkan mulai menikmati keberadaan lelaki itu, meski kadang sikapnya berubah aneh.
Tapi apa yang didapatinya sekarang? Dengan santainya Fachmi mencium wanita lain di tempat umum, meski tahu betul Kanza juga berada di tempat itu. Sama sekali tidak menghargai perasaannya. Apa menurut Fachmi keberadaan Kanza hanyalah mainan tak berarti?
Kanza terus terisak dan hal itu semakin membuat d**a Farrel terasa sakit. Farrel sungguh tidak mengerti apa yang dia rasakan. Sepertinya ini lebih dari sekedar perasaan takut disalahkan jika hal buruk menimpa Kanza.
“Berhenti menangis!” perintah Farrel kesal.
Kanza terus menunduk dan tampak tubuhnya sedikit bergidik karena hujan yang menerpa mereka kian deras.
Farrel mendesah. Mengikuti dorongan hati, dia menghapus jarak yang masih memisahkan mereka lalu menarik wanita itu ke dalam dekapan.
“Maafkan aku. Maaf.”
Seharusnya Farrel tidak mengatakan itu. Seharusnya dia melontarkan kata-k********r hingga Kanza semakin membenci Fachmi lalu memutus hubungan. Tapi Farrel tidak bisa menahan diri. Permintaan maaf itu terucap begitu saja. Membuat dia tidak mengerti dengan tingkahnya sendiri.
-------------------
♥ Aya Emily ♥