BAB 5. Stevi

1164 Kata
Ketika aku membuka mata, wajah panik Argan adalah yang pertama aku lihat. Kakaku yang paling menyebalkan di dunia tapi sekaligus yang paling menyayangiku. Desahan lega terdengar darinya dan aku tersenyum. “Gue nggak papa.” Ujarku berusaha menenangkannya. Argan membelai kepalaku dengan lembut dan tersenyum tipis. “Iya nggak papa, habis ini kita pulang ke rumah dan kamu istirahat.” Balasnya lembut. Aku mengangguk dan kembali tersenyum. Kami berdua sama-sama tahu bahwa sebenarnya aku tidak baik-baik saja tapi memang seperti ini cara kami saling menguatkan. Tidak lama kemudian seroang dokter yang tadi pagi baru saja bertemu denganku dan membuatku darah tinggi masuk ke ruanganku dan melirikku sesaat. Aku merengut dan setelah itu membuang wajahku darinya tapi samar-samar aku bisa melihat senyum tipis menyebalkan yang tersungging di bibirnya yang sialnya memang tampan itu. “Kontrol sesuai jadwal, kalau dia gak mau lo seret dia kesini.” Ucap si menyebalkan itu pada Argan yang membuatku seketika itu menoleh penuh permusuhan padanya. “Gue pasti seret dia kesini karena gue nggak punya pilihan.” Jawab Argan terdengar tidak suka tapi seperti yang dia ucapkan barusan, nadanya terdengar terpaksa karena tidak lagi memiliki pilihan. Tidak lama setelah itu aku diijinkan pulang. Raut wajah Argan masih tidak enak dilihat. “Mas Lean kemana?” cicitku bertanya. Berusaha mencairkan suasana yang sedikit kurang nyaman ini. “Lean pulang duluan tadi soalnya ada urusan.” Jawab Argan datar. Sungguh aku lebih suka Argan yang menyebalkan ketika meledekku atau semacamnya, dibanding Argan yang murung dan dingin seperti sekarang. “Jangan bilang sama ayah dan mama.” Cicitku lagi dan saat itu aku bisa melihat Argan melirikku dengan kesal. “Kamu minum obat teratur aja susah banget sih Stev, itu bukan hal yang sulit loh?” Balasnya mulai mengomel. Ini akan panjang nantinya karena Argan mana mungkin mengomel sedikit jika berurusan dengan kesehatanku. “Tadi pagi buru-buru jadi ak—” “Buru-buru mau ketemu Rein, gitu?” Potongnya. “Bukan mas, tapi tadi pagi aku ada kerjaan juga mas. Terus agak siang aku jadi lupa.” Ujarku melakukan pembelaan. “Udahlah kamu nggak usah kerja kalau gitu, mas sanggup kasih kamu uang jajan tiap bulan.” Ucap Argan mulai menyebalkan. “Mana bisa kaya gitu, nulis itu dunia yang sangat aku sukai mas, aku nggak mungkin bisa meninggalkan dunia itu.” Protesku keras. “Mas bilang kalau mau nulis syaratnya Cuma dua kan? Harus Sehat dan tidak berurusan dengan orang asing. Tapi lihat kan? Kamu bukan hanya melanggar satu tapi kamu langgar semua syaratnya.” “Maaf mas, iya aku salah dan nggak akan aku ulangi lagi.” Cicitku tidak bisa membantahnya. “Kamu dimanfaatkan oleh teman-teman penulismu dan kemudian dibicarakan di belakang saja sudah membuat mas tidak suka melihatmu masih bertahan di dunia dengan persaingan yang kurang sehat itu. Dan sekarang kami masih harus melupakan minum obat serta bertemu orang asing pula! Mas nggak suka Stevi! Apapun boleh kamu lakukan dengan syarat tidak membuatmu terluka. Mas Rasa selama ini mas sudah menjelaskannya dengan jelas dan kepala cantikmu itu tidak mungkin tidak ada isinya bukan?” omel Argan panjang sekali. Membuatku kembali mengingat saat-saat aku di khianati oleh teman-teman penulisku saat itu. Dan aku kembali terharu mengingat Argan sudah menyiapkan pengacara untuk melawan mereka tapi segera aku hentikan karena aku tidak ingin urusan semakin panjang. Jika di pikir ulang, selama ini Argan memang selalu menjadi yang paling maju ke depan jika aku di sakiti. Argan juga selalu berada di pihakku, setidaknya itu yang selalu aku ingat. Argan juga penuh dengan kekhawatiran jika berhubungan dengaku. Sekalipun dia menyebalkan, tapi ada saat-saat dimana aku merasa beruntung memiliki kakak laknat sepertinya. Dan untuk semua alasan yang membuatku selalu merasa aman, aku akan memaklumi keposesifannya yang menyebalkan itu. “Iya mas maaf, janji aku nggak akan lupa minum obat lagi.” Ucapku lagi dengan lirih. Mana berani aku bersuara keras jika suasana hati Argan terasa suram seperti sekarang. “Dan jangan pernah temui Rein lagi kecuali bareng mas buat periksa, dia udah punya pacar Stev!” Tambah Argan membuatku melirik sebal karena kesannya seperti aku sedang mengganggu kekasih orang. “Aku nggak punya alasan buat ketemu dia lagi, dan jangan sembarangan yah mas. Seujung rambutpun aku nggak memiliki keinginan lain pada Rein selain ingin menjambak rambutnya dan sedikit memberinya tendangan di perut karena kalimatnya yang menyebalkan itu di ceritaku.” Jawabku tidak terima. Lalu saat itu aku akhirnya melihat senyuman tipis tersungging di bibir tipis Argan. “Baguslah kalau gitu.” Ucapnya singkat. “Tapi mas sebenarnya kenal yah sama Rein?” cecarku. ““Kenal, dulu satu kampus.” Jawab Argan membuatku mengernyit. “Berarti satu kampus juga dong sama aku? Kok aku nggak inget ada makhluk menyebalkan kaya gitu di kampus kita.” Ucapku yang anehnya membuat raut wajah Argan sedikit berubah panik. Apakah ada sesuatu tentang Rein yang berusaha Argan sembunyikan dariku? “Beda jurusan juga kan? Kamu mana mungkin bisa tahu semua mahasiswa di kampus. Lagipula Rein nggak seangkatan sama kamu.” Balas Argan berusaha biasa saja tapi karena sudah menjadi adiknya berpuluh tahun aku tahu bahwa Argan memang terlihat panik seperti salah bicara mengenai Rein. “Ahh iya mungkin juga sih.” Jawabku mengalah. Tidak ingin terus menecarnya mengenai Rein karena aku yakin Argan tidak akan mau langsung bicara. Mungkin aku harus mengorek informasi ini dengan lebih hati-hati. *** Sesampainya di rumah mama terlihat sedang mengomeli Janu dan tawaku serta Argan meledak melihat penampilan Janu, adik kami itu sekarang. Badannya penuh lumpur dan raut wajahnya cemberut. “Kenapa bisa begini?” Argan yang bertanya sambil menahan tawanya susah payah sementara aku masih terbahak-bahak. “Bandel tuh adik kamu, sudah mama bilang kalau pulang sekolah naik sepeda nggak usah balapan sama temannya. Jatuh ke selokan kan sekarang? Nggak nurut sama orang tua ya begitu.” Omel mama masih berlanjut. Argan tersenyum geli tapi berusaha menyelamatkan Janu dari omelan panjang mama yang kadang seperti tidak ada habisnya itu. “Namanya juga anak laki-laki mah, kotor nggak masalah yang penting kan nggak luka.” Ujar Argan sambil memberi isyarat Janu untuk menuju kamarnya. Anak itu terlihat lega karena Argan memang seperti malaikat jika membela adik-adiknya. “Ya tapi adik kamu dua-duanya itu ngeyel kalau di bilangin Ar, mama kesel.” Omel mama mulai melirikku. Dan ini sudah masuk zona bahaya jadi aku memutuskan untuk secepatnya melipir ke kamar. Sesampainya di kamar aku masih mendengar suara Argan dan mama membicarakan aku dan Janu. Aku tersenyum tipis saja karena perdebatan mereka terdengat seru sekali. Aku kemudian merebahkan tubuhku di kasur dan pikiranku berkelana tentang Rein. Siapa sebenarnya laki-laki itu kenapa Argan marah sekali aku bertemu dengannya? Kenapa Lean juga seperti menyimpan dendam padanya? Kenapa Argan juga terlihat seperti menyemunyikan sesuatu tentang laki-laki itu? Ada apa sebenarnya? Apakah Rein ada hubungannya dengan masa laluku di kampus dulu yang tidak bisa aku ingat detailnya karena kecelakaan hebat yang menimpaku? Aku belum pernah melihat Argan bereaksi seberlebihan ini terhadap seseorang yang tidak dikenalnya. Seharusnya Argan tahu bahwa semakin dia sembunyikan maka aku akan semakin penasaran dan semakin mencari tahu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN