"Ca, Caca!?"
Seseorang terus memanggilku. Lalu ....
Aku membuka mata. Nampak Pak Panji tersenyum geli melihatku yang mengucek mata dengan wajah bingung.
"Yang lain mana, Pak?" tanyaku.
"Udah masuk ke tenda. Kamu ketiduran. Ayo, masuklah segera dan istirahat."
Aku tertegun. Jadi yang tadi itu hanya mimpi? Pernyataan cinta Pak Panji? Ck, aish! Kia sialan! Gara-gara racun darinya, aku jadi kepikiran hal yang aneh-aneh. Sampai-sampai aku mimpi ditembak guru baik ini.
"Maaf, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu."
"Hm, silakan."
Semua anggota kelompokku sudah tertidur. Termasuk Kia. Sialan tuh anak. Ah, aku ingat, tadi saat acara belum selesai, dia izin ke kamar mandi. Ternyata bukan ke kamar mandi, malah langsung tepar di tenda. Pantas gak balik lagi ke lapangan.
Ah, aku jadi kepikiran soal saran si Kia. Cari pacar ya? Benar juga. Tapi siapa? Ck, masa harus obral seperti kata si Kia sih?
Aku terus mikir sampai mataku gak berasa sudah masuk ke alam mimpi.
***
Ugh, dingin sekali! Pagi-pagi kami sudah bangun dan bersiap untuk mengikuti acara berikutnya. Ah, perutku terasa keroncongan.
"Eh, sarapan pake apa kita?" tanyaku saat Fani sedang membereskan beberapa bahan masakan.
"Ada sisa nasi semalam. Kita buat nasi goreng saja."
Si Fani memang pantas jad ketua kelompok. Anaknya cukup bertanggung jawab terhadap kelompok. Noh, dia juga sekarang sedang sibuk nyiapin sarapan.
"Eh, elo jangan cuma bengong, Ca. Bantuin dong!" seru yang lain.
"Ha? Bantuin apaan? Iris bawang udah, telur juga udah. Lagian telur sama bawang kan bahannya dari gue." jawabku cuek.
Mereka langsung mingkem. Ya walau aku lihat masih ada gerutuan kecil, haha. Bodo ah, aku lagi males ngapa-ngapain.
"Ca, tuh ada yang datang!" si Kia yang dari tadi sibuk ngupil menyenggol lenganku.
"Ngapain manusia itu datang ke sini ya?" tanyaku dengan hati yang sedikit cenat cenut. Sumpah, kejadian kemarin masih belum bisa ku lupakan. Ya jujur aja, walaupun aku pernah beberapa kali pacaran, tapi belum pernah dicium sampai pakai lidah segala. Mungkin karena Pak Indra sudah dewasa. Sial, mengingat itu pikiran makin liar. Bagaimana dia pacaran dengan kekasihnya ya? Pasti lebih hot dari kemarin.
"Fani, kalian sudah sarapan?" tanya Pak Indra.
Anjay! Dia bertanya pada si Fani dan tidak memedulikan aku sama sekali! Melirikku saja tidak. Rasanya aku ingin menggetok batok kepalanya.
"Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi siap." Fani menjawab dengan tangannya masih sibuk mengaduk nasi goreng yang jujur saja sama sekali tidak menggugah selera. Huft, biasa makan nasi goreng spesial buatan Mama.
"Jangan terlalu lama, kalian harus segera bergegas. Tiga puluh menit lagi acara dimulai." Pak Indra lagi-lagi bicara tanpa melihat ke arahku. Woy yang kemarin sedot-sedot bibirku siapa?! Kesel aku!
"Siap, Pak!" jawab Fani dan beberapa anggota lain.
"Ca!" Aku menoleh. Si Alex datang dengan sepiring makanan di tangannya.
"Alex? Ngapain kamu ke kelompok perempuan?" Pak Indra bertanya dengan nada tidak suka.
"Ini, Pak. Ada sedikit makanan. Kasihan, mereka belum sarapan. Jadi saya ingin berbagi. Kebetulan kelompok kami sudah sarapan." Jawab Alex.
Mataku berbinar. "Wah, kalian bikin roti bakar, Lex?" tanyaku.
Alex mengangguk, "Ya, ini cobalah!"
Aku segera menerima pemberian Alex.
"Wah, sering-sering ya, Lex?" seru yang lain.
Roti bakar buatan kelompok si Alex lumayan enak juga.
Ekor mataku melirik ke arah Pak Indra. Pria itu terlihat mendengus lalu pergi meninggalkan tenda kami tanpa bicara lagi.
Akhirnya nasi goreng buatan si Fani selesai. Gak banyak sih, untung aja si Alex ngasih roti bakar. Jadi meski hanya kebagian sedikit, kami sudah agak kenyang.
"Eh, kenapa sih Pak Indra tadi?" tanya Fani.
"Kenapa apanya?" jawab si Kia cuek. Tapi lengannya menyenggolku.
"Ya kelihatan gak suka gitu pas si Alex ngasih roti bakar. Apa jangan-jangan beliau juga mau ya?" timpal yang lain.
"Lah biasanya juga muka Pak Indra ketus begitu. Udah, jangan dipikirkan!" ucapku yang dibenarkan oleh beberapa anggota lain.
Setelah selesai sarapan, kami membereskan barang. Setelah penjelajahan, kami langsung upacara penutupan dan pulang.
"Ca, elo bawa tongkat?" tanya Kia.
"Gak ah, ribet!" jawabku.
"Katanya kita lewat medan yang cukup terjal. Sebaiknya bawa aja," ucap Fani.
"Ya udah, gue bawa."
Kami diberi arahan terlebih dahulu sebelum berangkat penjelajahan. Gila sih, emang sesuai dengan kabar yang beredar. Kami menjelajah ke daerah pegunungan sekitar sini. Naik ke jurang yang cukup tinggi. Beberapa anggota perempuan yang menyerah tidak meneruskan perjalanan. Mereka kembali ke tenda tapi dengan catatan nilai mereka berkurang.
"Fani, kita mau lanjut aja nih?" tanya salah satu anggota dengan muka lusuhnya.
"Ayo, coba lagi, sedikit lagi kita sampai finish! Satu gagal, maka satu kelompok gagal!"
Kami melanjutkan perjalanan.
"Aduh!" Sial! Aku terkilir saat melewati tanah yang licin.
"Ca? Elo kenapa?" Fani terlihat kaget.
"Kaki gue, Fan! Sepertinya kram!" ucapku sambil meringis.
"Waduh, kita sedang berada di tengah hutan begini. Sebentar, gue cari bantuan!" Fani segera lari ke pos sebelumnya.
Tak lama kemudian, datang beberapa orang pria mendekat bersama Fani. Rupanya Pak Panji dan satu anggota pria. Sepertinya pria itu masuk jadi petugas keamanan.
"Ica, kamu kenapa?" tanya Pak Panji saat melihatku duduk meringis di atas rerumputan.
"Kaki saya kram, Pak. Tadi jatuh dan terkilir."
"Oke, yang lain masih sanggup melanjutkan perjalanan?" tanya Pak Panji.
"Tapi Ica gimana, Pak?"
"Gue gak apa-apa, kalian pergi saja lebih dulu!"
"Bukannya kalau gagal satu yang lain ikut gagal, Pak? Jadi kami menemani Ica dulu di sini," ucap Fani.
Pak Panji tersenyum. "Ini kecelakaan. Kalian tidak akan gagal. Kalau masih kuat, lanjutkan saja."
Fani menatap semua anggota kelompokku. Lalu beralih menatap ke arahku. "Lo mau gimana, Ca?"
"Kalian lanjut aja. Gue mau rehat bentar nunggu kramnya hilang. Nanti gue nyusul!"
"Gue sama Ica aja," Kia langsung menghampiriku.
"Udah, elo berangkat aja! Ada Pak Panji di sini." jawabku.
"Ada apa ini?" seseorang datang. Lah, dia lagi!
Pak Indra datang dan kali ini melihat ke arahku.
"Kamu kenapa?" tanyanya dengan nada datar.
"Dia terkilir. Kakinya kram." Pak Panji yang menjawab.
"Kalian pergilah! Ica biar saya yang urus. Anda juga, Pak Panji. Silakan kembali bertugas." Pak Indra memberi instruksi.
Walau dengan wajah terlihat sedikit kecewa, Pak Panji akhirnya mengangguk. Sebelum pergi, ia sempat melirikku. "Kamu gak apa kan, Ca?"
Aku tersenyum dan menggeleng, "Saya sebentar lagi baikkan kok, Pak. Terimakasih!"
Pak Panji mengangguk dan pergi bersama anggota kelompokku yang lain.
Selepas kepergian mereka, tiba-tiba Pak Indra membelakangiku lalu jongkok di depanku.
"Kenapa, Pak?"
"Naiklah!"
Ha? Maksudnya digendong gitu?