Kehangatan yang canggung

2150 Kata
"Kenapa, Ma?" tanya Adrian bingung menatap ekspresi yang diberikan oleh sang Mama. "Kamu gak benar-benar akan menikahi wanita itu, kan?" tanya Sofia skeptis. "Aku hanya ingin menebus kesalahan masa lalu, Ma. Dia berpisah dari keluarganya, karena aku." Adrian kembali mengingat sore terakhir dia bersama Alisha di taman. "Tapi, Dri. Tak perlu menikahinya cukup kamu ambil hak asuh anaknya saja. Bisa?" Alisha pasti tidak akan mengizinkan dia mengambil hak asuh Kyara begitu saja, jadi pria itu memutuskan untuk menebus kesalahan di masa lalu dan berniat menikahinya. "Gak, bisa, Ma. Adrian tetap akan melamar Alisha," ucap Adrian meyakinkan. "Kenapa Mama keberatan?" Sofia mengembuskan napas pendek. Entah mengapa Sofia tidak terlalu menyukai wanita yang disebutkan oleh putranya, padahal mereka tidak pernah bertemu sama sekali. Dia hanya menilai kalau wanita bernama Alisha itu bukanlah wanita baik-baik. “Ma, dia bisa ngasih cucu buat Mama nantinya,” kata Adrian meyakinkan sang Mama. Akan tetapi, Sofia sama sekali tak menjawab hanya menatap putranya dengan tatapan menyesal. *** "Apa Oma dan Opa baik?" Kyara mendongak menatap Alisha ketika mereka sudah berada di taksi online yang akan membawa keduanya ke rumah orang tua Alisha. Alisha menoleh ke arah Kyara yang duduk di sebelahnya. "Tentu saja, mereka baik. Mama yakin banget kalau ketemu mereka, nanti Kyara bakal langsung di sayang." "Masa sih," ucap gadis kecil itu polos. Mungkin dia tidak percaya dengan apa yang sang Mama katakan barusan, karena di usianya yang kini menginjak sembilan tahun dia sama sekali tidak pernah tau kalau masih memiliki saudara. Selama ini yang dia tau dan paling dekat dengannya hanya Alisha, Karina, Evan, dan Rusi. Hanya mereka dan tidak ada lagi. "Mereka adalah orang-orang yang baik, Sayang. Kau akan diterima dengan penuh kasih sayang di sana," kata Alisha seraya membayangkan sikap lembut dan baik hati Ibunya. Kyara hanya mengangguk kecil dan menatap lurus ke depan. Semoga saja apa yang dikatakan mamanya benar. Alisha berdoa semoga niatnya membawa Kyara ke rumah orang tuanya dapat meluluhkan hati ayahnya yang masih menyimpan kekecewaan pada dirinya. Setelah tiga puluh menit, taksi online yang ditumpangi Alisha dan Kyara berhenti di depan rumah berlantai dua yang halamannya ditumbuhi oleh berbagai tanaman hias yang tumbuh subur hasil dari tangan sang Ibu. Setelah membayar tagihan, Alisha mengajak Kyara untuk segera turun. Kepala gadis kecil itu memutar ke segala arah untuk mencoba mengenali tempat yang baru pertama kali dikunjunginya. "Ayo, kita ke teras!" ajak Alisha seraya menggandeng tangan putrinya. Alisha mengetuk pintu jati berwarna cokelat di depannya. Tiba-tiba perasaan gugup mulai menguasai dirinya, padahal sejak di rumah tadi dia sudah menyiapkan diri sebaik mungkin. Kyara merasakan genggaman tangan sang Mama mulai dibasahi keringat. "Ma?" panggil Kyara pelan bertepatan dengan suara kunci yang diputar dari dalam rumah. Cklek. Pintu jati di depan mereka terbuka dan menampilkan sosok wanita dengan sorot kelembutan. "Alisha,” sapa Widya. “Ini ... Kyara, kan?” Widya tercengang begitu melihat siapa yang tengah berdiri di hadapannya, putrinya tidak datang sendiri melainkan bersama cucu pertamanya. Wanita itu langsung merengkuh tubuh kecil itu ke dalam dekapannya. Kyara sedikit terkejut dengan apa yang dilakukan oleh wanita di depannya. "Cucu, Oma," kata Widya dengan mata yang sudah berkaca-kaca setelah mengurai pelukan. Kyara pun membalas dengan senyuman polosnya. "Ayo, masuk-masuk!" ajak Widya sembari menggandeng lengan Kyara. Alisha mengekor di belakang Ibu yang tengah menggandeng cucunya. Mereka duduk di sofa panjang ruang tamu, Alisha menaruh paper bag yang berisi cake buatannya ke meja di depannya. "Ya, ampun Sha! Lihat, sudah sebesar ini cucu Ibu," ujar Widya kembali antusias. "Kelas berapa sekarang, Sayang?" tanya Widya dengan suara lembut. "Kelas tiga, Oma," jawab Kyara tanpa ada rasa canggung. "Oalah! Oh, iya apa sudah sembuh sakitnya? Oma dengar dari mama, kamu sakit," ucap Widya lagi. Kyara mengangguk pelan. Widya kembali memeluk gadis kecil itu dengan sayang. Dia menyesali sembilan tahun yang terlewat. "Sebentar lagi, Opa sama Om pasti pulang mereka pasti senang liat kamu di sini." Kyara menoleh ke arah Alisha. Alisha membalasnya dengan mengangguk dan senyum tipis. "Sebaiknya Oma siapin makan siang dulu, biar kita bisa makan sama-sama nanti," ucap Widya seraya beranjak berdiri. "Sha, bantu ya, Bu," tawar Alisha yang langsung disetujui oleh Widya. "Kyara nonton TV saja di ruang sebelah, Sha," kata Widya lagi. Alisha mengantar Kyara ke ruang tengah setelah itu membantu Ibunya menyiapkan makan siang, karena di weekend ini Ayah dan Kakaknya biasanya pulang untuk makan siang. Sekitar tiga puluh menit kemudian Sofyan dan Revan tiba di rumah, kedatangan kedua pria tersebut dikejutkan dengan seorang gadis kecil yang tengah menonton TV sendirian. "Kyara, kan?" tanya Revan yang memang sudah mengenal keponakanya lebih dulu. Kyara mengangguk pelan. Ada sorot takut yang terpancar pada mata gadis kecil itu ketika melihat kehadiran dua laki-laki yang masih asing itu. "Siapa, Van?" tanya Sofyan, padahal feelingnya sudah menebak siapa gadis kecil itu karena sekali lihat wajahnya saja dia sudah dapat mengenalinya. Revan menoleh ke arah Sofyan. "Cucu Ayah." "Sini, Kyara salaman sama Opa," kata Revan seraya menggerakkan tangannya memanggil Kyara. Kyara menurut, lalu beranjak dari duduknya. Gadis kecil itu berdiri di depan Sofyan dengan perasaan takut-takut. Revan membelai kepala Kyara lembut. "Salim sama Opa, Ky," pinta Revan yang langsung dituruti oleh Kyara. Alisha yang akan memanggil Kyara untuk makan siang pun terkejut ketika mendapati Ayah dan Kakaknya sudah bertemu dengan putrinya. Ketika dia melihat Kyara tengah mencium takzim tangan sang Ayah pun, tak terasa matanya sudah berkaca-kaca. Tak masalah bila kehadirannya di rumah ini tidak disambut hangat oleh sang Ayah. Setidaknya ayahnya tidak membenci putrinya, itu saja sudah cukup untuk Alisha. "Sha?" panggil Revan yang melihat adiknya itu berdiri tepat di belakang tubuh ayahnya. Alisha tersenyum, Kyara langsung menghampiri sang Mama. "Makan siang sudah siap, Bang ... Yah," kata Alisha memberitahu. "Baik, Sha. Ayo, kita makan!" Revan menggandeng tangan Kyara menuju ruang makan yang masih menyatu dengan dapur. Alisha pun mengikuti langkah Kakak dan putrinya, sebelum meninggalkan ruangan itu dia menoleh ke arah ayahnya yang masih bergeming di tempatnya. Ada keraguan ketika dia ingin menyapa pria yang telah dikecewakanya itu, lalu Alisha pun memilih kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur menyusul kakak dan putrinya. Kemudian Sofyan memilih duduk di sofa yang tadi di duduki oleh Kyara, yang katanya adalah cucunya. Sebenarnya dia masih belum bisa menerima, selama sepuluh tahun ini sengaja dia mengesampingkan masalah tentang putrinya itu. Walaupun, istrinya sering menangis bahkan mengutarakan keinginannya untuk mencari keberadaan putri mereka dulu. Pria itu pun tau, kalau Revan, putranya, sudah mengetahui keberadaan Alisha. Namun, lagi-lagi dia menutup mata dan telinga seolah-olah tak mau peduli. Kekecewaan yang dia rasakan teramat besar begitupun dengan gengsi yang dia punya. "Lho, kenapa masih di sini?" tanya Widya menghampiri suaminya yang termenung di ruang TV. Sofyan mengembuskan napas lelah. "Kalian makan dulu lah, nanti aku menyusul," kata pria itu seraya mengambil remote kontrol dan memindahkan saluran TV. "Jangan begitu, Yah. Tidak enak dengan Kyara, nanti dia nanyain," ujar Widya mengingatkan. "Apa tidak senang dikunjungi cucu, Yah?" pancing Widya lagi. Sofyan tak menjawab. "Yah!" panggil Widya lagi karena tak mendapat tanggapan dari suaminya. "Ck! Berisik, Bu!" hardik Sofyan kesal. Widya cemberut, lalu melipat tangan di depan d**a. Merajuk. "Ya, sudah. Ayo, ayo kita makan," ujar Sofyan mengalah. 'Akhirnya!' batin Widya tersenyum senang. Keduanya melangkah ke meja makan bersama, tampak anak-anak mereka sudah menunggu di kursi masing-masing. Pemandangan ini mengingatkan pria paruh baya itu akan kenangan sepuluh tahun silam yang penuh dengan kehangatan. "Yah." Widya menelengkan kepalanya ke arah kursi suaminya, memintanya untuk duduk. Kyara memperhatikan gerak gerik dari pria yang di panggilnya 'Opa' itu, lalu menoleh ke arah mamanya dan kembali lagi ke arah pria itu. Dia merasa aneh. Alisha yang menyadari akan tingkah laku putrinya pun menegur dengan menggelengkan kepala. "Ayo, Kyara makan yang banyak," kata Widya dengan senyum merekah. Makan siang kali ini walaupun terlihat canggung, tapi terasa hangat karena satu keluarga kembali berkumpul bersama. Usai makan siang, Alisha kembali membantu ibunya membereskan dapur. Memang sejak lama ibunya tidak pernah memakai jasa asisten untuk membantunya di rumah. "Sha, ini kamu yang buat?" tanya Widya ketika memotong cake yang di bawa Alisha dari toko. "Iya, Bu. Cobain ya, enak gak?" "Siapa yang ngajarin kamu bikin cake, Sha? Padahal dulu aja kalau disuruh masak pasti ogah-ogahan," ejek Widya mengingat masa lalu. "Tante Karin, hebat bikin cake, Bu. Kalau dulu kan, Sha sibuk belajar jadi malas buat turun ke dapur, he-he ...." "Ibu harus banyak terima kasih sama Tante Karin nih, soalnya udah bikin putri Ibu dewasa dan pintar," puji Widya lagi. "Oh, ya. Ibu juga masih penasaran sama toko kue kalian, Sha. Kapan ajak Ibu ke sana? Nunggu Revan lama, dia sibuk pacaran," keluh Widya panjang lebar. "Sore ini kalau Ibu mau bisa ko," ucap Revan yang tiba-tiba muncul di dapur, padahal tadi pria itu berada di ruang depan bersama Kyara dan Sofyan. "Serius?" tanya Widya meyakinkan. "Iya, apa sih, yang gak buat Ibu." Revan duduk di kursi makan seraya mencomot cake yang baru saja dipotong-potong oleh Widya. "Enak," ucap pria itu. Alisha duduk di sebelah Revan, lalu menanyakan tentang kapan kakaknya itu menikah. "Nanti lah, Sha, masih banyak waktu," ucap Revan santai. Widya membawa cake itu ke ruang santai di mana suami dan cucunya berada. Sedangkan Revan masih mengobrol di dapur. "Abang udah 30 lho," kata Alisha mengingatkan. "Lalu?" "Kata Abang kalo, Sha, udah pulang mau nikah," ucap Alisha mengingatkan. "Iya, tapi kan calonnya belum ada. Ha-ha-ha ...," balas Revan tergelak. "Jadi, Abang jomlo dong," kata Alisha lagi. "Ya, gak masalah, nabung yang banyak dulu buat nafkahin anak orang," ujar Revan santai. "Apa kamu udah punya calon, Sha?" "Eh, gak. Sha, gak ada loh." "Kasihan, Kyara pasti butuh ayah, Sha." Alisha bergeming di tempatnya. "Dia suka nanyain ayahnya?" tanya Revan lagi. Alisha mengangguk pelan, tatapan wanita itu tertuju pada gelas yang berisi es teh manis di hadapannya. "Maaf, Sha. Bukannya Abang mau bikin kamu down," ucap Revan menyesal. "Kenapa Abang bilang begitu? Sha, gak apa-apa kok." "Serius?" Alisha mengangguk yakin, lalu wanita itu mengulas senyum tipis. Selama ini Alisha memang tidak pernah mendapat perlakuan atau ucapan buruk dari orang lain, karena yang mereka tau Kyara adalah anak dari Karina bukan dirinya. Karina mengurus semua kebutuhan Kyara dari mulai akta kelahirannya hingga sekolahnya. Dia tau untuk kedepannya pasti dia akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pengakuan hukum tentang putrinya. *** Menjelang sore Alisha dan Kyara berpamitan pulang, dengan sigap Revan menawarkan diri mengantar sang adik dan keponakannya pulang. Awalnya Alisha menolak, tapi ibunya memaksa biar mereka pulang di antar kakaknya. Widya memberi selembar uang berwarna merah pada Kyara, tapi gadis kecil itu ragu dan menoleh ke sang mama. Aisha pun mengangguk, memberi kode agar putrinya itu tidak menolak pemberian Oma-nya. "Terima kasih, Oma," ucap Kyara seraya menerima selembar uang tersebut dari tangan Widya. "Sama-sama, Sayang. Kapan-kapan nginap di rumah Oma ya?" bujuk Widya berharap cucunya itu tidak menolak. Kyara pun mengangguk, mengiyakan ajakan Oma-nya. Widya mengusap-usap kepala cucunya dengan sayang. Tadinya Widya sudah bersiap ingin mengantar Alisha pulang ke tokonya, namun Sofyan melarang dengan alasan tidak enak badan. Wanita itu yakin sekali kalau itu hanya akal-akalan suaminya saja. Beruntungnya Alisha sama sekali tidak kecewa dengan alasan ayahnya. "Kamu harus sering-sering bawa Kyara ke rumah ya, Sha, biar bisa akrab sama Oma dan Opa-nya," kata Revan mengingatkan adiknya. "Iya, Bang. Ini baru awal dan sepertinya Kyara juga senang," balas Alisha sembari menoleh ke kursi penumpang belakang. Kyara tengah fokus pada ponsel di tangannya. Mobil yang dikendarai Revan berhenti di depan toko kue milik Karina. Alisha dan Kyara turun lebih dulu, kemudian di susul oleh Revan. Ketika hendak masuk ke toko, Alisha dikejutkan dengan kehadiran Adrian yang sedang duduk di salah satu kursi yang sepertinya tengah menunggu kedatangan mereka. Alisha berjalan menggandeng Kyara menuju ke bagian kitchen tanpa memedulikan kehadiran lelaki itu. "Sha, Kyara," panggil Adrian. Karina yang baru saja keluar dari kitchen pun tampak kaget. Alisha tak menyahut panggilan lelaki itu. "Kyara, ini papa, Nak," kata Adrian yang sontak membuat Alisha menghentikan langkahnya. Kyara pun kebingungan. Adrian langsung berjalan menghampiri Alisha dan Kyara. Lelaki itu berdiri di depan dua perempuan yang dulu dia sia-siakan. "Sha, izinkan aku mengenal Kyara," mohon Adrian pada Alisha. Alisha masih bergeming di tempatnya berdiri. "Ma?" Kyara memanggil Alisha. Revan masuk ke toko dan tampak aneh melihat adiknya dengan ... sepertinya pria itu mengenal dengan lelaki yang berdiri di depan Alisha. "Adrian?" Adrian yang menoleh ke arah belakangnya dan mendapati Revan, kenalannya, berdiri terkejut. Revan menghampiri ketiga orang yang berhenti di tengah ruangan. "Abang kenal dia?" tanya Alisha pada kakaknya, dan Revan pun mengangguk. "Kenal baik?" tanya Alisha lagi. "Tidak, hanya sebatas kenal saja," balas Revan, masih menatap ke arah Adrian. "Ada apa?" "Abang gak tau, kalau dia yang udah hancurin hidup aku," kata Alisha lirih. Wajah Revan mengeras, dia tidak menyangka Adrian yang dia kenal adalah laki-laki yang selama ini pelaku di balik kehancuran keluarganya. Dia hanya mengenal Adrian seorang pekerja keras, mereka bertemu dan berkenalan di tempat gym sekitar satu tahun yang lalu. "Rev, gue bisa jelas-" Ucapan Adrian terpotong ketika kepalan tinju Revan bersarang di perutnya. "Abang!" teriak Alisha. Begitu pula dengan orang-orang yang ada di sana terkejut dan berteriak ketakutan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN