Salah Faham?

1246 Kata
Sialan! Kenapa dia semakin mendekat? Semoga saja gak ada yang melihat kami. Beneran lho, aku gak godain dia atau semacamnya. Pria ini yang lebih dulu mengurungku dengan kedua tangannya. "Anda mau apa, Pak?" Mati-matian aku berusaha untuk tetap tenang. Jangan sampai dia tahu kalau aku gugup setengah mati. "Hanya mengingatkan saja, jika kamu harus pandai memilih pria." "Mundur dikit bisa gak?" Sumpah, sekarang kami hampir tak berjarak! Hidung Pak Indra mungkin setengah senti lagi bisa menyentuh hidungku. "Apa bicara kita terlalu dekat, Ica? Kamu gugup?" Bangke! Pria di depanku ini malah menyeringai senang. Telunjukku mendorong dadanya. "Saya susah bernafas, kita rebutan oksigen, Pak!" Mata Pak Indra tiba-tiba sedikit berbeda. Tatapannya seakan memendam hasrat. Apa ini cara dia memikat para wanita? Kan dia playboy ulung! Dan sialnya lagi, aku ikut terseret pada pesona seksi pria ini. "Kamu mau tahu rasanya berebut oksigen?" tanyanya dengan suara parau. Aduh, ini makin mendebarkan. Rasanya seluruh peringatan dalam tubuhku berbunyi nyaring sekarang. Aku mengikuti arah pandangan Pak Indra. Pria itu sepertinya sedang melihat ke bibirku. Glek. Ya ampun, kenapa ludah aja serasa seret buat ditelan ya? Ekor mataku sempat melihat jakun pria yang sedang menguasaiku. Bagian tubuhnya yang di leher itu terlihat naik turun. Mau kabur, tapi aku kesulitan. Sedikit saja bergerak, hidung dan bibir kami pasti bersentuhan. Mending aku merem saja. Pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Satu detik .... Dua detik .... Tiga detik .... Lah kok gak ada yang terjadi? "Sial!" Aku dengar umpatan Pak Indra. Saat aku membuka mata, ternyata pria itu sudah menjauh dariku. Huft, akhirnya aku bisa bernafas dengan lega. "Pak Indra? Ica? Kok kalian masih di sini?" Suara centil milik Bu Nuri membuatku menoleh. Guru bahasa Indonesia itu terlihat senang melihat kami. Ah, bukan ding! Lebih tepatnya dia senang melihat Pak Indra. Bukan rahasia lagi jika Pak Indra banyak digandrungi oleh wanita di sekolah. Baik dari siswi ataupun kalangan guru. Terkadang heran, bagaimana mungkin Pak Indra bisa jadi rebutan semua orang? Apa mereka gak tahu jika pria ini punya banyak pacar? "Eh, Bu Nuri, apakabar?" Aku mengangguk sopan sambil mengulurkan tangan lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Saya baik, Ca. Tapi motor saya yang gak baik-baik saja." "Motornya kenapa, Bu?" tanyaku. "Anu, Ca. Motor saya mogok." "Di sekitar sini ada bengkel motor kalau tidak salah, ibu bisa bawa ke sana motornya." Pak Indra memberi saran. Bu Nuri tersenyum, "Hehe, iya, Pak. Tapi kan kita harus ke lokasi perkemahan sekarang. Boleh saya ikut numpang?" "Tentu saja boleh, Bu." Aku menjawab dengan senyuman lebar. Aku puas melihat wajah Pak Indra yang ditekuk kesal sambil melirikku. Haha, ya ampun aku suka ini. Ya, Pak Indra tidak terlalu suka sama wanita dengan dandanan cetar membahana ini. "Eh, Ica, saya kan nanya Pak Indra, bukan kamu," Bu Nuri tersenyum malu melirik Pak Indra. "Ibu tenang saja, Pak Indra orang baik kok. Masa gak mau ditumpangi ya kan, Pak?" "Benar. Kamu juga Ica, ayo masuk mobil saya." Pak Indra menatapku tajam. "Ah iya benar. Ica juga, ayo!" Bu Nuri dengan semangat empat lima langsung buka pintu mobil lebih dulu. "Ca, kamu di depan!" Pak Indra berkata dengan bisikan di telingaku. "Bu Nuri, saya duduk di belakang kan?" Aku malah menjawab ucapan Pak Indra dengan kencang. Haha, Pak Indra terlihat kesal padaku. "Oh tentu saja, Ica. Biarkan orang dewasa di depan, kamu di belakang saja." Bu Nuri sangat senang sekali. Aku duduk manis di kursi belakang. Begini kan lebih nyaman. Kalau di depan, pria itu sering sengaja membuatku terpojok. Kalau sekali sih gak masalah. Lah kalau keseringan, aku bisa tergoda juga. Kan bisa kacau nanti! Bu Nuri mulai berkicau di depan sana. Pak Indra menanggapi sesekali. Dari kaca depan, aku jelas melihat Pak Indra menatapku kesal. Aku meleletkan lidah dengan puas. Haha seneng deh bisa ngerjain dia balik. Biasanya kan aku yang dibikin kesal sama dia. Kami tiba di lokasi perkemahan. Kalau begini kan orang gak akan curiga. Aku turun bersamaan dengan Bu Nuri. "Ca, elo kok bisa barengan sama Bu Nuri dan Pak Indra?" Kia langsung menghampiriku. "Haha, iya, lumayan lah tumpangan gratis sekaligus dapat tontonan seru." "Dodol! Elo gak salah lihat? Masa Pak Indra mau sama Bu Nuri sih?" "Ya ampun, justru itu, Kia. Lucu banget, haha. Pak Indra tadi terlihat sangat tertekan karena meladeni ocehan Bu Nuri." "Haha, nah makanya. Gua yakin sih, Bu Nuri bukan tipe wanita Pak Indra." "Ca, barang kamu udah disimpan di sana, disatukan dengan kelompok kamu." Pak Panji datang. Aku mengangguk dan tersenyum, "Makasih banyak, Pak." "Ya, sama-sama. Oh ya, kelompok kalian belum pasang tenda?" Pak Panji melihat ke arah lokasi kelompokku. Beruntung, aku dan si Kia satu kelompok. "Belum, Pak. Soalnya Fani ketua kelompok kami belum datang." jawab Kia. "Ayo, saya bantu pasang," Seseorang datang. Aku dan Kia kompak menoleh ke sumber suara. Rupanya Pak Indra. "Wah, serius, Pak? Anda mau bantuin kita?" Kia berbinar senang melihat pria sok kecakepan itu. "Tentu saja. Ayo!" jawab Pak Indra. Tanpa menoleh ke arahku, pria itu berjalan melewati Pak Panji. "Bukannya ada briefing panitia sekarang, Pak Indra?" tanya Pak Panji. Pak Indra membalikkan badannya lalu tersenyum ke arah Pak Panji. "Wakilin saya ya? Saya khawatir sama anak-anak. Mereka belum mendirikan tenda sementara yang lain sudah enak istirahat. Bukankah itu juga tanggung jawab kita?" Pak Panji mengangguk, "Benar. Tapi Pak?" Pak Indra menepuk pundak Pak Panji. "Saya ke sana dulu, jika Pak Kepala Sekolah bertanya, sampaikan saja saya sedang membantu anak-anak terlebih dahulu." Pak Panji akhirnya mengangguk. Aku dan Kia saling melempar pandangan. Ada aura aneh di antara keduanya. Ah bukan sih, tapi tepatnya Pak Indra yang seperti kurang suka pada Pak Panji. Padahal Pak Panji termasuk guru yang baik dan perhatian sama anak didiknya. Kia mengajakku untuk mengikuti langkah Pak Indra. "Ca, lihat deh, Pak Indra keren banget ya? Gagah pula." "Ck, gagah sih, tapi pacarnya banyak. Buat apa?" "Ish, sok tahu kamu. Pak Indra banyak penggemar, bukan banyak pacar, Ca." Tanpa kami duga, tiba-tiba Pak Indra membalikkan badannya. Hampir saja kami bertabrakan dengannya. "Kia, bisa tolong belikan saya kopi sachet di warung itu?" ucapnya. "Biar saya aja, Pak!" Aku menawarkan diri. Sumpah, aku gak mau ditinggal berduaan dengan pria itu. Di sini terlalu rawan. Banyak orang. "Ih, jangan, Ca. Pak Indra nyuruh gue, kok." Si Kia seneng amat sih disuruh gitu doang juga? "Benar. Tolong ya? Kalau Ica jalannya kadang lambat, jadi pasti lama." Anjir, pria itu meledekku. Selepas kepergian Kia, Pak Indra menatapku. "Kamu kenapa sengaja membuat saya gak nyaman tadi?" "Ha? Yang mana, Pak?" "Jangan pura-pura! Kamu sengaja kan membuat saya kesal? Kamu tahu saya gak suka dengan wanita menor tadi?" Aku menahan tawa, "Ish, gak boleh begitu, Pak. Beliau itu guru saya, rekan Anda juga." "Sekarang kamu berani bikin saya kesal?" "Eh, enggak kok. Saya hanya hei!" Pak Indra dengan cepat menangkap tubuhku. Tangannya meraih pinggangku lalu setengah mengangkat tubuhku. Ia membawaku bersembunyi di balik pepohonan yang rimbun. "Anda mau apa sih, Pak?" tanyaku dengan sedikit rasa takut. Ia tidak menjawab. Detik berikutnya pria itu membuat jantungku meloncat tidak karuan. Kepalaku ditekannya hingga tak bisa menghindar. Aku megap-megap. Basah dan hangat. Jadi ini rasanya? Huft, aku sangat gugup. Tanganku mendorong dadanya. Berusaha melawan. "Pak, apa yang Anda lakukan?!" tanyaku saat ciumannya berhasil lepas. "Memberimu peringatan. Lain kali jangan melawan saya, gadis kecil!" "Anda gila, Pak! Bagaimana kalau orang melihat kita?" Pak Indra menyeringai, pria itu mengusap bibirnya yang basah dengan ibu jarinya sendiri. "Bilang saja mereka salah faham. Ngomong-ngomong bibir kamu rasanya tidak buruk. Sangat manis." Pak Indra dengan santainya meninggalkanku di balik pepohonan. Aku melongo. Apa katanya? Salah faham?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN