Tiga

2215 Kata
Jumat (20.32), 26 Maret 2021 --------------------- Setelah membuat ulah pagi tadi, Fachmi belum juga keluar dari kamarnya. Kanza mulai bertanya-tanya, mungkinkah Fachmi takut Kanza balas dendam hingga memilih mengurung diri dalam kamar? Yah, mungkin saja. Hari sudah menjelang siang dan Kanza mulai bosan karena semua pekerjaan bersih-bersih telah ia selesaikan. Sejak tinggal di apartemen ini lima hari lalu, bukan kali ini saja Kanza merasa bosan seperti ini. Fachmi adalah seorang yang cenderung kaku dan sibuk. Dia belum pernah sekalipun mengajak Kanza jalan-jalan keluar apartemen. Dan Kanza sendiri tidak berani keluar sendirian. Kota ini masih asing baginya. Dia bahkan tidak mengenal siapapun di sini. Kanza mendesah seraya menghempaskan diri di sofa depan TV yang tengah menayangkan serial kartun. Kian hari Kanza makin merasa terkurung dalam sangkar emas. Terlepas dari sikap kakunya, Fachmi memang cukup baik. Memenuhi semua kebutuhan Kanza di apartemen ini dan berjanji akan mengajaknya keluar saat dia tidak terlalu sibuk. Tapi—entah kapan saat itu tiba. Dan Kanza mulai khawatir hubungannya dengan Fachmi tidak akan berhasil mengingat dirinya sama sekali tidak bisa menyentuh kehidupan Fachmi meski lelaki itu mengajaknya tinggal di bawah atap yang sama dan meminta Kanza belajar mengurusnya. Sungguh, rasanya Kanza lebih mirip pembantu daripada calon istri. Dan sekarang, Kanza harus menghadapi sikap Fachmi yang mendadak berubah aneh sekaligus menyebalkan. Dia jadi berpikir, berapa lama dirinya sanggup bertahan menghadapi semua ini. Tapi demi keluarganya, Kanza rela bertahan. Tidak peduli seberapa mengenaskan hidupnya. Setidaknya Fachmi bukan lelaki yang suka menyiksa. Hufftt. Lagi-lagi Kanza mendesah. Tanpa bisa dicegah, matanya melirik ke arah pintu kamar Fachmi. Biasanya—sebelum sikapnya berubah aneh—Fachmi selalu menemani Kanza saat mereka sedang berduaan di apartemen. Menemani ­yang Kanza maksud adalah Kanza duduk menonton TV atau membaca buku sementara Fachmi juga duduk dengan laptop terbuka di hadapannya. Atau saat pekerjaannya sudah benar-benar selesai, Fachmi suka mengajak Kanza duduk di sofa yang menghadap balkon, memancing Kanza untuk bercerita banyak hal dan lelaki itu juga terkadang bercerita tentang hari yang telah dilewatinya di kantor. Hanya perbincangan sederhana dengan camilan dan minuman segar di hadapan mereka. Tapi itu lebih baik daripada diabaikan seperti sekarang. Rasa penasaran mulai meliputi hati Kanza. Sama sekali tidak ada suara yang terdengar dari kamar itu. Seolah tidak ada orang di dalamnya. Jangan bilang Fachmi bunuh di— Oh, tidak! Buru-buru Kanza menuju kamar Fachmi lalu berdiri diam di depan pintu. Perlahan ia menempelkan telinga ke daun pintu, mencoba mendengar suara dari dalam. Tapi tidak ada suara apapun. Ragu, Kanza memutar handle pintu yang ternyata terbuka dengan mudah. Padahal Kanza berharap pintu itu terkunci hingga dirinya memiliki alasan untuk tidak masuk. Dia sedang malas berurusan dengan Fachmi yang masih menyebalkan seperti tadi pagi. “Fachmi,” panggil Kanza pelan seraya membuka pintu lebih lebar lalu masuk. Begitu Kanza sudah sepenuhnya berada dalam kamar, seketika dia mematung dengan mulut menganga melihat betapa kacaunya ruangan itu. Beberapa lembar kertas penuh coretan tergeletak di ranjang yang biasanya selalu rapi. Dinding yang terdapat jendela tinggi kini tidak lagi putih. Warnanya berubah jadi biru langit dan dipenuhi gambar awan putih. Sementara itu, si pelaku kekacauan tampak duduk santai di puncak tangga dua sisi dengan kuas di tangannya. “Fachmi, sedang apa kau?” tanya Kanza bingung sambil mendekati tangga di mana Fachmi masih asyik menyapukan kuas. Farrel hanya melirik Kanza sekilas lalu kembali memusatkan perhatian pada pekerjaannya. “Sudah lama aku ingin mengubah warna ruangan ini. Kebetulan sekarang memiliki kesempatan.” Kanza berkacak pinggang sambil memperhatikan dengan serius punggung Fachmi yang masih asyik dengan kegiatan mengecat dinding. Sungguh, dia merasa sikap Fachmi semakin aneh. Seolah-olah ada orang lain yang menempati raganya. Bukan sosok Fachmi yang Kanza kenal. Mungkinkah—seperti dalam film-film—Fachmi memiliki alter ego? Kanza menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran konyol itu. Meski orang yang memiliki kelainan semacam itu benar-benar ada, tapi biasanya hanya dalam film, novel, atau berita TV. Tentu bukan orang yang sangat dekat dengannya. Yah, pasti begitu. “Kau kenapa?” Mata Farrel menyipit memperhatikan Kanza yang menggeleng-geleng. “Ah, tidak. Tidak apa-apa.” Kanza berusaha bersikap tenang. Mana mungkin dia memberitahu apa yang dirinya pikirkan barusan? “Daripada kau hanya berdiri mematung seperti itu, sebaiknya beri aku saran yang bagus. Menurutmu aku harus melukis apa lagi agar suasana kamar ini jadi lebih hidup?” “Kupu-kupu!” refleks Kanza berseru seraya bertepuk tangan. Tapi kemudian dia meringis malu. Sarannya sungguh kekanakan. Fachmi tidak mungkin setu— “Ide bagus.” Kanza melongo. Fachmi setuju? Lelaki yang cenderung kaku dan dingin ini setuju dengan sarannya? “Apa kau sedang merencanakan sesuatu?” tanya Kanza dengan nada menuduh. Dia yakin tadi melihat Fachmi menahan senyum geli. Farrel menatap Kanza kembali yang masih berdiri di bawah sementara dirinya duduk di puncak tangga. “Ya. Aku berencana membuat kupu-kupu yang besar di dinding sebelah sana,” ujar Farrel seraya mengedipkan sebelah mata. Sebenarnya Farrel paham pertanyaan Kanza bukan mengenai hal itu. Ya, Kanza benar. Farrel memang merencanakan sesuatu. Dia ingin membuat kejutan untuk Fachmi setelah kakaknya itu pulang nanti. Pasti wajah Fachmi jadi merah antara malu dan marah melihat dinding kamarnya berubah drastis. Dulu saat Farrel menawarkan diri untuk mengecat dinding putih apartemen ini, Fachmi langsung menolak sambil melotot padanya. Pasti kepala Fachmi langsung berasap saking marahnya kalau tahu kamarnya jadi penuh warna dan—lukisan kupu-kupu? Farrel jadi tidak sabar untuk melihat reaksi Fachmi. Anggap saja ini balasan karena Fachmi bertunangan diam-diam tanpa mengabarinya sama sekali. “Chika, ambilkan cat yang warna hijau!” perintah Farrel seraya menunjuk tumpukan kaleng cat dekat lemari. “Kanza! Namaku Kanza!” seru Kanza kesal. “Apa bedanya? Chika juga namamu, kan? Seharusnya kau tidak protes karena aku tidak memanggilmu Nenek Sihir lagi.” Farrel mengibaskan tangan. “Sudah, sana ambilkan catnya!” “Aku lebih suka dipanggil Kanza. Kalau kau tidak mau menggunakan nama panggilanku dengan benar, ambil sendiri saja catnya.” Ketika Kanza hendak berbalik, buru-buru Farrel berkata, “Baiklah, Nona Kanza yang keras kepala. Cepat ambilkan catnya!” Kanza menahan senyum. Entah mengapa dia merasa geli karena Fachmi mau saja dia ancam. “Nah, tidak sulit, kan?” Farrel cemberut mendengar nada Kanza yang seolah sedang berbicara dengan anak kecil. Kanza segera mengambil cat yang diminta Farrel seraya berkata, “Kapan kau membeli cat-cat ini? Aku sama sekali tidak melihatmu keluar rumah.” “Aku mengambilnya dari gudang saat kau—entah melakukan apa—di dapur,” jelas Farrel seraya membungkuk untuk mengambil cat dari Kanza lalu menyerahkan cat yang tadi sudah digunakannya. “Ambilkan semua kuas yang ada di gudang.” Kanza mengangguk lalu tanpa kata segera keluar dari kamar. Dia bersyukur setidaknya siang ini dirinya tidak hanya duduk menopang dagu dengan hati jenuh. Sepeninggal Kanza, Farrel kembali memusatkan perhatian pada pekerjaannya. Sejenak dia berhenti, lalu menatap sekeliling. Mengira-ngira warna apa lagi yang akan ia gunakan. Lalu mendadak, sebuah ide melintas di benak Farrel. Pasti sangat bagus kalau dinding di sisi kepala ranjang dilukis wajahnya. Ah, jangan. Wajah kaku Fachmi saja. Mungkin itu bisa mengurangi kemarahan Fachmi nantinya begitu mengetahui keadaan kamarnya sekarang. Yah, walaupun sebagian besar orang menyebut Farrel dan Fachmi kembar identik, tapi tentu saja. Fachmi pasti langsung tahu wajah siapa yang Farrel lukis. Tersenyum sendiri, Farrel kembali melanjutkan kegiatannya. Tapi mendadak gerakan tangan Farrel membeku saat mendengar suara itu. “KYAAAAA!!” DEG. Nyaris saja Farrel melompat dari puncak tangga. Beruntung dirinya masih ingat lalu menapaki anak tangga dengan langkah tergesa. Begitu telapak kakinya memijak lantai, Farrel langsung melesat menuju asal suara. Di gudang, Kanza menatap ngeri pada tiga tikus putih di sudut dinding. Perlahan dia melangkah mundur, tapi lalu melotot saat menyadari tikus lain datang dari arah belakangnya lewat di antara kakinya. “KYAAAAA!!” Lagi-lagi Kanza berteriak. Kali ini seraya melompat-lompat ngeri lalu tanpa pikir panjang ia naik ke atas meja kayu di tengah ruangan. Beruntung ia mengenakan celana  pendek sebatas lutut, bukannya rok. Masih dengan ekspresi ngeri, Kanza duduk bersimpuh di atas meja sambil memperhatikan tikus-tikus itu. BRAK! “Ada apa?” Kanza mendesah lega melihat Fachmi datang dengan napas terengah. Buru-buru dia menujuk ke arah tikus-tikus yang masih berkeliaran di lantai seraya berseru, “Tikus! Tolong singkirkan mereka!” Farrel mengikuti arah yang ditunjuk Kanza lalu perlahan menatap Kanza kembali. Masih dengan napas terengah, lelaki itu sama sekali tidak menyembunyikan raut kesalnya. “Kau berteriak dan nyaris membuatku jatuh dari tangga hanya gara-gara tikus kecil?” Kanza mengangguk pelan dengan bibir mencebik. Kedua tangannya mengatup di depan d**a dengan posisi memohon. “Tolong jauhkan mereka dariku.” Farrel berkacak pinggang. “Lucu sekali. Kau yang sebesar itu takut pada hewan sekecil tikus?” “Mereka menjijikkan.” Kanza bergidik ngeri. Farrel berdecak seraya berjalan santai menuju meja tempat Kanza masih duduk bersimpuh di atasnya. Lalu perhatian Farrel tertuju pada salah satu tikus yang berada dekat kaki meja. Perlahan ia berjongkok dan tanpa kesulitan menangkap tikus kecil itu. “Tidak perlu ditangkap, usir saja. Sepertinya ada lebih dari lima ekor tikus di ruangan ini.” Kanza bergidik saat melihat Farrel berdiri sambil memegang ekor tikus. Mata Farrel berkilat jail. Tanpa peringatan ia menggoyang-goyangkan tikus di tangannya di depan wajah Kanza. “KYAAAAA!!” Farrel terbahak melihat Kanza langsung bersujud di atas meja dengan kedua tangan menutup wajah. Tapi beberapa saat kemudian— “HUAAAAA!!” Farrel berteriak seraya melempar tikus di tangannya. Buru-buru ia melompat naik ke atas meja, nyaris menindih Kanza yang masih dalam posisi bersujud. Kanza memekik kaget karena meja bergerak seolah akan jatuh akibat beban tambahan. Dia mengangkat kepala lalu menatap Farrel bingung. “Kenapa kau naik juga?” “Kecoak! Hiihhh!” Farrel bergidik seraya menggosok lengannya naik turun. Kanza memukul lengan Farrel kesal. “Sok menakutiku dengan tikus, ternyata kau sama saja.” “Tikus itu lucu. Kau sangat aneh karena takut pada tikus. Tapi kalau kecoak—” Lagi-lagi Farrel bergidik. “Nah, apalagi kalau terbang seperti itu!” Farrel terbelalak seraya menunjuk. “KYAAAAA!!” Kanza kembali berteriak. Lalu tanpa pikir panjang, dia mengalungkan kedua tangan ke leher Farrel, memeluk lelaki itu erat. Berat tubuh Kanza dan Farrel yang menumpuk di sisi meja membuat meja itu miring dan akhirnya jatuh. “Argh!” “s**t!” Farrel meringis karena punggung yang menghantam lantai terasa remuk sementara Kanza menindih tubuh bagian atasnya. “Ugh!” Kanza juga meringis sambil menggosok keningnya yang terasa ngilu karena menghantam d**a Farrel. “Dasar kau—” Kanza menunjuk tikus dan kecoak yang berkeliaran tak jauh dari mereka. Farrel menoleh ke tempat yang Kanza tunjuk lalu— “KYAAA!!” “HUAAA!!” Keduanya kompak berteriak lalu buru-buru bangun dan bergegas berlari keluar gudang. Mereka terus berlari menuju kamar utama yang masih berantakan lalu melompat naik ke atas ranjang, menyelinap di balik selimut. Seketika, suasana menjadi hening. Kanza dan Farrel seolah sepakat sama-sama berusaha tidak bersuara agar hewan-hewan menjijikkan itu tidak mengikuti mereka. Hampir sepuluh menit lamanya di bawah selimut, Farrel menoleh ke arah Kanza. “Sepertinya makhluk-makhluk itu tidak mengikuti kita.” Kanza mengangguk. “Tapi, kau tidak lupa menutup pintunya, kan?” “Untuk apa aku memikirkan pintu gudang? Nyawaku lebih berharga.” “Ish!” Kanza menepuk bahu Farrel. “Kenapa tidak kau tutup? Bisa-bisa, hewan-hewan itu keluar dari gudang lalu berkeliaran di ruangan yang lain.” “Kenapa hanya menyalahkanku? Kau juga tidak ingat untuk menutup pintunya dan kabur duluan.” Farrel melotot. “Kau kan yang berada di belakang. Lagipula kenapa di apartemen mewah ini kau harus memiliki gudang yang menjadi sarang para binatang menjijikkan? Kalau kau terlalu sibuk untuk merawat tempat ini, harusnya kau membayar orang untuk melakukannya.” “Tidak perlu sok menggurui.” Farrel berkata seraya membuka selimut. Sebenarnya gudang itu memang salahnya. Dia yang suka membawa berbagai barang lalu menumpuknya di gudang yang dulunya hanya berisi benda-benda pemberian atau hadiah-hadiah untuk Fachmi. “Astaga!” tiba-tiba Kanza memekik. Farrel yang bersiap turun dari ranjang seketika menegang. “Di mana kecoaknya?!” “Darah! Kau berdarah!” Kanza berseru seraya menunjuk lengan Farrel yang mengucurkan darah dan kini membasahi selimut dan permukaan ranjang. Farrel menekuk lengan untuk memeriksa dari mana asal darah itu. Ada luka sobek di dekat sikunya. Sama sekali tidak terasa sakit. Tapi begitu Farrel menyadari lengannya terluka, rasa pedih itu mulai terasa. “Sepertinya dalam dan mungkin perlu dijahit.” Kanza mulai panik. “Tidak perlu berlebihan. Ambilkan saja kotak obat dalam laci.” Perintah Farrel santai seraya duduk di ranjang kembali. Buru-buru Kanza turun dari ranjang lalu mengambil kotak obat. “Biar aku yang melakukannya.” Kanza menawarkan diri seraya duduk di hadapan Farrel. “Ini salahku. Aku yang membuat kita berdua jatuh dari atas meja. Kau pasti jatuh di atas benda tajam.” “Baguslah kau sadar,” cibir Farrel. “Untung hanya siku, bukan punggungku.” Kanza merengut namun tidak menyanggah. Kemudian dengan lembut ia membersihkan darah dari luka Farrel. Raut wajah Kanza tampak begitu serius saat ia menunduk seraya menyapukan obat luka di lengan Farrel. Sesekali wanita itu meniup-niup, memastikan obatnya kering dan tidak mengalir. Semua itu tidak luput dari perhatian Farrel. Entah mengapa dia merasa wanita itu jadi tampak sangat manis. Apalagi ketika bibirnya maju untuk meniup luka Farrel. Begitu menggemaskan dan seolah—mengundang? Selama beberapa saat, Farrel masih sanggup menahan diri. Tapi ternyata tidak lama. Setelahnya tanpa peringatan, lelaki itu menangkup belakang kepala Kanza dengan salah satu tangan sementara bibirnya menyerang bibir Kanza dengan lembut. ------------------------ ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN