Vartan menutup panggilan itu dengan cepat, jantungnya masih berdegup keras. Tangannya gemetar di atas setir, mencoba fokus pada jalan yang terus melaju di depan. Namun tatapan Neva di sampingnya terasa lebih menusuk daripada sorot lampu jalan mana pun. Sejenak ia menoleh, dan benar saja—mata Neva memerah, rahangnya mengeras, bibirnya menipis menahan emosi. Ada amarah, ada luka, dan ada pertanyaan besar yang menuntut jawaban. “Sayang, aku bisa jelaskan.” Vartan berusaha membuka suara, tapi Neva langsung menoleh ke luar jendela, menahan tangis yang hampir pecah. Suaranya bergetar saat akhirnya ia bersuara. “Kenapa, Vartan? Kenapa aku baru tahu dari mulut ibumu kalau kamu sudah bertemu dengan dia?” Vartan tercekat. Kata-kata yang ingin ia jelaskan terasa tercekat di tenggorokannya. “Aku t