Flashback

2113 Kata
Alisha duduk cemas di atas kloset duduk di dalam toilet. Dia sempat melihat pria itu turun dan yakin sekali untuk mengejarnya. "Kenapa bisa?" tanyanya pada diri sendiri. Dia tak akan mendapat hasil apa-apa dari acara ini, entah apa yang akan dia katakan pada Karina nanti. "Tapi ...," ucap gadis itu pelan. Dia tidak mungkin selamanya di toilet ini, Alisha pun mengambil benda pipih dalam tasnya dan segera mencari kontak Evan. Setelah menemukan kontak yang dicari, gegas gadis itu menekan ikon gagang telepon. "Evan ayo angkat!" Alisha menggigiti kuku jarinya gelisah. Sudah hampir dua menit panggilan teleponnya tersambung, tapi tak mendapat jawaban dari pria itu. "Apa dia sibuk?" tanyanya sambil mematikan sambungan telepon. Akhirnya Alisha memutuskan memesan taksi online saja. Namun, ketika dia mulai memesan, panggilan dari Evan masuk, gegas dia pun mengangkatnya. "Halo." "Maaf, Al, tadi aku sedang keluar dan lupa bawa pon-" "Bisa jemput aku sekarang?" ucap Alisha cepat memotong perkataan pria di seberang. "Sudah selesai?" "Um, sudah. Bisakah kau jemput sekarang?" "Oke, tunggu lima belas menit lagi aku sampai." "Baiklah." Alisha mematikan ponselnya dan kembali menggigiti kuku jarinya. Kebiasaan yang sulit dia hilangkan bila sedang dilanda cemas dan gelisah. Untung saja toilet di hotel ini bersih dan wangi sehingga dia tidak harus merasakan jijik luar biasa. Di lain tempat, masih di hotel yang sama. Adrian berjalan mondar-mandir di luar ruangan, sedangkan di dalam acara masih berlangsung tanpa dirinya. Pria itu merasa panik kerena kehilangan jejak gadis itu. "Bodoh!" rutuknya pada dirinya sendiri. Kemudian pria itu menatap dua wanita yang sedang memperhatikannya sejak tadi. Adrian merasa aneh, dan tak ingin peduli. Tak sengaja dia melirik buku besar yang tergeletak di depan dua wanita itu. "Bukankah nama-nama para undangan ada di buku itu," pikirnya. Tanpa pikir panjang pria itu pun menghampiri dua wanita yang saat ini tengah saling berbisik. "Boleh saya lihat?" tanya Adrian seraya menunjuk buku tebal berwarna biru yang ada di depan dua wanita itu. "Oh ... silakan, Pak," jawab salah seorang dari wanita itu sambil tersenyum malu-malu. Adrian pun mengambil buku biru itu dan membukanya, dia menyusuri nama-nama yang tertera dalam buku itu. Kemudian dia ingat, sepertinya Alisha datang di menit terakhir. Tangannya pun membalik lembar demi lembar hingga mencapai di nama-nama undangan yang datang belakangan. "Gotcha!" ujarnya senang karena dia telah mendapati nama Alisha di barisan paling akhir. Adrian mencatat alamat yang tertera di buku itu di ponselnya. "Sepertinya tidak asing," lirihnya. "Terima kasih," ucapnya dengan seulas senyum menawan yang mampu menghipnotis dua wanita di depannya itu. Adrian kembali bergabung ke dalam acara yang masih berlangsung. Dia sudah tak khawatir lagi mengenai Alisha, karena sudah mengantongi alamat gadis itu. 20 menit kemudian. Sebuah pesan masuk ke aplikasi hijau di ponsel Alisha. [Aku hampir sampai, tunggu di lobby, bisa?] [Oke.] balas Alisha cepat. Gadis itu memasukan ponsel ke dalam tas selempang dan keluar dari bilik toilet. Langkahnya pelan menuju pintu toilet, Alisha membuka sedikit pintu dan mengintip keadaan di luar. Setelah yakin aman, gadis itu pun kemudian melangkah cepat ke arah lift yang masih tertutup. Alisha menunggu lift terbuka dengan gelisah, jarinya mengetuk-ngetuk di tangannya. kepalanya berkali-kali dia tolehkan ke arah belakang, takut bila pria itu tiba-tiba muncul tanpa disadarinya. Tak lama kemudian pintu lift terbuka, gegas gadis itu masuk ke dalam kotak besi itu yang akan membawanya ke lantai bawah. Tiba di lantai bawah Alisha buru-buru keluar dari kotak besi itu. Lalu, melangkah cepat keluar hotel di mana Evan sudah menunggu di depan. Ketika Alisha sudah berada di luar hotel, kepalanya celingukan mencari keberadaan pria itu dan motor yang biasa dipakainya. Tiba-tiba sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di hadapan Alisha. Kaca jendela mobil itu terbuka menampilkan wajah pria yang sejak tadi dicarinya. "Ayo, masuk!" titah pria itu. Sempat terkejut akhirnya Alisha pun langsung membuka pintu mobil dan duduk di sebelah Evan. Gadis itu sedikit canggung dengan keadaan. "Bagaimana acaranya tadi?" tanya Evan membuka obrolan, karena sejak tadi gadis di sampingnya hanya diam tak mengeluarkan suara. Alisha yang sejak tadi berperang dalam pikirannya sontak menoleh ke arah pria yang tengah menyetir di sebelahnya. "Ha! Apa?" tanya gadis itu bingung. "Pasti ngelamun ya," ucap Evan seraya tertawa kecil. "Gak," balas Alisha pendek. Tidak mungkin dia mengatakan pada Evan tentang pertemuannya dengan pria di masa lalunya. "Ya udah deh, nyerah aku. Jadi, bagaimana acaranya tadi?" tanya Evan mengulang pertanyaannya. "Acaranya belum selesai. Tiba-tiba aku terserang sakit perut," ucap Alisha berbohong. "Serius?" tanya Evan sedikit terkejut. Alisha mengangguk. "Kita ke rumah sakit, ya?" "Tidak perlu! Aku tak apa-apa, hanya sakit perut biasa," cicit Alisha dengan raut memelas. Evan menatap heran pada gadis yang duduk di sebelahnya. "Kau yakin?" Alisha kembali mengangguk yakin, biarlah dia berbohong kali ini. "Um, di mana motormu?" tanya Alisha mengalihkan topik pembicaraan. "Motorku?" Evan membeo. "Ah! Tadi dipinjam rekan kerjaku dan belum kembali. Jadi, terpaksa aku pinjam kendaraan bos yang kebetulan nganggur di parkiran," kata Evan lagi. Sepertinya keduanya kali ini seri, karena sama-sama telah berbohong. Mobil yang dikendarai Evan meluncur mulus di jalanan protokol siang ini. Evan pernah menceritakan pada Alisha prihal pekerjaannya, pria itu berkata kalau dia seorang assisten mandor proyek. Hanya itu yang dia tahu, selebihnya gadis itu tidak bertanya lagi. Tak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai Evan berhenti di depan toko milik Karina. "Sepertinya kau butuh refreshing?" ucap Evan sebelum Alisha keluar dari mobil. "Apa itu sebuah kode?" terka Alisha yang disertai dengan senyum menggoda. "Kita bisa liburan sama-sama, bagaimana?" tawar Evan lagi. "Boleh." "Oke, bicarakan dulu dengan Tante Karina dan Kyara, mereka mau ke mana." "Siap!" Setelah Alisha turun dari mobil, Evan pun berpamitan dan memacu mobilnya kembali ke tempat kerjanya. Alisha masuk ke dalam toko, yang disambut dengan raut heran oleh Karina. "Lho, cepat sekali," ucap Karina heran. Alisha menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja gatal. "Um, tiba-tiba aku terserang sakit perut tadi," jawab Alisha mencari alasan. "Ya, ampun. Apa kau salah makan tadi?" tanya Karina khawatir. Gadis itu memandang ke sekeliling ruangan, ada pelanggan yang mengisi dua meja di ujung dekat jendela. Alisha menggeleng, lalu berkata, "entah, sepertinya tidak ada yang aneh." "Istirahat saja dulu," saran Karina. "Sekalian temani Kyara di atas," lanjut wanita itu lagi. "Ak-" "Permisi!" Ucapan Alisha terpotong oleh suara bariton di belakangnya. Namun, dia belum ingin menoleh. "Wah, selamat datang!" ucap Karina antusias menyambut pria yang berdiri di belakang Alisha. "Apa kabar, Tante?" sapa pria itu. Bulu-bulu halus di tubuh Alisha seketika berdiri mendengar suara yang sedikit mirip dengan pria yang dia kenal dulu. "Baik, Yan. Kebetulan sekali, Sha, kau bilang ingin bertemu dengan Adrian, dia ...." Sontak wajah gadis itu mendongak ke arah Karina dengan tatapan nanar ketika ibu angkatnya menyebut nama laki-laki masa lalunya. "Sha?" ucap Karina terkejut. "Alisha," panggil Adrian pelan. Gadis itu masih berdiri dengan raut tak terbaca di depan Karina. Karina pun mulai memahami situasi. Wanita itu bertanya-tanya apakah Adrian adalah pria di masa lalu Alisha? Pria yang tak bertanggung jawab dan meninggalkan gadis itu ketika tengah mengandung benihnya? Setelah mengumpulkan kekuatan, Alisha pun berbalik menghadap Adrian yang kini menatapnya dengan penuh kerinduan. Akan tetapi, berbeda dengan gadis itu. Wajah pria di hadapannya membuat Alisha seketika ingin memaki dan berteriak meluapkan amarah yang dulu sempat dia pendam. Sepuluh tahun yang lalu .... Alisha membereskan buku pelajaran yang berceceran di mejanya dengan wajah yang terlihat tidak bersemangat. Pagi tadi sebelum berangkat sekolah tiba-tiba saja dia merasakan mual yang luar biasa dan berakhir dengan muntah-muntah. Padahal, semalam dia tidak memakan makanan yang aneh-aneh. Sang Ibu sudah memintanya untuk izin tidak masuk sekolah, tetapi gadis itu menolak dan mengatakan kalau dia baik-baik saja. Alisha tetap berangkat ke sekolah seperti biasa dengan dibonceng oleh Revan, Kakaknya, yang kebetulan kampusnya masih satu jurusan dengan sekolah Alisha. "Kamu sakit, Sha?" tanya Irish teman sebangkunya. Alisha menggeleng lemah. "Pucat gitu, loh," ucap Irish lagi. "Aku gak apa-apa, Rish." "Mau ke kantin atau aku pesen aja bawa ke sini," saran Irish. "Aku lagi gak pengin makan apa-apa, Rish," balas Alisha. "Aku ke kantin dulu, ya," ujar Irish, lalu melangkah keluar kelas. Selama jam pelajaran berlangsung tadi, Alisha masih menahan mual. Dia sadar dengan apa yang dia alami saat ini. Jadwal menstruasinya bulan ini pun sudah telat. Alisha mengingat kejadian beberapa bulan lalu ketika dia dan Adrian, kekasihnya tengah terjebak hujan saat pulang sekolah. Alisha dan Adrian sudah berpacaran kurang lebih enam bulan. Ketika mereka bersama-sama naik kelas 12, Adrian langsung menyatakan perasaannya kepada Alisha. Gadis itu sempat ragu dan akan menolak, karena yang dia tahu Adrian bukanlah pria sembarangan di sekolah ini. Adrian diketahui adalah anak tunggal dari seorang pengusaha. Ayahnya juga tercatat sebagai donatur tetap di sekolah. Selain bergabung dalam tim basket, Adrian juga termasuk siswa yang memiliki otak cemerlang. Berkali-kali pria itu memenangkan perlombaan sekolah ditingkat kabupaten. Dikalangan siswa-siswi sekolah, Adrian dikenal sebagai playboy karena seringnya berganti-ganti pasangan. Namun, ketika dia menyatakan perasaanya pada Alisha, pria itu bersumpah kalau itu hanya sebuah fitnah. Adrian mengaku tidak pernah berganti-ganti pasangan. Bahkan, dia mengaku hanya mempunyai satu mantan saja. "Aku sudah lama memperhatikan kamu, Sha. Cuma aku belum ada keberanian buat dekat sama kamu," ucapnya kala itu. Semenjak pernyataan dan pengakuan pria itu, Alisha menjadi sering memikirkannya. Pasalnya selama ini Alisha sama sekali belum pernah berpacaran. Rasa suka pada lawan jenis pasti ada, hanya saja dia tidak pernah berani mengungkapkannya. Alisha pun sama dengan siswi-siswi lain, mengagumi Adrian yang notabene adalah salah satu pria paling diminati di sekolah. Sampai akhirnya Alisha luluh dan menerima Adrian sebagai kekasihnya. Adrian pun membuktikan ucapannya kalau dia bukan pria yang mudah mempermainkan wanita. Buktinya selama enam bulan berpacaran dengan Alisha, pria itu sangat berbeda dari selentingan kabar buruk yang pernah dia dengar. "Sha, kamu sakit?" tanya Adrian yang menghampiri Alisha di kelasnya dengan raut khawatir. Tadi, dia tak sengaja berpapasan dengan Irish di tikungan ketika akan ke kantin. Lalu, teman sebangku kekasihnya itu memberitahu kalau Alisha tengah tidak sehat. "Dri, sepertinya aku ...." Alisha tak melanjutkan ucapannya ketika salah seorang siswi masuk ke kelas. "Kenapa, Sha?" desak Adrian. Alisha menggeleng. "Nanti pulang sekolah bareng aku, ya?" Alisha mengangguk, itulah yang dia inginkan. Adrian pun mengusap pucuk kepala Alisha dengan sayang. Bel pulang sekolah berdentang lama, tanda jam pelajaran habis. Siswa-siswi berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing. "Mau pulang bareng?" tanya Irish. "Aku bareng Adrian, Rish," balas Alisha. "Oke, deh. Aku duluan ya, Sha," pamit Irish seraya melangkah keluar kelas. Alisha memang sering pulang bersama Irish, karena gadis itu membawa kendaran pribadi ke sekolah, dan kebetulan juga rumah mereka searah. Ketika kelas sudah agak sepi, Alisha pun melangkah keluar menuju tempat parkir. Di lapangan ada beberapa siswa yang masih bermain basket salah satu di antaranya adalah Adrian, kekasihnya. Adrian menyudahi permainan basket-nya, lalu menghampiri Alisha yang menunggu di ujung lapangan. "Sudah mau pulang?" Alisha mengangguk, hari ini dia ingin pulang cepat. Entah mengapa, dia merindukan kasurnya di rumah. "Ayo," ajak Adrian seraya meraih jemari Alisha. "Aku mau mampir ke apotik dulu ya," pinta Alisha yang diangguki oleh pria itu. Keduanya tiba di parkiran, Adrian membukakan pintu mobil untuk Alisha lebih dulu. Adrian sudah duduk di belakang stir, tapi belum ingin menyalakan mesin mobilnya. Tangan Adrian membelai rambut Alisha dan mengecupnya. "Besok kalau masih gak enak badan, jangan berangkat dulu," ucap Adrian lembut. Alisha tak mengatakan apa-apa, dia takut. Mungkin sebaiknya dia mengatakannya nanti, setelah ada bukti yang akurat. Adrian menangkup kedua pipi Alisha, mata keduanya saling menatap. Perlahan Adrian mengecup lembut bibir Alisha yang selama ini menjadi candunya. Gadis itu tak mengelak dengan kecupan lembut Adrian, malah dia menyambutnya dengan senang hati. Walau di hatinya tengah berperang dengan rasa ketakutan akan kejadian yang telah menunggunya di depan. Keduanya saling berpagutan mesra tak peduli dengan suasana di parkiran, tangan Adrian pun mulai membuka kancing atas seragam sekolah Alisha, lalu memasukan tangannya ke dalam dan meremas salah satu gundukan kembar milik gadis itu. Terasa padat, kenyal, dan sangat pas di genggamannya. "Shh ...," desah Alisha karena Adrian memelintir p****g miliknya. Setelah puas dengan bibir kekasihnya, Adrian pun membuka lagi kancing seragam Alisha hingga menampakan bra berwarna pink yang dikenakan gadis itu. Adrian mengeluarkan isi dari cup bra dan mulai menghisapnya rakus seperti bayi yang kelaparan. "Dri ...," panggil Alisha lirih. Gadis itu menggigit bibirnya menahan rangsangan yang mulai bergejolak di dadanya. Adrian tak henti-hentinya bergantian menghisap dan meremas gundukan kembar milik Alisha. Tiba-tiba Alisha mengingat kembali kejadian satu bulan lalu di tengah hujan deras ketika mereka pulang sekolah bersama dan berakhir di kamar pria itu. Sontak dia mendorong kepala Adrian menjauh dari dadanya. "Sha!" seru Adrian marah tak terima ketika Alisha memaksa untuk menyudahi kegiatannya. Alisha kembali mengancingkan seragamnya, tanpa peduli dengan kekesalan pria di sampingnya. "Aku belum puas, Sha," rengek Adrian lagi. Alisha menggigit bibirnya. "Sudah cukup, Dri. Sekarang tolong antar aku pulang!" titah Alisha tanpa ingin dibantah. "Ke rumahku, mau?" tawar pria itu. Alisha menggeleng cepat. Adrian memukul stir, kesal, karena hasratnya ingin segera dituntaskan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN