“Jadi gimana?” tanya seorang laki-laki kepada seorang wanita yang ada di atas pangkuannya.
“Sabar dulu, Mas. Masih ada Lina, dia selalu memata-matai aku,” jawab si wanita yang mungkin di Banyuanteng sana dikenal dengan panggilan Bu Haji.
“Huft, aku bakalan menceraikan istriku kalau kamu sudah siap untuk nikah denganku,” jawab si laki-laki sambil terus menggerakkan tubuhnya.
“Jangan dulu Mas,” jawab Bu Haji sambil meremas rambut laki-laki yang memangkunya dengan kedua tangannya.
“Iya, iya… Aku ngerti…” jawab Arya lalu dia pun mulai menggerakkan tubuhnya dan menikmati tubuh Widya yang dipangkunya.
Widya melenguh keenakan dan juga bergerak semakin liar di atas pangkuan Arya. Apa yang sedang dia lakukan sekarang, sama sekali tak memperlihatkan status terhormatnya di desa Banyuanteng.
=====
“Humph!!! Kamu menghindariku, Din?” bentak Ida sambil berkacak pinggang di depan Udin.
“Bukan gitu, Mbak. Kang Bas kan sekarang tak pernah lagi ke kota. Kesempatan untuk ketemu kan semakin susah,” jawab Udin berusaha menenangkan wanita cantik tapi judes di depannya itu.
“Halah, alesan. Emang laki-laki tu gitu, habis manis sepah dibuang ya?” sungut Ida.
“Mana ada sih, Mbak,” jawab Udin sambil sesekali melirik ke arah selepan dengan wajah ketakutan. Dia takut jika Kang Bas mendengar teriakan Ida barusan.
“Pokoknya nggak mau tahu… kamu…”
“Ngomongin apa, Buk?” tanya Basari tiba-tiba dan membuat Ida menghentikan kalimatnya.
“Nggak pa-pa. Aku cuma minta Udin buat ngawasin Mas. Biar Mas nggak jelalatan terus,” jawab Ida ketus ke arah suaminya.
“Buk… Aku udah nggak gitu lagi,” jawab Basari sambil menggaruk kepalanya dan melirik tak suka ke arah Udin.
“Masa bodo!!!” jawab Ida ketus dan langsung pergi meninggalkan Udin dan Basari.
=====
“Kamu ngomong apa sama istriku, Din?” tanya Basari dengan nada galak ke arah Udin. Dia tak lagi seperti macan ompong seperti tadi ketika berhadapan dengan istrinya.
“Aku nggak ngomong apa-apa Kang Bas,” jawab Udin.
“Awas ya kalau sampe kamu cerita-cerita,” ancam Basari.
“Nggak berani aku, Kang,” jawab Udin.
“Humph!!!” dengus Basari sambil meninggalkan Udin sendirian.
Udin hanya bisa menarik napas panjang. Entah lah. Dunia memang aneh. Ida yang sok cemburuan padahal dia berhubungan dengan Udin. Basari yang seolah laki-laki cemen dan penurut kepada istri, padahal aslinya penjahat kelamin kelas kakap. Sekalipun Basari tak lagi ke kota kecamatan, tapi kekasihnya sering datang ke selepan sebagai gantinya.
Udin tentu saja melihat semuanya.
======
“Bapak sibuk, Mbak,” kata Sulis ke arah Widya. Sekalipun dari segi umur Sulis lebih tua dibandingkan Widya, tapi Widya adalah kakak ipar Sulis. Sulis harus tetap memanggilnya Mbak.
Widya mengrenyitkan dahinya. Dia sebenarnya tak habis pikir, akhir-akhir ini, Bu Lurah, adik iparnya, sering kali meminta tolong Udin untuk mengantarkan dirinya ke kota kecamatan. Meskipun Widya tahu kalau Sulis memang memiliki keperluan di sana, tapi dia tak bisa membiarkan ini terus berlanjut.
“Kalau Mas Amran sih sudah pasti sibuk terus, kan dia Lurah. Mungkin udah saatnya Mbak nyari mobil angkutan barang sendiri. Usahanya kan udah rame to sekarang?” kata Widya yang memang sedari dulu menggunakan panggilan Mbak dan Mas untuk adek iparnya yang memang umurnya lebih tua.
Sulis terlihar berpikir untuk sesaat lalu menganggukkan kepalanya, “Iya, nanti aku nyari, Mbak. Tapi untuk besok ini, aku minta diantar Udin dulu ya?” kejarnya.
Widya terlihat berpikir lama, lalu menganggukkan kepalanya ragu sebagai jawaban.
=====
“Din, kamu dipanggil Bu Haji,” kata Basari ke arah Udin.
“Di mana Kang?” tanya Udin.
“Ke rumahnya,” jawab Basari.
“Aduh, salah apa aku?” gumam Udin.
Basari hanya tertawa kecil melihat Udin yang ketakutan.
=====
“Kamu ngomong terus terang Din, ada hubungan apa antara kamu dengan Bu Lurah?” tanya Widya tajam ke arah Udin.
“Nggak ada Bu,” jawab Udin tegas.
Widya melihat ke arah Udin dengan tatapan penuh selidik dan Udin dengan berani membalas tatapan mata wanita di depannya itu. Widya tercekat. Ini kali pertama dia bertemu lagi dengan Udin sejak acara tahlilan kematian suaminya beberapa minggu lalu dan dia merasa ada perubahan drastis dari pemuda kampung di depannya itu.
Widya masih ingat sekali sikap Udin saat itu. Saat Widya mengajaknya berbicara, Udin tak berani mengangkat kepalanya apalagi menatap wajah Widya. Bahkan dia juga bisa melihat kalau pemuda itu terbata-bata ketakutan saat berbicara dengan dirinya.
Tapi sekarang, Udin berani menatap mata Widya secara langsung dan bahkan terkesan menantang. Widya jelas meradang. Udin satu-satunya orang Banyuanteng yang berani sekurangajar itu kepada dirinya. Apalagi Udin hanyalah seorang pemuda kampung yang bekerja untuk Widya.
“Awas ya kalau kamu macem-macem,” ancam Widya dingin.
Udin hanya tersenyum kecil, “Macem-macem gimana, Bu?” tanyanya.
“Pokoknya macem-macem dengan Bu Lurah atau keluargaku yang lain,” sergah Widya.
“Bu Haji, saya ini cuma pemuda kampung kere anak penggali kubur. Mana mungkin saya berani punya pikiran macem-macem ke wanita seperti Bu Haji dan Bu Lurah,” jawab Udin kalem.
“Bagus kalau kamu nyadar,” kata Widya. Udin hanya tersenyum kecil tak membalas kata-kata Widya.
“Itu saja, Bu? Kalau sudah, saya permisi,” kata Udin setelah mereka berdua terdiam selama beberapa saat.
“Humph,” dengus Widya sebagai jawaban.
=====
Udin terdiam dan larut dalam lamunannya. Sebelum dia bertemu dengan Bu Haji tadi, dia sengaja merapalkan mantra ilmu pelet miliknya dan tentu saja sesusai dugaannya, Bu Haji memiliki tanda itu. Sebuah hal yang wajar, karena Bu Haji memang istri sah Imron.
Udin memang harus mengakui kalau Bu Haji memang sangat cantik, lebih cantik dari Sulis, Ida, atau gadis-gadis di Banyuanteng yang dikenal Udin. Tapi tadi, Udin merasa jijik saat bertatap muka dengan wanita itu. Udin tak tahu apa alasan yang membuatnya merasa jijik tadi dan karena itulah dia sekarang larut dalam pikirannya sendiri.
“Heh!!! Bukannya kerja malah ngelamun?” sungut Basari ketus mengagetkan Udin.
“Maaf Kang Bas,” jawab Udin cepat.
“Hmm,” jawab Basari sambil berdehem, “Kamu pergi beli rokok sana ke warung!” perintah Basari sambil mengulurkan uang ke arah Udin.
Udin menerima uang itu tanpa berkata-kata. Dia lalu berdiri dan berjalan ke luar dari selepan padi. Di luar selepan, seorang wanita dengan dandanan sedikit menor dan pakaian yang berani sedang berdiri seorang diri. Saat dia melihat Udin berjalan melewatinya, si wanita tersebut mengedipkan matanya ke arah Udin sambil tersenyum manis.
Udin hanya menganggukkan kepala sambil bergumam dalam hati, “Oalah Kang Bas, Kang Bas…”
Udin merasa kasihan kepada mandor selepnya itu. Alasannya sederhana, Udin pernah iseng merapalkan ilmu peletnya di depan Wiwik, si janda kekasih Basari tadi, dan sesuai dugaannya, Wiwik bukanlah wanita baik-baik. Entah berapa laki-laki yang sering menikmati tubuh si janda, yang pasti, Imron salah satunya.