BAB 4. Rein

1759 Kata
BAB 4. Rein Aku seharusnya tahu bahwa jika berhubungan dengan Stevi maka otomatis aku harus siap berurusan dengan Argan, kakaknya yang posesif itu. Tapi pertemuan kami kembali yang terasa seperti Takdir itu, begitu menyenangkan hingga aku lupa bahwa halangan terbesarku mengharapkan Stevi adalah Argan. Dan tepat setelah aku keluar dari tempatku bertemu Stevi, Argan sudah berdiri menungguku disertai sorot matanya yang menusuk. “Ikut gue!” perintahnya dengan nada dingin. Aku mendesah dan saat itu juga ponselku kembali berdering. “Gue ada pasien darurat Ar,” jawabku sembari menunjukkan layar ponselku padanya. Tapi sepertinya Argan memang tidak pernah berubah, dia tetap menjadi seseorang yang tidak peduli alasan apapun, tidak peduli urusan orang lain dan aku rasa dia juga tidak akan peduli sekalipun dunia ini kiamat selama keinginannya belum tercapai. “Belum puas gue gebukin sampai babak belur dulu huh?” “Gue nggak tahu kalau Ranjani itu Stevi Ar, lagian dia udah dewasa. Mau sampai kapan lo terus-terusan nempelin dia? Kita ketemuan tadi karena aku adalah hatersnya Ranjani, gue beneran gak tahu kalau dia Stevi.” Balasku membuat raut wajah Argan terlihat semakin tidak bersahabat. Tapi aku sudah mengalah dulu dengan menuruti kemauannya untuk menjauhi Stevi dulu. Menanggung rasa sakit sendirian dan menerima sesaknya tidak bisa menjelaskan kejadian yang sebenarnya serta menerima saja di salahkan tanpa perasaan. Kali ini ketika bertemu lagi dengan Stevi, entah kenapa aku seperti menemukan kembali sesuatu yang dulu hilang dan tanpa sadar aku inginkan di dalam hati diam-diam. Hatiku seperti memiliki tekad untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi dahulu dan memperbaiki segalanya. Aku tahu Stevi terluka dulu, dan aku tidak bisa menyangkal bahwa aku ikut andil bersalah. Tapi aku berharap semoga saja ada kesempatan baru untukku jika semua masalah di luruskan di jalannya. “Nggak ada urusannya sama lo gue mau gimana sama adik gue, yang jelas adik gue haram di dekati cowok kaya lo.” Balasnya menyebalkan seperti biasa. “Pernahkah lo berpikir bahwa mungkin aja apa yang lo lihat, apa yang lo dengar dan apa yang lo tahu itu belum tentu benar? Setiap orang memiliki kesempatan untuk memperbaiki, jika sekarang lo nggak suka gak papa. Tapi kali ini gue nggak akan nyerah Ar. Karena itu gue akan buktikan kalau gue baik.” Setelah aku mengucapkan kalimat panjang itu sebuah pukulan keras me darat di wajahku. “Lo baik bagaimana Sialan! Sekarang aja lo punya cewek dan lo deketin adik gue sambil bilang lo baik huh?” Desis Argan marah dan aku terdiam. Karena uforia bertemu kembali dengan Stevi aku melupakan sejenak bahwa aku memiliki Moana. Argan memukulku sekali lagi dan aku tetap diam. Beberapa temanku di depan Rumah Sakit yang melihatku di pukul datang menghampiri dan hendak membalas Argan segera aku tahan. “Jangan pukul dia, gue emang pantas di pukul.” Ucapku pada teman-temanku dan membuat mereka kebingungan. Sesaat kemudian aku melihat Stevi keluar dari kafe itu. Untung saja tadi Argan mengajakku ke samping kafe ketika hendak berbicara sehingga Stevi tidak perlu menyaksikan aku di pukuli oleh kakaknya seperti ini. “Ini peringatan terakhir buat lo! Lo udah pernah nyakitin Stevi, jadi jangan sakitin Moana juga. Dia juga temen gue.” Ujar Argan sebelum beranjak pergi meninggalkanku dan sepertinya dia berencana untuk membuntuti adiknya kembali. Aku tersenyum simpul karena sedikitpun aku tidak pernah membenci Argan. Aku justru menghormatinya karena berkat dia Stevi selalu baik-baik saja sekalipun banyak mengalami hal buruk. Berkat dia, Stevi selalu bisa melewati masa-masa sulitnya. Dan aku cukup maklum dengan sikap posesifnya itu mengingat apa yang pernah terjadi pada Stevi dulu. “Ada masalah apa sih Rein?” Tanya Aldo salah satu temanku yang tadi ikut menghampiri. “Nggak papa sih, gue yang salah jadi wajar kalau di pukul. Ini masalah pribadi jadi sorry gue nggak bisa cerita.” Balasku dan kedua temanku mengerti. Setelah itu kami segera masuk ke dalam Rumah Sakit karena ponselku kembali berdering. Hari ini, dunia terasa hidup kembali. Waktu-waktu yang dulu terasa seperti berhenti dan menyesakkan, sekarang terasa lebih ringan dan melegakkan. Steviku yang dulu ketika berpisah denganku keadaanya sangat buruk, sekarang sudah bisa mengomeli orang dan masih cantik serta sehat. Semua itu sudah sangat cukup untuk dijadikan alasan bahwa hari ini akan menjadi hari yang indah. Tapi seketika senyumku pudar begitu aku mengingat bahwa ada Moana di sampingku sekarang dan aku juga tidak mungkin menyakitinya hanya karena ambisiku mendapatkan kembali cinta pertamaku yang hilang. Lalu aku harus bagaimana? “Serius banget sampai aku datang kamu nggak sadar.” Aku menoleh mendengar kalimat dengan nada yang sedikit tidak enak di telingaku itu. Kemudian aku menemukan Moana sedang berdiri di dekat pintu sembari menatapku tidak suka. “Maaf, ada yang harus aku kerjakan. Lagian ini masih jam kerja kan?” Ujarku berdalih dan aku tidak berbohong. Sekarang masih jam kerja, sepuluh menit lagi baru aku pulang. Tapi Moana memang seperti itu. Bisa di bilang dia sedikit mirip dengan Argan perihal keposesifannya sehingga kadang membuatku sesak. “Kamu nggak lagi mikirin yang anek-aneh kan?” Tanyanya mulai menyebalkan. Aku mendesah. “Contohnya?” Ujarku balik bertanya karena mulai kesal. “Cewek lain misal.” Jawabnya. “Ahh, kebetulan pasienku di kamar sebelah adalah perempuan dan memang sedang aku pikirkan apa itu termasuk dalam kategori memikirkan cewek lain?” “Reinn!!” “Apa aku salah? Aku seorang dokter dan pekerjaan ini memang berhubungan dengan manusia lain. Dan kamu juga seorang dokter yang seharusnya lebih paham bahwa kita tidak bisa memilih gender dalam mengobati pasien.” Tegasku lagi karena Moana mulai menyebalkan. Selama ini aku tidak pernah mendekati wanita manapun tapi Moana selalu saja menaruh rasa curiga yang sedikit berlebihan seperti ini. Aku tahu dia seperti ini karena menyayangiku dan tidak ingin kehilanganku tapi kadang aku merasa bahwa sifatnya sangat berlebihan dan membuatku kurang nyaman. Entah karena aku memang belum seratus persen mencintainya atau memang sifat seperti itu masuk ke dalam kategori yang menyebalkan. “Aku hanya merasa selama ini kamu tidak pernah mengabaikanku dan hari ini...” “Cukup Moana, kamu keluar dulu karena jam kerjaku belum selesai. Mungkin kamu bisa sesuka hatimu pulang jam berapapun karena Rumah Sakit tempatmu bekerja adalah milik keluargamu tapi aku tidak bisa seperti itu.” Ujarku mengusirnya secara halus. “Kok kamu ngomongnya gitu? Kesannya seperti aku bekerja seenaknya mentang-mentang keluargaku adalah pemilik Rumah Sakitnya.” Balas Moana tidak terima. “Jika tidak seperti itu, lalu kenapa kamu di sini sekarang? Seharusnya jam kerjamu belum selesai bukan?” Ucapku membuat Moana terdiam dengan raut wajah kesal. “Sampai kapan kamu seperti ini sih Rein! Kita sudah pacaran lama dan kamu masih saja belum bisa memahamiku.” Moana keluar dari ruanganku setelah mengucapkan itu sembari menghentakkan kakinya dan aku mendesah. Cukup melelahkan bertahan di sampingnya selama ini karena Moana kadang berubah dengan mengejutkan lalu besoknya dia akan kembali menjadi gadis pengertian lagi. Seperti memiliki kepribadian yang bertentangan dalam satu tubuh. Tapi mengingat bahwa gadis itulah yang menemaniku di saat-saat terpuruk dulu, aku seperti tidak bisa memprotes semua perilakunya yang sangat menyebalkan itu. Mungkin karena ini juga melihat Stevi kembali yang notabene memiliki sifat berlawanan dengan Moana terasa lebih menyenangkan. *** “Hari ini kita makan malam kamu nggak lupa kan?” Moana terdengar ketus dan aku mendesah. “Kemarin aku udah bilang nggak bisa kan? Malam ini aku ada pekerjaan.” Balasku sembari masuk ke dalam mobil dan diikuti olehnya. “Pekerjaan kamu lebih penting dari makan malam bersama keluargaku?” Tanyanya ketus. Aku tidak ingat bahwa aku melakukan kesalahan hari ini tapi kenapa Moana berubah menjadi menyebalkan sekali. “Bukan masalah mana yang lebih penting, tapi setiap orang memiliki kehidupannya sendiri. Dan aku tentu saja berbeda denganmu dimana keluargamu memang bergerak di bidang kesehatan semua. Aku terkadang harus menggantikan ayah atau abangku untuk menghandle pekerjaan mereka. Kamu bilang kamu akan mengerti bukan tentang semua ini karena sejak awal aku sudah membicarakannya denganmu.” Balasku. “Beneran kerja kan? Bukan ketemuan sama si Stevi itu?” Pertanyaan Moana Reflek membuatku menghentikan mobilku mendadak dan membuatnya melotot kaget. “Darimana kamu tahu tentang Stevi?” Desisku kesal. Moana terdiam dan terlihat salah tingkah. “Ahhh jadi kamu mata-matain aku gitu?” Tanyaku lagi. Moana kembali terdiam. Jadi karena ini dia berubah menjadi menyebalkan sekali sejak tadi? Tapi aku bena-benar tidak suka di perlakukan seperti ini. Dimata-matai semua yang aku lakukan seolah aku adalah seorang tahanan. Aku paling benci perlakuan seperti ini. “Jawab aku Moana!” “Nggak sengaja tadi ada yang bilang sama aku kalau kamu ketemuan sama Stevi.” Cicitnya. Sejujurnya mungkin saja jika ada yang mengadu karena melihat aku bertemu dengan perempuan lain sekalipun menurutku pertemuanku dengan Stevi tadi tidak bisa di kategorikan sebuah hal yang aneh karena pertama waktu pertemuan kami sangat sebentar dan kedua ketika datang dia langsung memperlakukanku dengan sinis dan galak. Tapi masalahnya adalah, darimana Moana tahu jika dia adalah Stevi? Orang-orang di sekitaran kafe itu aku yakin mereka tidak akan tahu bahwa gadis yang aku temui itu bernama Stevi. Dan sekalipun Argan menyebalkan, aku yakin seribu persen bahwa dia tidak akan memberitahukan ini pada Moana apalagi ini menyangkut adiknya. “Siapa yang bilang?” Cecarku lagi. Aku menjadi kesal karena nama Stevi di sebut. Ini seperti mengembalikan instingku seperti dulu, ketika aku masih berusaha melindunginya diam-diam. “Dokter Mila kebetulan melihat kamu lagi ketemu sama Stevi di kafe.” Ujar Moana lagi. Tapi tentu saja aku tidak percaya. “Tapi darimana dokter Mila tahu bahwa nama gadis itu Stevi Moana? Aku rasa dia tidak mungkin mengenal Stevi dan setahuku kamu juga tidak mengenal Stevi bukan?” Cecarku lagi dan Moana semakin salah tingkah yang membuatku semakin kesal. “Kamu paling tahu kalau aku paling tidak suka di perlakukan seperti ini dan aku juga paling tidak suka di bohongi.” Ucapku lagi. Moana terdiam dan hingga aku sampai ke rumahnya tidak ada lagi pembicaraan. Moana turun dari mobil dan aku langsung pergi dengan kesal. Kembali menuju Rumah Sakit karena ada berkas yang lupa aku bawa tadi. Tapi ketika aku sampai di sana, sebuah pemandangan yang mengerikan aku lihat dan reflek membuatku berlari. “Stevi kenapa Ar?” Tanyaku nyaris berteriak melihat Stevi terlihat tidak sadarkan diri dan dibawa dengan buru-buru ke Unit gawat darurat. “Dia tiba-tiba pingsan, gue juga nggak tahu.” Jawab Argan terlihat panik. “Dokter Rein, kebetulan Dokter Renald sedang tidak ada jadi—” “Oke.” Potongku cepat dan segera masuk ke dalam ruangan dimana di dalamnya ada Stevi dan berusaha tenang dan memposisikan diriku kembali menjadi dokter. Detik itu aku menyadari bahwa, dunia rasanya masih seperti kiamat melihat Stevi sakit begini. Masih sama seperti dulu yang artinya perasaanku tidak berubah sedikitpun. Aku mohon Stevi, kamu harus sehat! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN