Flashback 2

2338 Kata
Di perjalanan keduanya saling membisu. Alisha sibuk memikirkan hal-hal negatif yang bakal terjadi nanti, sedangkan Adrian masih memendam kekesalan akibat hasrat yang belum tuntas tersalurkan. Adrian menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang halamannya ditumbuhi dengan banyak tanaman hias. Tidak lain adalah rumah Alisha. Alisha tidak turun lebih dulu, dia menunggu pria itu mengatakan sesuatu. Namun, setelah lewat sekian menit pria di sampingnya masih diam dan tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. "Makasih, ya. Udah nganter aku pulang," ucap Alisha lembut. Hening. Alisha membuang napas lelah. "Adrian?" panggil Alisha pelan. Tak ada jawaban. "Mau quicky?" tanya Alisha ragu. Adrian sontak menoleh mendengar tawaran gadis itu. "Serius?" tanya pria itu berharap kekasihnya tak memberinya harapan palsu. Alisha mengangguk seraya menggigit bibirnya. "Di mana?" Gadis itu menoleh ke arah rumahnya. Bila siang hari dari mulai pukul 12.00 sampai 14.00, rumah mereka sepi, karena Ibunya pergi mengantar makan siang untuk Ayah dan Kakaknya di pabrik. Alisha nekat mengajak Adrian ke rumahnya, karena tak ingin pria itu marah dan mengabaikan dirinya. Ck! Cinta bisa membuat seorang bodoh seketika. Alisha turun dari mobil Adrian, lalu melangkah cepat menuju teras rumah mengambil kunci yang biasa disimpan sang Ibu di bawah pot bunga. Gadis itu membuka pintu rumah kemudian menoleh ke mobil Adrian, memberi kode. Adrian mengembuskan napas kasar, bergegas turun dari mobilnya. Pria itu berjalan dengan langkah lebar menuju teras rumah Alisha di mana gadis itu sudah menunggunya. Kemudian Adrian menutup pintu di belakangnya tak lupa dia juga menguncinya terlebih dahulu. Alisha berjalan ke arah tangga menuju lantai atas di mana letak kamarnya berada, Adrian mengekor di belakang gadis itu. Sampai di kamar, Alisha telah berdiri di sebelah ranjang menunggu kekasihnya. Pria yang kini beranjak delapan belas tahun itu menelan saliva ketika melangkah pelan menghampiri gadisnya. Tanpa pikir panjang lagi, Adrian pun mulai memagut bibir Alisha kasar, melanjutkan hasratnya yang sempat tertunda tadi. Waktu begitu cepat berlalu, tak sadar keduanya sudah berada di ranjang melakukan hubungan terlarang mereka yang kali ke dua. Usai menuntaskan hasratnya Adrian mengecup kening Alisha dan bangkit dari posisi berbaringnya. "Aku pulang ya," ucap Adrian. Alisha mengangguk, masih berbaring sembari menutup wajah dengan kedua tangannya. Pria itu buru-buru memunguti pakaian yang berserakan di bawah ranjang, bergegas mengenakannya kembali. Setelah itu Adrian melangkah keluar dari kamar Alisha dengan cara mengendap-endap. Alisha membuka wajahnya ketika mendengar suara mesin mobil dinyalakan dan berlalu meninggalkan halaman rumahnya. Gadis itu pun bangkit terduduk, kemudian menyesali perbuatannya. Kejadian sebulan lalu ketika di rumah pria itu pun terulang kembali. Gadis itu menuruni ranjang, membelit tubuhnya dengan selimut, lalu ke kamar mandi yang berada di luar kamar. Sore harinya Alisha izin keluar untuk membeli camilan di mini market depan kompleks perumahannya. Padahal, tujuan utamanya adalah apotek, karena tadi siang Adrian tidak menuruti kemauannya untuk mampir ke toko obat itu. Alisha memarkir kendaraan roda duanya di depan pelataran apotek. Jantungnya berdegup kencang. Kegugupan mulai menyerang dirinya. Gadis itu merasa ragu untuk mendorong pintu kaca yang ada di depannya. Seorang wanita paruh baya mendorong pintu dari dalam berniat untuk keluar. "Mbak mau masuk?" tanya wanita itu ingin tahu. Alisha hanya membalas tergagap, "I-iya, Bu." Alisha pun kini telah berada di dalam ruangan ber-AC itu. Akhirnya dia pun menggiring langkahnya menuju konter obat yang hanya berjarak 3 meter dari pintu masuk, seorang wanita sudah menantinya dengan senyum ramah. "Ada yang bisa saya bantu, Kak?" tanya si apoteker ramah. "Um, saya ingin membeli obat sakit kepala," ucap Alisha pelan seraya menyebutkan merk obat yang dimaksud. Wanita itu mengambilkan obat yang disebutkan Alisha, dan menaruhnya di atas konter kaca. "Ada lagi, Kak?" Tiba-tiba saja bibir gadis itu kelu untuk menyebutkan benda yang ingin dibelinya. "Oh, iya. Saya lupa pesanan Kakak, sebentar saya chat dia dulu," ucap Alisha berbohong. Wanita itu tersenyum ramah. "Baik, Kak. Silakan." Alisha membuka ponselnya dan berpura-pura tengah mengirim chat dengan seseorang. "Ah! Ternyata Kakak saya memesan alat test pack, Kak," ucap Alisha. "Mau yang merk apa?" "Merk apa saja yang paling akurat?" "Semuanya akurat kok, hanya saja banyak yang membeli berbagai merk untuk memastikan hasilnya sama," terang wanita apoteker tersebut. "Baiklah, saya pilih salah satu saja," ucap Alisha. Setelah membayar Alisha bergegas meninggalkan tempat itu, tak lupa dia mampir sebentar ke mini market yang kebetulan juga masih satu bangunan dengan apotek tersebut. Setelah membeli semua yang dia butuhkan, Alisha memacu motornya untuk kembali ke rumah. Tak sampai lima belas menit gadis itu sudah tiba di depan rumah. Kendaraan roda empat milik sang Ayah sudah terparkir manis di garasi rumah mereka. Alisha melirik jam di ponselnya, pukul 17.20 WIB. "Pantas saja," ucapnya membatin. Alisha membuka pintu depan, lalu berniat langsung naik ke kamarnya. Namun nahas, sang Ayah memanggil dirinya ketika akan menaiki tangga. "Sha, dari mana?" tanya Sofyan dari ruang makan. "Habis keluar beli camilan," jawabnya seraya mengangkat kantong belanjaan. "Ayah bawa bolu cokelat kesukaan kamu, nih," ujar Sofyan. Mau tak mau gadis itu pun menghampiri Ayahnya yang tengah menikmati kopi hitam dengan ditemani bolu cokelat kukus. Ketika indra penciumannya menghidu aroma kopi sang Ayah, entah kenapa dia langsung menginginkan kopi saat itu juga. Alisha meraih cangkir yang masih mengepulkan uap panas itu dan menyesapnya tanpa izin pada si pemilik. "Lho, lho! Itu kan kopi Ayah, Sha," protes Sofyan, sedikit terkejut ketika anak gadisnya meneguk kopi miliknya. "Maaf, Yah, Sha pengen coba aja tadi," ucap Alisha menyesal. "Kalau mau buat sendiri, Sha," titah Widya, Ibunya. "Gak, Bu. Sha mau ke kamar aja, ada tugas yang belum dikerjain," elak Alisha, lalu melangkah ke arah tangga. Tiba di kamarnya, Alisha segera menutup pintunya dan melangkah ke ranjang untuk membongkar kantong belanjaannya. Gadis itu mengambil plastik putih kecil yang berisi obat dan alat test pack yang dibelinya tadi. Alisha membaca aturan pakai yang tertera dipembungkus benda itu. "Paling akurat gunakan setelah bangun tidur di pagi hari," ucapnya mengulang apa yang dia baca tadi. Pukul 05.00 WIB. Suara musik berbunyi nyaring melalui ponsel Alisha yang dia letakan di samping bantalnya. Semalam setelah dia berbalasan chat dengan Adrian, dia memutar alarm agar tidak telat bangun pagi. Alisha bergegas bangun dan langsung menuju toilet yang berada di luar kamarnya. Gadis itu mengambil wadah untuk mengisinya dengan air seni miliknya. Setelah itu dia mencelupkan benda yang dia beli kemarin ke dalam wadah itu. Gadis itu duduk di atas kloset duduk menunggu dengan harap-harap cemas. "Semoga negatif, semoga negatif," ucapnya berulang-ulang seperti mantera. Alisha memejamkan mata ketika akan melihat hasilnya. Tangannya mengarah di depan matanya yang terpejam, lalu mulai menghitung dalam hati, "1 ... 2 ... 3!" Mata gadis itu terbuka perlahan, seketika tubuhnya lemas dan jatuh terduduk di lantai kamar mandi yang dingin. Mungkin kehadiran janin dalam perutnya bisa dikatakan suatu kebahagiaan bila dia sudah menikah dan menjadi seorang istri. Namun, yang dia rasakan saat ini adalah semacam aib untuk keluarganya. Bahkan bisa menghancurkan masa depannya. Alisha menangis dengan suara tertahan, masih di dalam kamar mandi. Dia harus membicarakan masalah ini dengan Adrian secepatnya. Gadis itu bangkit dari duduknya dan membawa serta alat test pack itu ke kamarnya. Langit masih terlihat gelap di luar sana, ketika Alisha kembali mengendap masuk ke kamarnya. Di lantai atas memang hanya ada kamarnya sendiri sedangkan Revan, Kakaknya, menempati kamar di lantai bawah begitu juga dengan kedua orang tuanya. Alisha menelungkup di ranjang sembari memikirkan rencana untuk membahas kehamilannya. Dia menyesal menuruti hawa nafsunya, seharusnya dia bisa lebih hati-hati dalam bergaul. Selama ini banyak yang menilai dirinya adalah gadis pendiam dan tidak banyak tingkah di sekolah maupun di rumah. Tetapi, semua penilaian itu akan terpatahkan setelah mereka mengetahui aibnya ini. Alisha mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Akan tetapi, dirinya enggan untuk bangkit dari tidurnya. "Alisha, sudah jam enam!" teriak Widya dari luar kamar Alisha. Lalu, berbalik ke arah tangga menuju dapur untuk melanjutkan membuat sarapan. Sekitar tiga puluh menit kemudian, tidak ada tanda-tanda anak gadisnya itu untuk turun. Biasanya sebelum mandi Alisha akan turun ke dapur sekadar menyapa sang Ibu sekalian mengambil air minum. Setelah menuang sayur ke dalam mangkuk, Widya pun kembali ke atas untuk memastikan putrinya. Kembali Widya mengetuk pintu kamar Alisha, dan kali ini masih sama tidak ada sahutan. Wanita berusia empat puluh tahun itu pun mencoba menekan handle pintu. Suasana kamar Alisha masih tampak temaram karena gadis itu sudah terbiasa tidur dengan lampu yang sedikit redup. Widya melangkah ke arah jendela dan menggeser tirainya hingga cahaya mentari pagi menembus masuk ke ruang kamar Alisha. Alisha masih meringkuk di dalam selimut tebalnya. Gadis itu baru menyadari sang Ibu sudah berada di kamarnya, sepertinya tubuhnya terserang demam subuh tadi setelah melakukan test urine. "Kamu sakit, Sha?" tanya Widya seraya mengusap kening Alisha. "Eng ...." "Ya, sudah. Hari ini izin dulu saja, sebentar Ibu buatkan teh hangat," ujar Widya sembari melangkah keluar kamar. Setelah kepergian Ibunya ke dapur, Alisha mencari benda pipih yang dia taruh di sebelah bantalnya. Dia ingin menghubungi Irish, memberitahukan bahwa hari ini dia tidak masuk. Selanjutnya dia juga menghubungi Adrian untuk mengajaknya bertemu segera. [Aku gak bisa bolos hari ini, Sha. Ada ujian harian.] [Tapi, ini penting, Dri.] [Kita ketemu sore, ya. Setelah aku latihan basket sama anak-anak.] [Oke.] Alisha menutup ponselnya bertepatan dengan Ibunya yang masuk ke kamarnya seraya membawa nampan berisi roti tawar dan segelas teh hangat. "Sha, ayo, sarapan dulu." Widya menaruh nampan di nakas, lalu duduk di pinggiran ranjang. Alisha bangun dan mencoba untuk duduk bersandar di kepala ranjang. Kepalanya terasa pening dan pandangan mengabur. "Kita ke Dokter Hanin, ya," kata Ibunya menyarankan. Mata Alisha seketika terbelalak mendengar Ibunya berkata Dokter. "Gak, Bu. Alisha gak pa-pa, kok," kilahnya. "Gak pa-pa, bagaimana, Sha? Wajah kamu udah pucat begitu," decak Widya sedikit kesal. "Beneran, Bu, Sha gak apa-apa, kok." Lagi, Alisha berkilah agar sang Ibu percaya dan tidak membawanya ke Dokter langganan keluarga mereka. "Ya, udah. Dimakan rotinya, lalu dihabiskan tehnya. Setelah itu minum obat!" titah Widya tegas. Sore harinya, pukul 15.00 WIB. Alisha mengendap-endap menuruni tangga, kepalanya celingukan ke segala arah. Dia sudah janjian dengan Adrian akan bertemu di taman kota. Gadis itu sudah mencapai di pintu depan. "Alisha?" Suara sang Ibu mengurungkan niatnya ketika akan memutar anak kunci. Gadis itu menoleh ke belakang. "Mau ke mana?" tanya Widya. "Sudah enakan?" "Sudah, Bu. Mau ketemu Irish sebentar." Entah sudah berapa banyak kebohongan yang dia lakukan selama ini. "Oh, ya sudah. Hati-hati," pesan Ibunya, Alisha pun mengangguk langsung membuka pintu dan melangkah keluar. Gadis itu berjalan sekitar 300 meter dari rumahnya menuju pangkalan ojeg yang berada di depan pos penjagaan. Setiba di sana Alisha pun langsung naik ketika ada salah seorang yang menawarkan jasanya. Sekitar lima belas menit Alisha sudah berada di taman kota. Gadis itu mencari kursi taman untuk menunggu Adrian. Namun, kursi taman sudah banyak dipakai orang sehingga gadis itu memilih gazebo kecil yang agak sepi karena letaknya terlalu ke dalam taman. Alisha membuka ponselnya dan mencari kontak Adrian. Kemudian gadis itu menekan ikon hijau bergagang telepon. Tak lama panggilannya pun tersambung. "Halo?" "Di mana?" "Sebentar, lagi nyari tempat parkir." "Aku di gazebo taman." "Oke!" Alisha kembali memasukan ponselnya ke dalam tas selempang yang dikenakannya. Gadis itu berjalan mondar-mandir sambil menggigiti kuku tangannya, gelisah. "Sha?" Suara panggilan di belakangnya membuat gadis itu menghentikan kegiatannya yang tengah sibuk bergerak ke sana-ke mari sejak tadi. Adrian mengecup pucuk kepala Alisha begitu pria itu berdiri tepat di hadapan gadis itu. "Ada apa?" tanyanya. "Dri ...," ucap gadis itu sedikit takut. "Hm?" Pria itu menyahut, masih menunggu. "Dri, aku ... hamil," kata Alisha lirih. Adrian diam terpaku. Wajah pria itu berubah menyiratkan sebuah tanda terkejut dan entah, Alisha tidak bisa menggambarkannya. "Kau bercanda, kan?" ucap Adrian setelah diam beberapa menit mencerna ucapan Alisha. "Untuk apa aku bercanda? Tidak mungkin hal segenting ini aku buat gurauan, Dri," tukas Alisha dengan mimik serius. "Tapi, Sha. Ah, sial!" umpat Adrian memutar tubuhnya membelakangi Alisha. "Kita hanya ...." "Apa kau ingin mengelak, Dri? Atau menuduhku telah bermain api di belakangmu, begitu?" "Bukan begitu, Sha." "Kau masih ingat kan apa yang kita lakukan bulan lalu di rumahmu, dan kemarin di rumahku?" ungkap Alisha mengingatkan Adrian kalau-kalau kepala pria itu terbentur dan mendadak amnesia. "Sha?" panggil Adrian seraya kembali memutar tubuhnya ke hadapan Alisha. Alisha memandang pria di depannya dengan banyak harapan positif. "Kita masih sekolah, empat bulan lagi kita bakal ujian kelulusan." Perasaan Alisha mulai tak enak. "Aku juga masih ingin melanjutkan kuliah." "Tidak ada yang melarang bila kau ingin kuliah, Dri. Begitu pula aku, ingin kuliah di universitas favoritku," balas Alisha cepat. "Itu sebabnya, Sha." "Tak apa, kita bisa menikah secara agama dulu, Dri." "Tidak, Sha. Bukan seperti itu!" ucap Adrian gusar. "Lalu?" "Sha, demi masa depan kita ..." Adrian menggenggam jemari tangan Alisha. "Sebaiknya gugurkan bayi itu." Alisha melepas genggaman tangan Adrian dan menjauh dari pria itu. Bersamaan dengan langit sore yang tadinya cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung. "Kau ...." Alisha menggeleng tak percaya dengan ucapan pria itu barusan. "Sha, Papa dan Mamaku pasti tak akan suka bila mendengar kabar ini," ucap Adrian sembari memangkas jarak. "Kau pikir ayah dan ibuku tidak malu?!" teriak Alisha. "Itu sebabnya, Sha!" Kembali pria itu berucap. "Tidak, aku tidak akan melakukannya!" seru Alisha tegas. "Sha, pikirkan masa depan kita. Please," ucap Adrian memohon. "Kau b******n!" maki Alisha dengan suara tertahan. "Sha, aku akan tetap mencintaimu. Tolonglah." Kembali Adrian memohon. Alisha menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pikirkan lagi, Sha." "Kau yang harus berpikir! Bisa berbuat harus bersedia bertanggung jawab!" tekan Alisha. "Terserah apa katamu, yang jelas aku ingin kau menggugurkan bayi itu. Pikirkan lagi, Sha!" Hati gadis itu mulai merasakan antara marah, benci, kesal, dan muak oleh pria yang selama ini dia harap bisa menjaga dan dipercayainya. "Hubungi aku bila kau berubah pikiran, Sha." Adrian meninggalkan Alisha sendirian di gazebo taman itu. Alisha jatuh terduduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Mungkin ada benarnya ucapan Adrian, masa depan mereka masih bisa diselamatkan. Tapi .... ** Taksi yang ditumpangi Alisha berhenti tepat di depan rumahnya. Hujan deras mengguyur ketika gadis itu masih berada di taman kota tadi. Beruntung masih ada driver yang mau menerima orderannya. Setelah membayar, Alisha turun dengan langkah cepat untuk bisa sampai ke teras rumah. Gadis itu masuk ke dalam rumah dengan pakaian yang hampir basah. "Alisha apa ini?!" Alisha berdiri terpaku ketika sang Ayah menunjukkan alat test pack yang dipakainya tadi pagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN