Cemburu bukan sih?

1064 Kata
"Maksudnya gendong gitu, Pak?" tanyaku agak sedikit ragu. "Ya apalagi? Bukannya kamu gak bisa jalan?" Pak Indra bertanya tanpa merubah posisinya yang sedang jongkok. "Baiklah," jawabku. Sebenarnya aku ragu sih mau digendong sama orang ini. Bukan sungkan atau apa, tapi aku takut ketahuan orang lain jika kami memiliki hubungan yang lebih dari sekedar guru dengan muridnya. Tapi kalau gak naik ke atas punggungnya pria ini, aku takut ditinggal. Apalagi Pak Panji udah disuruh pergi oleh manusia yang satu ini. "Kamu doyan makan ya?" Pertanyaan Pak Indra membuyarkan lamunanku. "Kenapa emang?" tanyaku. "Berat banget sih?" "Ck, saya gak minta digendong lho, Pak." "Biasanya anak seusia kamu pasti sangat memikirkan penampilan. Makan aja diatur. Gak kayak kamu, makan apa aja." Apa katanya anak? Ish, menyebalkan! "Ish, saya bukan anak-anak lho, Pak! Dan lagi saya gak segendut itu lah. Berat badan saya masih proposional dengan tinggi badan." Ish, dasar playboy dua kelinci! Meskipun lagi menggendongku, masih aja sempet-sempetnya bikin aku kesal setengah mati. "Kamu memang masih anak-anak. Badan kamu juga berisi. Buktinya kamu sangat berat." "Ya udah turunin aja!" ucapku dengan nada ketus. Lah? Pak Indra benar-benar menuruti apa yang aku ucapkan. Dia menurunkanku di atas batu. "Hah, baik, kalau kamu mau turun." Pria itu terlihat kelelahan. Jalan yang kami lalui cukup terjal. Naik turun dan agak licin. Pepohonan di sini sangat rimbun membuat udara menjadi lebih segar. Aku mendelik kesal padanya. Pria itu duduk di sebelahku. Ia mengeluarkan sebotol air mineral dari saku celananya. Rasa gedekku makin meningkat saat dia minum tanpa menawariku sama sekali, keterlaluan! "Ekhm! Uhuk!" Aku pura-pura batuk. Ya sebenarnya membari kode kalau aku pengen minum. Sialnya, manusia di sampingku ini sama sekali tidak peka. "Jangan pura-pura batuk, nanti batuk beneran lho." "Ck, Anda tega banget ya? Minum sendiri gak nawarin ke saya!" "Lah, kamu gak minta kan?" Aku merengut kesal. "Ya setidaknya cobalah Anda sedikit peka, Pak." "Ini minum saja kalau mau," ucapnya. Aku mengambil botol minum dari tangannya. Tanpa berpikir panjang, langsung meminumnya hingga tandas. "Ah, segarnya!" ucapku tersenyum puas lalu mengembalikan botol minum padanya lagi. "Bagus, kamu habiskan semuanya. Berarti air liur kita sudah menyatu." "Uhuk! Apa?! Anda mencampur air liur ke dalam botol?! Menjijikan! Huek!" Sumpah, ini orang ngajak perang melulu kenapa sih? Jelas aku jijik dan tak tahan! Membayangkan air liur orang dewasa dalam minumanku, huek! "Haha, kenapa kamu jijik? Bukannya kemarin sudah merasakan air liur saya?" Aku terdiam sejenak. Mencoba mencerna kata-kata pria itu. Mataku membelalak, "Hei! Itu beda konteks lah!" "Ya sama aja. Tadi juga kamu bilang minumannya segar kan? Kenapa sekarang jadi merasa jijik?" "Ish, gak ada satu pun manusia yang suka dengan air liur, Pak! Anda jorok!" "Baiklah, jadi kamu mau merasakan air liur saya dengan cara yang kemarin?" Sontak aku menutup mulut sambil menggeleng, "Tidak mau, terimakasih!" Pak Indra tersenyum geli lalu kami saling diam lagi. Dan sumpah, suasana hening begini bikin aku gak betah. Ekor mataku melirik pria yang sudah menjadi suami siriku itu. Rupanya dia tertidur. Ck, kalau aku kelamaan di sini, pasti teman sekelompokku khawatir. Mana perjalanan masih jauh lagi. Pak Indra malah tertidur. Bagaimana ini? Apa aku mencoba pulang sendiri aja gitu ya? Aku rasa kram kakiku sudah hilang. Perlahan, aku mencoba untuk berdiri. Jalan sedikit-sedikit. "Argh!" Sial, sepertinya kakiku benar-benar terkilir. Saat mencoba melangkah, rasanya sangat sakit. Alhasil aku jatuh lagi ke atas tanah. Untung saja gak terlalu keras. "Jangan keras kepala! Jatuh lagi kan jadinya?" Aku menoleh. Nampak Pak Indra datang lalu jongkok di depanku yang sedang duduk di atas tanah. "Saya bosan kelamaan di sini. Dan lagi kalau saya lama gak kembali, pasti banyak yang khawatir." "Percaya diri sekali kamu. Siapa yang khawatir? Paling juga si Panji dan si Alex kan?" "Pak, Anda jangan berburuk sangka pada kedua orang itu. Pak Panji guru yang baik kok. Alex juga cukup perhatian." Pak Indra tersenyum sinis, "Kamu itu bodoh atau pura-pura bodoh? Mana ada pria yang rela membantu wanita jika tak ada tujuan?" "Hei, bukannya Anda bilang saya ini anak-anak? Ya anggap saja Pak Panji mungkin sedang menolong anak-anak." "Ck, jangan banyak mengeluh! Lihat, kamu gak bisa pulang sendiri kan? Saya yang gendong kamu. Istirahat sebentar saja. Kamu pikir saya gak capek gendong kamu yang berat itu?" Aku tidak menjawab lagi. Aku jadi tahu kebiasaan buruk pria ini. Jika kalah dalam berdebat, pasti mengalihkan pembicaraan. Walau dengan wajah kesal, Pak Indra menggendongku dan mendudukkanku di atas batu yang tadi. Dia sendiri duduk dan senderan di bawah pohon yang cukup besar. Matanya merem lagi. "Pak." "Hm." "Saya boleh tanya kan?" "Biasanya juga kamu nanya tanpa minta izin kan?" "Um, anu. Yang kemarin itu Anda bisa jelaskan gak?" "Maksud kamu?" Pak Indra masih menutup matanya. "Anda mencium saya tiba-tiba lho, Pak. Terus terang saja, saya cukup terkejut." Pak Indra membuka matanya. "Kenapa memangnya? Kamu mau lagi?" "Bukan begitu! Asal Anda tahu, kemarin saya cukup tersinggung dengan perbuatan Anda yang tidak minta izin." "Kenapa harus minta izin? Saya tunangan kamu kok. Ya bebas aja." "Ih, tapi kata Mama kita gak boleh bersentuhan sebelum saya dewasa lho, Pak." "Kamu bilang katanya bukan anak-anak? Berarti kamu mau dibilang udah dewasa kan?" "Ck, terserah Anda. Pokoknya Anda harus jelaskan kenapa kemarin Anda seperti itu?" Pak Indra menutup matanya lagi. "Hanya kelepasan saja. Bukan hal yang berarti kok." Aku tercengang dengan jawabannya. Gila nih orang! Habis cipok anak orang, malah dengan entengnya cuma kelepasan?! "Tega banget sih Anda? Kelepasan sampai mengambil ciuman pertama saya!" Pak Indra membuka matanya lagi lalu menatapku dengan tatapan menggoda, "Wow, jadi itu yang pertama?" Aku mengangguk kaku. "I-iya. Makanya jangan suka sembarangan, Pak!" "Itu bagus. Pantas saja rasanya sangat kaku." Dih, udah mah nyosor gak bilang-bilang, ngeledekin lagi! "Pak jujur saja, Anda cemburu ya?" tanyaku. "Kenapa harus cemburu? Kamu bukan pacar saya." "Lah, kelakuan Anda kemarin sangat jelas lho. Anda gak suka saya berdekatan dengan Pak Panji dan Alex. Apa namanya jika bukan cemburu!" Pak Indra menatapku, "Dengar ya, saya hanya kasihan sama kamu. Kalau Panji itu hanya terlihat baik di luar. Sebenarnya dia sangat buruk. Banyak pacarnya juga. Kamu gak takut terkena penyakit kelamin dari dia? Nah satu lagi, si Alex. Apa yang bisa diharapkan dari bocah ingusan itu? Dia gak bisa jamin biaya hidup kamu. Makanya jangan dekat dengan kedua orang itu." Aku tersenyum kecil, "Anda jangan khawatir, mereka berdua bukan tipe saya kok." "Lalu tipe pria seperti apa yang kamu mau?" tanyanya. Aku tersenyum. Membayangkan wajah gagah Abang tertuaku. "Setidaknya pria itu punya kepribadian seperti Bang Fatih."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN