Flashback 3 (end)

2135 Kata
Alisha menatap nanar pada benda yang saat ini tengah dipegang oleh Ayahnya. "Apakah aku melupakan benda sialan itu?" batinnya merutuk. "Apa ini milikmu, Alisha?" tanya Sofyan dengan suara rendah. Alisha masih bergeming di tempatnya berdiri dengan kepala tertunduk. Tubuhnya menggigil kedinginan akibat baju yang basah dan suasana yang tegang. "Mungkin itu punya temannya, Yah," sela Revan yang muncul dari arah dapur. "Benar begitu, Alisha?" tanya Sofyan lagi, kali ini suaranya sedikit lebih keras. "Alisha?" panggil Revan. Gadis itu mengangkat wajahnya yang telah dibanjiri oleh air mata. "Kurang ajar!" Sofyan menghampiri putrinya dengan langkah cepat. "Yah!" teriak Widya terkejut dengan apa yang baru saja dilakukan oleh suaminya terhadap putri mereka. Pipi kiri Alisha terasa panas akibat tamparan yang baru saja dilayangkan oleh sang ayah. "Anak tidak tahu diuntung! Bikin malu!" Kembali Sofyan melayangkan pukulan bertubi-tubu ke tubuh Alisha. Gadis itu tidak melawan, hanya suara tangis pilu yang keluar dari bibirnya. "Hentikan, Yah!" Revan mencoba melindungi Alisha dari amukan sang Ayah yang tengah dikuasai amarah. Widya menutup wajahnya dengan kedua tangan, tidak sanggup melihat pemandangan yang terjadi di depan matanya. "Ya, Tuhan. Apa salah dan dosa hamba?" ucap Widya sesenggukan. Revan masih berusaha melindungi Adiknya dari pukulan-pukulan yang dilayangkan Ayahnya ke tubuh Alisha. "Cukup, Yah!" teriak Revan di tengah suara tangis Ibu dan Adiknya. "Aku sudah ingatkan, jangan pacaran dulu sebelum lulus. Lihat akibatnya!" Suara Sofyan menggelegar di tengah ruangan. Alisha meringkuk kedinginan di lantai ruang tamu. Gadis itu merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Dia pasrah. Sofyan meninggalkan ruang tamu menuju ruang kerjanya dengan perasaan yang masih dikuasai oleh emosi yang meluap-luap. Terdengar suara pintu di banting dengan kasar. Widya masih menangis sesenggukan di sofa, dia tak menyangka kejadian buruk yang selama ini dia tekankan pada putrinya malah menjadi bumerang. "Sha, bangun. Pindah ke kamar, yuk," ajak Revan seraya mengusap lengan adiknya. Alisha mencoba bangkit dari duduknya, tapi rasa nyeri menjalar di seluruh bagian tubuhnya. Revan mengangkat tubuh Alisha dan membawanya ke lantai atas di mana kamar gadis itu berada. Revan merebahkan tubuh adiknya di ranjang. Kemudian duduk di pinggiran tempat tidur dengan mengusap lembut tangan Alisha. Terdapat banyak memar di lengan adiknya, bahkan di pipi gadis itu pun sudah merah kehitaman akibat tamparan Ayahnya tadi. "Abang ambil air hangat dulu ya, buat kompres," ucap Revan seraya berlalu dari kamar Alisha. Alisha kembali mengeluarkan tangisnya. Dia menyesali perbuatannya yang tak mungkin bisa dimaafkan. Dia telah mengecewakan orang tuanya dan Kakak yang selalu mendukungnya. Tak lama, Revan kembali dengan membawa air hangat di wadah dan kotak obat. Alisha merasa kotor di hadapan sang Kakak, dia malu. "Kenapa?" tanya Revan yang sejak tadi memperhatikan dirinya. "Abang gak marah, gak kecewa?" tanya Alisha. "Marah, kecewa, itu pasti. Tapi, mau bagaimana lagi, toh, sudah terjadi," balas Revan tenang tanpa emosi. "Kejadian ini sangat disayangkan bukankah empat bulan lagi kamu mau ujian kelulusan?" Alisha pun memikirkan hal itu, dan semakin menyesali akan perbuatannya. "Siapa laki-laki itu, Sha?" tanya Revan kemudian, berusaha mencari tahu. Alisha bungkam. "Kalau kamu gak beritahu, bagaimana Abang bisa bantu, Sha," ucap Revan setengah kecewa. "Dia ...." Alisha pun memberi tahu siapa ayah dari janin yang dikandungnya oleh Revan. ** Keesokan harinya. Alisha menghapus peluh yang membasahi keningnya dengan telapak tangan. Ini kali ketiga dia mengalami mual atau biasa disebut dengan morning sicknes. Gadis itu menatap sendu pantulan wajahnya di depan cermin wastafel. Pucat dan memar. Di beberapa bagian tubuhnya juga masih merasakan sakit akibat hukuman yang dia terima dari ayahnya. Sejak semalam hingga kini, alisha pun belum berbicara dengan ibunya. Mungkin ibunya muak melihatnya. Alisha menutup pintu kamar mandi, lalu masuk ke kamarnya. Tadinya dia ingin ke dapur karena perutnya lapar belum terisi makanan sejak tadi malam, tapi dia urungkan. "Ibu?" Alisha terkejut begitu melihat sang Ibu tengah duduk di ranjangnya. Widya menoleh ke arah pintu di mana putrinya berdiri dengan wajah pucat, mata bengkak, dan memar di pipinya. Hatinya teriris, bagaimana mungkin dia membiarkan putrinya menanggung semua itu seorang diri. Sedangkan dirinya sejak semalam sama sekali tidak menanyakan apa pun, bahkan menemaninya menangis atau paling tidak memberikan pelukan sebagai support. Tentu dia pun merasakan kekecewaan yang luar biasa dalam masalah ini. Anak yang dia banggakan selama ini telah mencoreng wajahnya dengan kotoran. Sungguh dia merasa malu dan sangat terhina. Apa lagi dia seorang ketua PKK di lingkungan ini. "Sarapan dulu, Sha," ujarnya datar tanpa ekspresi seraya bangkit dari duduknya. Alisha melangkah pelan ke ranjang, duduk di tepi ranjang. Bibirnya kelu, air matanya menetes ke pipinya. "Ini," ucap Ibunya menyodorkan piring berisi nasi dan lauk pauk. Gadis itu meraih piring yang ibunya sodorkan dengan tangan bergetar. Air matanya masih mengucur deras, tangisnya pun semakin sesenggukan. "Makan, Sha, kasihan 'dia' perlu nutrisi," ucap Widya pelan. Alisha memasukan sesendok nasi ke mulutnya dengan air mata berlinang. Karena tak tega dengan keadaan sang putri, Widya pun duduk di sebelah Alisha dan memeluknya. Keduanya menangis. Menangisi takdir. Sore harinya. Sofyan masuk ke rumah dengan wajah penuh emosi, tak berbeda dengan Revan yang menyusulnya di belakang. "Kurang ajar!" makinya kesal. Revan menyandarkan tubuhnya di sofa seraya memejamkan matanya, lelah. "Ya, Tuhan bagaimana dengan nasib Adiknya?" batin pria berusia dua puluh tahun itu. Widya berjalan tergopoh-gopoh menghampiri suami dan putra sulungnya yang baru saja pulang. "Ada apa? Bagaimana?" tanya Widya penasaran. "Tidak ada siapa pun di rumah itu. Penjaga bilang pria b******k itu sudah di bawa ke luar negri untuk pengobatan," ucap Sofyan geram. "Pengobatan apa?" tanya Widya lagi tak paham. "Entahlah," balas Sofyan tak acuh. "Apa tidak ada cara lain?" "Cara lain apa? Lapor polisi maksudmu?" tanya Sofyan marah. "Lalu, bagaimana dengan Alisha?" "Gugurkan saja kandungannya!" titah Sofyan tanpa pikir panjang. "Dia sudah melakukan dosa, mengapa harus ditambah dengan dosa lagi," ucap Widya menangis pilu. Membayangkan putrinya, membuat dirinya sesak. "Mau bagaimana lagi, Bu? Apa kita siap menanggung malu?" Alisha yang menguping pembicaraan orang tuanya, hanya mampu menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan menangis tertahan. "Kehamilan Alisha belum diketahui orang-orang, jadi kita bisa melakukannya diam-diam," saran Sofyan. Widya menangis sesenggukan dia tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Alisha kembali naik ke kamarnya. Gadis itu mengambil ponsel dengan cepat mencari kontak Adrian. Wajah gadis itu kembali ketakutan, sebab nomor yang selama ini dihubunginya sudah tidak lagi aktif. Gadis itu menggigiti kuku jari tangannya, gugup. Benar kata Ibunya, dia sudah berbuat dosa jangan ditambah lagi dosa dengan membunuh bayi yang tidak berdosa ini. Alisha memasukan beberapa barang yang mungkin dia butuhkan ke dalam tas ransel. Beruntung dia masih memiliki tabungan untuk berjaga-jaga. "Alisha!" Suara sang Ayah memanggilnya dari luar kamar. Alisha berdiri di samping ranjang, bersiap atas kemarahan sang Ayah, lagi. "Ayah sudah membuat keputusan. Kita akan menggugurkan kandunganmu." Alisha menggeleng. "Tidak, Yah. Aku tidak akan membunuhnya." "Berani membantah?" Sofyan berkata dengan penuh penekanan. Sofyan menyeret Alisha keluar kamar dengan paksa. Kembali gadis itu menangis, pilu. *** "Untuk masa lalu," ucap Alisha tajam. Tangannya merasa kebas setelah berhasil menampar pria yang sangat dibencinya. "Sha," panggil Karina di belakangnya. Alisha kembali berbalik menghadap Karina. "Tan, aku mohon usir dia dari sini. Jangan lagi Tante berurusan dengan laki-laki pengecut sepertinya!" kata Alisha penuh emosi. "Aku bisa jelasin semuanya, Sha. Please, dengerin aku," ucap Adrian memohon. "Gak ada yang mesti dijelaskan lagi, dan aku gak butuh penjelasan kamu. Tolong pergi dari sini!" usir Alisha menahan tangisnya. "Kita perlu bicara, Sha," mohon Adrian lagi. Alisha mengibas tangannya di depan wajah Adrian, seraya berjalan menuju kitchen. "Jadi, gadis kecil itu anak kita?" Pertanyaan Adrian membuat Alisha menghentikan langkahnya. Sontak wanita itu memberikan tatapan membu -nuh pada pria yang baru saja mengaku bahwa Kyara adalah putrinya. "Apa katamu? Anak kita?" tanya Alisha dingin. "Tidak ada anak kita. Tapi, anakku!" "Anakku juga kan?" Alisha tertawa mengejek mengingat pria itu dulu tak menginginkan janin yang dikandungnya. "Kuharap kepalamu tidak terbentur sepuluh tahun ini," ucap Alisha sarkas, lalu melanjutkan langkahnya. "Sha!" Adrian memanggil Alisha, tetapi gadis itu sudah lebih dulu masuk ke kitchen. Karina menahan Adrian yang akan menyusul Alisha ke dapurnya. "Apa yang akan kau lakukan?" tanya Karina dengan raut wajah berbeda sebagaimana awal dia bertemu dengan pria ini. "Tante, tolong saya, beritahu Alisha ba-" "Aku tahu siapa Alisha. Dia sudah melewati hidup yang berat sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, aku mohon jangan menambah bebannya lagi," ucap Karina pelan tapi tegas. "Tan, saya ingin menebus kesalahan di masa lalu. Dia tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya karena keluarga saya menutupinya." Karina hanya tahu kalau pria di depannya ini meninggalkan Alisha tanpa kepastian, itu yang diceritakan oleh gadis itu padanya. ‘Apa pria ini pantas diberi kesempatan?’ batinnya berperang. "Pergilah dulu, nanti aku akan coba membujuk Alisha untuk memberimu kesempatan menjelaskan semua yang tidak dia ketahui," ucap Karina diplomatis. Karina tahu dia tidak boleh gegabah dalam masalah yang tidak dia ketahui bagaimana awalnya. Dia harus hati-hati. "Baik, Tan. Terima kasih," balas Adrian seraya berlalu dari hadapan Karina. Karina menyerahkan toko pada Rusi dan Raina, lalu menemui Alisha di lantai atas. Alisha sudah berganti pakaian dan saat ini gadis itu sedang duduk termenung di sofa sebelah Kyara yang tengah menyaksikan tayangan di televisi. Alisha memejamkan mata, perih, mengingat kembali penderitaan yang dia alami dulu sebelum bertemu dengan Karina. "Sha, kau tidak apa-apa?" tanya Karina dengan raut khawatir. Gadis itu menggeleng. Lalu, bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah kamar. Karina mengikuti langkah Alisha menuju kamarnya. Alisha duduk di tepi ranjang dan menatap Karina. Dia tau, kalau Ibu angkatnya itu sudah paham dengan yang terjadi. Karena dulu Alisha sudah menceritakan semuanya. "Bagaimana perasaanmu, Sha?" "Sha, gak menyangka akan bertemu dia lagi setelah sepuluh tahun, Tan," ucap Alisha dengan suara rendah. "Namanya hidup, Sha. Kita pasti bakal bertemu dengan orang-orang yang pernah hadir di masa lalu kita. Entah di dunia nyata atau pun hanya di dalam mimpi." Ya, benar. Alisha menyetujui ucapan Ibu angkatnya. Tapi, hatinya masih tidak menerima kehadiran pria itu, dengan atau tanpa penjelasan apa pun. Dia tidak ingin mendengarnya. Dia sudah susah payah menata hatinya untuk baik-baik saja. Namun, dengan kehadiran pria itu, apakah hatinya akan bisa baik saja? "Tenangin diri kamu dulu, Sha." Karina menepuk pundak Alisha pelan memberi semangat. Kemudian melangkah keluar kamar. Alisha memandang pigura di mana foto dirinya bersama Kyara ketika gadis kecil itu masih berusia satu bulan. Saat itu dia hampir saja mengalami baby blues parah, beruntung Karina selalu mendampinginya dulu, sehingga dia masih bisa terselamatkan. Peran Karina sangat besar dalam hidupnya, entah apa yang akan terjadi padanya bila malam ketika dia kabur dari rumah tidak bertemu dengan wanita berhati malaikat itu. ** Pertemuannya kembali dengan Alisha menimbulkan euforia dalam d**a pria itu. Adrian bertekad akan mencoba memperbaiki semua kesalahan yang dia timbulkan di masa lalu akibat ulahnya. Pantas saja pertama kali bertemu dengan gadis kecil yang tidak sengaja ditabraknya beberapa hari lalu, dia seperti melihat Alisha secara nyata. Wajah gadis kecil yang bernama Kyara itu benar-benar mirip, dari mulai hidung, mata, dan bentuk wajah Alisha. Tebakannya tidak meleset. "Adrian," sapa sang Mama yang melihatnya berjalan masuk ke rumah. "Ma." Adrian tiba-tiba mendekap Sofia, sehingga membuat wanita itu heran. "Ada apa, Dri?" tanya Sofia masih dengan raut wajah yang menunjukan keheranan. Pasalnya putranya ini jarang sekali mau memeluknya bila tidak ada acara atau semacamnya. "Ma, aku telah menemukannya," ucap Adrian dengan nada ceria. "Menemukan siapa? Bicara yang jelas!" omel Sofia kesal. "Cucu Mama." "Jangan aneh-aneh, Dri. Ingat kamu sudah bercerai dengan Tania, bukankah kamu sendiri yang mengatakan kalau mantan istrimu itu mandul," ujar Sofia mengingatkan. Dia masih kesal dengan keputusan putranya yang telah menceraikan Tania, yang merupakan putri sahabat suaminya. "Ini tidak ada hubungannya dengan Tania, Ma." "Lalu?" Sofia mengerutkan keningnya. "Mama ingat dulu kapan terakhir ketika Adrian, kecelakaan." Sofia mengingat-ingat kapan putranya itu mengalami kecelakaan. "Terakhir kali kamu kecelakaan itu waktu ... kamu masih sekolah kan?" tanya Sofia memastikan. Adrian mengangguk. "Ingat gak, apa yang aku katakan ke Mama sebelum aku gak sadarkan diri selama beberapa hari itu?" Sofia tak ingin kembali mengingat ucapan putranya dulu yang memintanya untuk menemui seorang gadis yang telah mengandung bayinya. Itu sebabnya dia menyuruh pelayan dan penjaga di rumahnya untuk mengusir orang tua gadis itu ketika datang ke rumahnya. "Ma?" panggil Adrian lembut. "Ah! Mama tidak ingat, Dri. Itu sudah lama sekali," ucap Sofia berbohong. ‘Mengapa putranya tiba-tiba menanyakan hal itu?’ tanya Sofia membatin. "Mama sama Papa sudah lama menginginkan cucu, kan?" tanya Adrian dengan mata berbinar. "Memang benar, tapi ...." Sofia merasa ragu dengan kabar yang akan dia terima dari putranya itu. "Aku akan memberikan cucu untuk Mama, cucu yang cantik." Sofia terhenyak dengan ucapan putranya dan semakin tau ke mana arah pembicaraan ini. "Adrian cepat katakan jangan berputar-putar!" seru Sofia tak sabar dengan kabar yang akan didengarnya. Akhirnya Adrian pun menceritakan awal pertemuannya dengan gadis kecil yang ternyata adalah putri kandungnya itu. "Kenapa kau bisa yakin kalau gadis kecil itu cucu Mama?" tanya Sofia skeptis. Dia tidak yakin dengan ucapan putranya. "Karena Adrian sudah menemukan Alisha, dan gadis kecil itu adalah bayi yang dikandung Alisha dulu, yang pernah aku tak inginkan kehadirannya." Sofia menggeleng cepat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN