Empat

2375 Kata
Jumat (20.34), 26 Maret 2021 -------------------- “Kau payah sekali!” bentak Farrel kesal seraya berkacak pinggang. Kanza terengah sambil menyeka keringat di keningnya. “Kau yang keterlaluan! Tega sekali menyuruh wanita mengangkat ranjang yang berat ini!” Kanza balas teriak. “Kau tidak lihat aku juga membantu?!” “Tapi tetap saja, Tuan Fachmi Yang Agung. Ranjang ini besar dan berat. Kenapa tidak kau angkat saja sendiri kalau merasa sanggup?” “Tadi kan aku sudah memberimu pilihan, membantu mengangkat ranjang ini atau kembali ke gudang untuk mengambil kuas yang tadi kusuruh. Tapi kau bersikeras membantuku mengangkat ranjang. Lagipula aku tidak menyuruh mengangkat, hanya menggeser! “Kau sendiri lari ketakutan dari gudang, tapi kenapa malah menyuruhku kembali ke sana?!” “Karena aku tidak bisa menyelesaikan mengecat tempat ini tanpa kuas. Dan sebagai lelaki sejati, aku tidak mungkin menyuruhmu memindahkan ranjang ini sementara aku mengerjakan pekerjaan sepele seperti mengambil kuas di gudang.” “Cih, lelaki sejati. Pokoknya aku tidak mau tahu, setelah kau selesai dengan urusan mengecat, kita harus membersihkan gudang itu dan mengusir hewan-hewan menjijikkan yang mulai membuat sarang di sana.” “Lakukan saja sendiri. Kau tidak berhak memerintah Tuan rumah.” Kanza sungguh merasa geram. “Kalau kau tidak mau melakukannya, kau punya cukup banyak uang untuk membayar orang.” Mendadak Farrel tersenyum seraya mendekati Kanza lalu tanpa peringatan mencolek dagu wanita itu. “Lalu apa gunanya aku memiliki calon istri cantik yang sehat kalau masih harus membayar orang untuk mengerjakan pekerjaan rumah?” Kanza menepis tangan Farrel dengan kesal. “Aku bukan pembantu!” “Kapan aku bilang begitu? Kau tidak dengar aku memujimu ‘calon istri cantik’?” “Kau bukan memuji, tapi mengejekku.” Kanza melotot. “Terserahlah!” Farrel mengibaskan tangannya seraya mengambil salah satu kaleng cat. “Kalau kau tidak mau mengambil kuas, cepat geser ranjang itu agar aku bisa segera mengecat.” “Lakukan saja sendiri! Aku tidak mau membantumu lagi!” seru Kanza seraya menghentakkan kaki lalu berjalan keluar kamar Fachmi. Sebelum Kanza benar-benar keluar dari kamar, Farrel bergegas mengejarnya, mencekal lengan wanita itu hingga membuat langkahnya terhenti. “Apa lagi?!” bentak Kanza kesal. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi.” “Kenapa tidak?” “Kau harus membantuku.” “Tadi kau bisa mengerjakannya sendiri.” “Tapi sekarang aku sadar lebih enak jika ada orang yang bisa kusuruh-suruh.” Semakin kesal, Kanza mencoba melepaskan lengannya dari cekalan Fachmi namun gagal. “Panggil saja satpam di depan agar bisa kau suruh-suruh!” Kanza melotot. “Aku tidak suka ada banyak orang asing masuk ke kediamanku. Kecuali ada situasi darurat tentunya.” “Mati saja kau!” “Kau bisa masuk neraka karena mengumpati calon suami.” Farrel menahan senyum melihat wajah Kanza yang memerah menahan amarah. “Aku tidak peduli! Sekarang lepaskan aku!” “Baiklah.” Tiba-tiba Farrel melepas lengan Kanza. “Tidak masalah kalau kau tidak mau membantu. Tapi jika nanti malam aku belum menyelesaikan tempat ini, bersiaplah untuk berbagi ranjang denganku.” Fachmi menyeringai seraya mundur. Sebaliknya, Kanza ternganga akan ancaman Fachmi. “Sama sekali tidak lucu.” “Terus saja anggap aku bercanda,” gumam Farrel seraya melepas kaus lalu melemparnya secara asal ke ranjang, memberi Kanza pemandangan indah punggung dengan otot yang tampak meregang saat Farrel menggeser ranjang menjauhi dinding. Kanza menelan ludah lalu buru-buru memalingkan wajah seraya keluar kamar. Dia sama sekali tidak takut dengan ancaman Fachmi. Kalaupun benar Fachmi mencoba tidur di kamarnya nanti malam, Kanza akan tidur lebih awal dan memastikan pintu terkunci rapat. *** “Bagaimana kau bisa masuk?!” Nyaris saja Kanza meneriakkan pertanyaan itu seraya menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Seperti kebiasaan Kanza ketika tidur, dia hanya mengenakan celana pendek dan tanktop tipis. Malam inipun sama. Dan dia sudah hampir terlelap saat merasakan kehadiran orang lain dalam kamarnya. Benar saja. Ternyata Fachmi yang berdiri di sana, tepat di depan pintu yang setengah terbuka. Padahal Kanza yakin sekali sudah mengunci pintu. “Kenapa diam saja? Bagaimana kau bisa masuk?!” Kanza mengulang pertanyaannya karena Fachmi hanya berdiri diam dengan bahu bersandar ke kusen pintu dan salah satu kaki disilangkan ke kaki yang lain. Yang lebih membuat Kanza khawatir hingga beringsut mundur, adalah tatapan Fahcmi. Serupa singa lapar yang tengah memandangi calon mangsa. Salah satu sudut bibir Farrel terangkat, membentuk senyum miring. Namun senyum itu jadi tampak berbahaya karena mata Farrel menyipit. “Ke—kenapa melihatku seperti itu?” Kanza semakin beringsut ke sudut ranjang. Tatapannya tidak bisa lepas dari mata hitam Farrel yang tampak makin kelam. Sama seperti tadi, Farrel tidak menjawab pertanyaan Kanza. Dengan santai dia mengunci pintu kembali lalu meletakkan tumpukan kunci yang digantung jadi satu ke atas meja. Terjawab sudah bagaimana cara Farrel bisa masuk ke kamar Kanza. Jelas dia menggunakan tumpukan kunci cadangan. “Kau mendadak bisu, ya?” Kanza melotot karena Fachmi terus saja diam. Namun dalam hati dia semakin takut. Memang Fachmi adalah tunangannya. Tapi Kanza belum benar-benar mengenal lelaki itu. Bisa saja Fachmi adalah tipe lelaki yang suka mempermainkan wanita. Tidak peduli bahwa wanita itu sudah berstatus tunangan dengannya. Berbeda dengan Kanza, Farrel malah merasa semakin terhibur saat merasakan ketakutan wanita itu kian menjadi. Apalagi ketika melihat Kanza berusaha menutupi tubuhnya yang bisa dibilang terbuka. Dia jadi penasaran, seperti apa reaksi Kanza bila Farrel menarik paksa selimut itu. Tidak puas hanya mengira-ngira, Farrel mendekat tenang seraya melepas kaus yang dikenakannya. Lucunya, seketika mata Kanza melebar dan wanita itu semakin menempelkan punggungnya di kepala ranjang, menunjukkan bahwa dia merasa terancam. “Mau apa kau?” “Hmm, mau apa, ya?” Untuk pertama kalinya sejak membuat Kanza kaget karena masuk ke kamar wanita itu yang terkunci, akhirnya Farrel buka suara. Tapi bukannya membuat Kanza lebih tenang karena mendapat respon, suara Farrel yang mendadak serak membuat Kanza semakin takut. “Berhenti di situ, Fachmi!” “Kenapa?” Farrel terus saja berjalan mendekati Kanza. Kali ini seraya melepas sabuk di pinggang lalu bersiap membuka ritsleting celana jins yang ia kenakan. “Fachmi! Jangan macam-macam! Walau kau tunanganku tapi kau tidak boleh menyentuhku sebelum kita menikah.” “Kenapa tidak?” “Karena—aaaaa!” Tiba-tiba Kanza berteriak seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangan karena Farrel menyentak turun celana jinsnya. Tak disangka, Farrel terbahak melihat reaksi Kanza. Padahal dia masih mengenakan celana boxer milik Fachmi dibalik celana jinsnya. Tapi Farrel tidak menyesal telah membuat Kanza berteriak ketakutan sambil menutup wajah. Kini selimut yang menutupi d**a wanita itu merosot dan menampakkan tanktop merah jambu yang dikenakan Kanza. Memang belum memuaskan mata Farrel. Tapi lumayan sebagai hiburan. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Farrel membiarkan pakaiannya berserakan di lantai lalu naik ke ranjang di sebelah Kanza, membaringkan tubuhnya dengan nyaman. “Wow! Pemadangannya jadi tampak lebih bagus dari sini.” Komentar Farrel serta gerakan pelan di ranjang akibat seseorang berbaring di sebelahnya membuat Kanza menurunkan kedua tangan. Lagi-lagi mata Kanza melebar menyadari Farrel yang berbaring di sana, dengan hanya mengenakan celana boxer hitam. “Sebenarnya apa maumu!” kembali Kanza berseru. Farrel melipat salah satu lengan di belakang kepala sebagai bantal lalu menatap geli ke arah Kanza. “Seperti yang kubilang tadi siang, aku akan tidur di kamarmu jika kamarku belum selesai. Kau bisa lihat sendiri bila tidak percaya bahwa aku jujur. Memang kamarku masih berantakan.” “Tidur saja di sofa, atau di gudang!” kali ini kesabaran Kanza sudah habis. Tanpa memedulikan pakaian tipisnya lagi, Kanza beringsut mendekati Farrel lalu berusaha mendorong tubuh lelaki itu menyingkir dari ranjang. Namun bukannya menjauh seperti yang diharapkan Kanza, Farrel malah menarik Kanza hingga wanita itu jatuh menimpa tubuhnya, seperti saat mereka jatuh di gudang. Lalu tanpa membuang kesempatan, Farrel memeluk Kanza erat, mengabaikan rontaan wanita itu. “Fachmi! Lepas!” Kanza menggeliat seraya berusaha melepaskan lengan Farrel yang melingkari punggung dan pinggangnya. “Sial!” Mendadak Farrel mengumpat. “Berhenti bergerak-gerak, Kanza. Atau aku akan memperkosamu saat ini juga.” Seperti robot mainan yang mendadak dimatikan, seketika tubuh Kanza kaku. “Kalau kau tidak mau bergerak-gerak, maka lepaskan aku,” desis Kanza di antara giginya yang terkatup rapat. “Tadi aku sama sekali tidak menyentuhmu tapi kau malah menyerangku.” Baiklah, kali ini Kanza akan mengalah. Setelah menghela napas sejenak, Kanza kembali berkata, “Aku tidak akan melakukannya lagi. Jadi lepaskan!” Farrel menahan senyum seraya melepas rangkulannya di tubuh Kanza. Tak disangka, Kanza malah turun dari ranjang, bergegas menuju pintu tanpa menoleh ke arah Farrel lagi. “Mau ke mana?” Kanza mengabaikan pertanyaan Farrel, membuka kunci lalu keluar kamar seraya menutup kembali pintu dengan suara keras. BRAK. Bukannya merasa bersalah, Farrel malah tertawa senang karena berhasil membuat wanita itu marah. Dia jadi penasaran, berapa lama lagi Kanza sanggup bertahan dengan tunangan macam dirinya yang terus-menerus membuat kesal. *** Kelopak mata Kanza perlahan terangkat lalu keningnya berkerut menyadari tempat ia tidur terasa asing. Seraya menggeliat, Kanza mengubah posisi tidur jadi duduk. Ia diam sejenak, berusaha mengumpulkan kesadarannya kembali seraya mengingat-ingat kejadian semalam. “Fachmi,” gumam Kanza begitu ia ingat apa yang membuatnya harus tidur di sofa. Sungguh, Kanza baru sadar bahwa tunangannya itu sama sekali tidak memiliki rasa peduli. Dia tidak berusaha mencegah Kanza atau memindahkan Kanza ke kamar begitu ia terlelap. Setidaknya dengan begitu, Kanza akan melupakan kekesalannya terhadap Fachmi. Tapi bukannya berkurang, perasaan kesal Kanza kian bertambah. Tidak mau larut dalam emosi di d**a, Kanza mengambil selimut dan bantal yang ia gunakan semalam lalu membawanya ke kamar Fachmi. Desah lelah dan kesal terdengar dari sela bibir Kanza saat melihat betapa kacaunya tempat itu. Kanza paling tidak suka dengan ruangan yang berantakan. Semalam saat mengambil selimut dan bantal, dia sama sekali tidak memperhatikan karena kamar itu gelap. Tapi kini, cahaya yang menerobos masuk dari jendela kaca yang tirainya sengaja tidak ditutup memperjelas kondisi ruangan itu. “Lama-lama aku semakin curiga bahwa Fachmi memiliki kepribadian ganda.” Ya, Kanza yakin betul bahwa Fachmi yang ia temui pertama kali dan yang membawanya dari kota kecil ke apartemen ini adalah seorang yang selalu menjaga kerapian. Dia juga tampaknya tidak menaruh perhatian terhadap dunia seni seperti Fachmi yang sekarang. Astaga, lama-lama Kanza bisa jadi gila! Lagi-lagi desah lelah keluar dari bibir Kanza. Setelah melempar selimut dan bantal ke atas ranjang, Kanza berniat segera keluar dari kamar itu. Namun langkahnya terhenti saat menyadari sesuatu. Perlahan ia berbalik, lalu pandangannya terpaku pada lukisan besar yang memenuhi satu sisi dinding kamar. Kanza ternganga tidak menyangka bahwa itu benar-benar lukisan Fachmi. Sangat indah dan menyerupai aslinya. Seolah memang dibuat oleh tangan seorang ahli. Dalam lukisan itu menampakkan sosok Fachmi yang sedang duduk dengan salah satu tangan yang mengepal meyangga pipi. Pandangan mata lelaki itu seolah menatap malas ke arah Kanza. Raut wajahnya nampak kaku dan dingin. Sama sekali tidak ada senyum di sana. Persis seperti sosok Fachmi yang dikenal Kanza sebelum berubah jadi aneh seperti sekarang. “Tidak perlu menyiapkan pujian. Aku memang berbakat.” Buru-buru Kanza berbalik ke sumber suara dan mendapati Fachmi berdiri tidak jauh darinya dengan pandangan yang sama-sama mengarah pada lukisan. Kini lelaki itu sudah mengenakan celana jinsnya kembali namun masih bertelanjang d**a, membuat Kanza berusaha keras untuk tidak melirik d**a dan perut lelaki itu. “Itu benar-benar kau yang membuatnya?” Farrel menatap Kanza dengan raut tidak suka. “Memangnya kau melihat ada orang lain yang berkeliaran di rumah ini?” Kanza tidak berusaha menjawab dan memilih memperhatikan seluruh dinding di ruangan itu. Kamar ini terlihat jauh berbeda dari sebelumnya. Dan ada kesan feminin, terutama karena kupu-kupu besar di dinding yang berbeda dengan lukisan wajah tadi. “Kau benar-benar melukis kupu-kupu itu.” Kanza berkata dengan nada takjub. “Memangnya kau tidak khawatir merasa geli saat pertama kali membuka mata lalu disuguhi lukisan kupu-kupu?” “Apa yang salah dengan lukisan itu?” Farrel berkacak pinggang sambil memperhatikan lukisan kupu-kupu besar berwarna merah dan titik-titik putih di sayapnya. “Tidak ada yang salah. Tapi biasanya kaum lelaki tidak suka lukisan semacam itu ada di kamarnya.” Yah, memang, gumam Farrel dalam hati seraya menahan senyum. “Aku pecinta keindahan. Kupu-kupu adalah makhluk yang indah. Jadi aku menyukainya.” Perlahan Kanza kembali menghadap Farrel. Keningnya berkerut seolah dia sedang berpikir keras. “Semakin lama, aku semakin merasa sedang berhadapan dengan lelaki lain dan bukannya Fachmi yang selama ini kukenal.” Senyum Farrel merekah lalu dia mendekati Kanza hingga jarak yang memisahkan mereka hanya beberapa inchi. “Semakin lama kau tinggal bersamaku, maka semakin banyak pula sifatku yang akan kau tahu. Sifat yang tidak kutunjukkan pada orang lain.” Sekali lagi Farrel mengambil satu langkah mendekat hingga bagian depan tubuh mereka menempel. Kemudian ia menunduk, seolah hendak mencium Kanza. Melihat itu, Kanza menutup mata. Setelah dua ciuman mereka sebelumnya, kini tidak ada lagi penolakan dalam diri Kanza. Bahkan sisi liar Kanza yang hanya menggeliat dalam hati, selalu mengharapkan ciuman itu terjadi lagi. Beberapa detik berlalu, bibir Farrel tak kunjung menyentuh bibir Kanza. Namun napas lelaki itu menerpa wajahnya, membuktikan bahwa posisi wajah mereka sangat dekat. Dengan kening berkerut, Kanza membuka mata. Seketika wajah Kanza bersemu merah melihat Farrel sedang menahan senyum geli. “Kau sangat berharap aku menciummu, ya?” Pertanyaan itu membuat Kanza melongo, lalu dengan kasar ia mendorong d**a lelaki itu hingga menjauh. Tidak bisa dijelaskan lagi betapa malunya Kanza saat ini. Apalagi melihat Farrel terbahak menertawakan dirinya. “Kanza, aku janji akan menciummu nanti setelah kau membantuku berbelanja. Aku kehabisan cat,” ujar Farrel setelah tawanya reda. Sekarang bukan hanya wajah Kanza yang memerah, tapi cuping telinganya juga. Tega sekali Fachmi berkata seperti itu. Bukannya membantu mengurangi perasaan malu Kanza, lelaki itu malah membuat Kanza semakin malu. “Mati saja kau!” Mendadak tawa Farrel menghilang seketika. Raut wajahnya yang semula cerah berubah menjadi dingin dan kejam. “Sekali aku membiarkanmu mengumpatiku. Tapi untuk kedua kalinya tidak lagi.” Sama mendadak seperti tawanya yang menghilang, tiba-tiba Farrel menerjang tubuh Kanza, membuat wanita itu jatuh telentang ke atas ranjang yang hanya berjarak satu langkah di belakangnya. Kanza memekik kaget namun dia tidak bisa berbuat banyak karena Farrel sudah menindihnya seraya mencekal kedua pergelangan tangannya, menyatukan di atas kepala. “Fachmi, kau mau apa?!” “Hendak menghukum tunanganku.” Lalu tanpa peringatan, Farrel menunduk di leher Kanza, melumat kulit lembut itu dengan kasar untuk menciptakan kissmark yang pasti tidak bisa hilang hanya dalam waktu dua atau tiga hari. --------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN