Rasa manis, perpaduan antara s**u dan jahe cukup membuat tubuh merasa lebih hangat kembali. Beryl menatap gelas minumannya dengan tatapan kosong. Entah sejak kapan dia sangat menyukai minuman yang satu ini. s**u jahe, favoritnya. Rasanya Beryl ingin berterima kasih pada penemu minuman ini karena sudah menciptkan rasa yang luar biasa mengagumkan.
Hari ini sembari menunggu jadwal kuliah berikutnya Azlio mengajaknya pergi ke warung kopi seberang. Tempat milik Abah Dede yang biasa dipergunakan para mahasiswa untuk berkumpul, berdiskusi, dan mengerjakan tugas. Atau kadang beberapa anggota organisasi akan berkumpul di warung ini ketika mengadakan pertemuan.
Di samping warung kopi berdiri kafe tingkat berlantai dua milik anak perempuan Abah Dede. Seperti ada persaingan antara keduannya. Harganya yang ditawarkan di kafe tidak mahal juga. Pas untuk ukuran kantong mahasiswa kos. Cuma memang masalah selera orang saja berbeda-beda. Beryl tidak mau berpusing ria soal itu.
“Rencana ikut kepanitiaan PKKMB, nih.” Itu adalah kalimat pertama yang masuk di kuping Beryl dan mendapat respon. Sedari tadi kerjaan Azlio terus mengoceh lalu curhat ngalor ngidul tanpa Beryl indahkan. Mungkin Beryl cukup stress hari ini.
Beryl melirik Azlio yang sibuk dengan formulir pendaftaran. Bagus ternyata tidak sia-sia dia menemani Azlio dari nol perkembangannya lumayan juga. Mungkin penggambarannya lebih tepat pada perubahan sikap Azlio yang mengalami peningkatan cukup baik.
“Nyari pengalaman sebanyak-banyaknya.”
Azlio menggeleng, “Cewek cem-ceman ada disini. Dedek maba. Dedek emesh.” Seharusnya tadi Beryl tidak melebih-lebihkan perubahan sikap Azlio. Laki-laki itu mana mungkin melakukan semua itu tanpa ada embel-embel alasan perempuan. Beryl ralat: ternyata perkembangan Azlio lumayan buruk. Kalau dipikir Azlio dan Danis memang hampir sama. Penggila wanita
“Siapa cewek yang lo suka?” kata Beryl melirik tangan sahabatnya yang menari-nari di atas keyboard
“Namanya Ani.” Jawab Azlio
Terjadi jeda beberapa detik
“Dan.. aku adalah Rhomanya.”
Sudahlah tidak usah menanyakan hal unfaedah kepada orang seperti Azlio. Percuma saja. Tidak akan mendapat respon yang diinginkan.
Beryl fokus ke ponsel miliknya. Satu pesan dari nomor tidak dikenal membuatnya mengernyit bingung.
Unknown Number: Manusia sombong sepertimu layak MATI.
Siapa pemilik nomor ini. Ketika Beryl memasukkan pada pencaharian nomor guna melakukan pelacakan pun tidak diketahui siapa namanya. Seharusnya itu terdeteksi bukan?!
“Ber, yuk balik kelas.” Beryl mengangguk setuju. Segera dia mengemasi laptop dan barang-barangnya yang berceceran
Hendrik tiba-tiba muncul entah dari mana asalnya, “Katanya besok ada kelas umum, gais.”
“Kelasnya siapa?” Azlio yang paling heboh sendiri
Hendrik melirik Beryl. “Mas Beryl dong. Siapa lagi.”
Kepala Beryl langsung berpusat pada Hendrik. “Kelas umum bagaimana?”
“Prof.Warsono nggak bilang emangnya, Ber?” Azlio dan Hendrik menatapnya dengan tatapan horror
“Sama sekali tidak ada perintah.” Jelas saja tidak ada. Dia sedang gencar-gencarnya mengikuti Isabella. Mana sempat Beryl ingat tugas menggantikan Prof.Warsono mengajar. Dua hari ini pun jadwal tidurnya terganggu.
“Huh, gimana nasib kita, Hen.” Azlio dan dan Hendrik bertatapan. Mungkin saling prihatin satu sama lain
Ingin rasanya Beryl tertawa melihat keduannya tapi dia tahan. “Kelas umum nggak akan sehorror kelas biasanya. Karena kita bakal gabung tiga angkatan.”
Wajah keduannya yang sedari tadi ditekuk perlahan memudar digantikan oleh wajah sumringah bahagia. “Serius, Ber?”
“Kalian bukannya pernah ikut kelas umum di tahun lalu?” Beryl heran sendiri. Mereka bukannya selalu rajin hadir karena selain faktor kelas wajib, juga bonus mendapat makan siang plus snack gratis. Itu adalah hal membahagiakan untuk kaum mahasiswa
“Pernah sih. Tapi itu bukan Prof.Warsono yang mengisi tapi pak Atok.” Hendrik menimpali
“Sama aja.”
**
Beryl duduk di kursi bagian belakang. Kebetulan hari ini adalah jadwal mata kuliah terakhir dan mungkin akan sedikit mengantuk. Di mata kuliah hukum perdata presentasi bergilir selalu diadakan pada setiap pertemuan . Kebetulan sekali Beryl sudah kebagian jadwal presentasi minggu lalu. Presentasi yang diadakan pun dilakukan secara berkelompok. Satu kelompok terdiri atas lima hingga enam orang anggota.
Beryl melirik seseorang di sampingnya. Dia acuh bahkan enggan bertatapan dengannya. Apakah selama ini Beryl melakukan kesalahan fatal hingga membuat teman perempuannya ini begitu marah kepadanya?
“Aida…” sapa Beryl pelan agar tidak mengganggu jalannya presentasi
Orang yang dipanggil Beryl menoleh, menaikkan satu alisnya. Mungkin juga kebingungan karena untuk apa Beryl mengajaknya mengobrol. Jujur ini pertama kali Beryl berinteraksi dengan Aida setelah hampir dua tahun mereka selalu memilih kelas yang sama. Kebetulan tapi aneh
“Ya?” kata Aida sedikit menjaga nada bicara agar tidak ditertawakan teman-temannya.
Aida termasuk salah satu mahasiswi berprestasi di jurusan. Beberapa kali penelitiannya berhasil lolos tingkat Universitas dan tentu saja mendapat kucuran dana. Itu sebuah prestasi yang membanggakan. Beryl saja baru lolos di tahap Fakultas sudah menyerah karena bejibun tugas dari dosen sekaligus sebagai asisten Prof. Warsono. Menjadi asisten sangat menguras waktu, pikiran, dan tenaga. Tapi Beryl akui satu bulan menjalaninnya. Dia masih baik-baik saja. Entah di bulan berikutnya. Semoga tidak ada yang berubah
Begini soal Aida perlu Beryl luruskan. Jika antara dirinya dan Aida tidak pernah terlibat konflik apapun. Hanya saja teman-teman di kelas sering sekali mengatakan kalau Aida menyukainya. Dan Beryl simpulkan memang iya. Entah dia ini kepedean atau bagaimana. Yang paling terlihat jelas adalah sorot mata Aida terlihat berbeda.
“Mau pulang bareng?”
Aida seperti kebingungan , “Gue bisa pulang sendiri.” Jawabnya cuek
“Daaa...”
Hendrik muncul disusul Azlio dan terakhir Gilang. “Oh Aidaaaaa…” Perpaduan suara fals milik ketiga teman gesrek Beryl di kelas. Ingatkan Beryl untuk memukul mereka satu persatu.
“Cie yang lagi PDKT.”
“Ciee yang sebentar lagi jadian.”
“Eciiiieeee…” Sumpah Beryl merasa teman-temannya sangat norak. Terlebih setelah pak Abdi keluar kelas untuk izin mengangkat telepon suasana riuh seketika muncul.
“Ih Beryl, kok jadian sama Aida. Isabella mau ditaruh mana?” Azlio mulai dengan dramanya. Tentu akan sangat disambut baik oleh teman-teman satu kelas.
Gilang menggunakan kotak kacamata milik Nindy untuk bernyanyi. “Diaaa Isabella….lambang cinta.”
“Nanananananna…” Sahut Azlio
Gilang mengajak semua temannya bernyanyi. “Terpisah karena adat yang berbeda.”
“Cinta gugur bersama…” Hendrik dan Gilang kompakan
“Daun-daun kekeringan.”
“Nananannanana…” Lanjut Azlio kemudian
Pak Abdi kembali masuk kelas. Membuat semua teman-teman Beryl kembali pada posisi semula.
“Untuk kelompok yang maju hari ini sudah cukup baik, ya. Selanjutnya saya harap presentasi akan lebih baik lagi termasuk soal bagaimana cara kalian sebagai pemateri menyajikan presentasi yang menarik minat teman-teman kalian.”
“Dan bagi kalian yang sudah maupun yang belum melakukan presentasi tolong selalu diingat. Hargailah teman kalian yang ada di depan. Mereka sudah bersusah-susah menyusun Power Point lalu belajar untuk presentasi hari ini. Ingat pula disaat kalian menghargai orang lain sekecil apapun itu, maka orang lain juga akan menghargai kalian.”
“Jangan lupakan tiga kata mujarab ini. Tolong, maaf, dan terima kasih. Selamat sore, kita lanjutkan pertemuan minggu depan.”
Kelas sore itu ditutup dengan nasihat panjang bapak Abdi. Beryl melirik Aida yang hendak keluar kelas. “Bareng sekalian aja, Da. Di luar mendung sebentar lagi pasti turun hujan.”
Aida tidak menjawab tapi lebih memilih keluar mengekori Beryl. Jangan lupakan kehebohan ala pasar yang tercipta saat Beryl dan Aida keluar kelas bersama. Sempat Beryl lihat sudut bibir Aida terangkat. Mungkinkah tindakannya ini membahagiakan dia?
Begitu sampai di depan mobil milik Beryl sementara Aida diam mematung tanpa berminat masuk padahal Beryl sudah dengan baik hati membuka pintu untuk temannya ini. “Kenapa, Da?” Beryl mulai kebingungan
Tangan Aida bersidekap d**a. “Lo ngebuat gue jadi tumbal setelah bersama Isabella, Beryl.”
Hah, apa maksud ucapan Aida, sih. Tindakan spontan ingin mengajak pulang bersama juga karena sebenarnya Beryl merasa bersalah akibat Aida sering di bully teman-teman di kelasnya. Itu juga karena dirinya. Mereka bilang cinta Aida bertepuk sebelah tangan dan itu memalukan. Sebenarnya sisi mana yang dikatakan memalukan?! Beryl saja sempat ditolak cintanya oleh Anjani masih bisa baik-baik saja. Sungguh
“Gue nggak bermaksud begitu, Aida.”
“Lo udah berpacaran dengan Isabella kan?” Pertanyaan Aida seperti tengah menodongnya
Beryl berdecak malas, apa semua orang akan dengan blak-blakan mengatakan pertanyaan itu kepadanya. Jawaban Beryl merupakan salah satu bentuk privasinya bukan. “Ayolah, Da. Ini pure karena kita teman satu kelas. Bukan soal tumbal atau pikiran negatif apapun yang bersarang di kepala elo.”
“Karena faktor gue suka sama elo lantas lo bisa bersikap seperti ini, Beryl.” Ujar Aida kelewat percaya diri
Oh bolehkan sekarang Beryl menyimpulkan kalau perempuan adalah makhluk paling ribet dan suka berbelit di muka bumi ini. Pertama, Isabella si pemilik ambisi gila itu. Kedua, Aida dengan tingkat kepedean melebihi seratus persen.
“Apa gue begitu terlihat menyalahkan elo atas perasaan itu, Aida. Itu hak lo. Milik lo. Privasi lo. Gue tidak bisa mengatur dan mengontrol apa yang ada di diri elo.”
Aida mulai emosi, “Memang lo tidak bisa mengatur soal gue. Namun bagaimanapun gue suka sama lo, ngebuat gue harus selalu kerepotan mengatur apakah kita layak bersama atau tidak. Apakah lo suka sama gue apa enggak. Dan apakah lo bakalan perduli atau tidak.”
Pandangan Beryl melembut, “Aida, kumohon! Jadilah perempuan yang tidak gampang terbawa arus. Jangan sampai perasaanmu mengendalikan semua. Bisakah pertemanan kita mulai terjalin tanpa melibatkan perasaan itu?”
“Lo bodoh, Beryl. Sangat bodoh.” Aida tersenyum sinis “Dengan perkataan barusan menunjukkan betapa lo mencoba mengatur gue. Lo meminta sesuatu yang bahkan tidak bisa gue lakukan. Gue benci sama elo!”