Mobil melaju tenang di jalanan ibu kota, lampu-lampu kota berpendar seperti bintang yang terseret turun ke bumi. Di kursi belakang, Diana duduk dengan posisi tegak, matanya menatap keluar jendela sambil menyandarkan kepala, pikirannya masih terjebak pada pertemuan singkat dengan Vartan.
“Bagaimana kesan pertamamu setelah bertemu dengan Vartan, sayang?” suara lembut ibunya memecah lamunannya.
Diana tersentak, lalu tersenyum tipis. “Itu…aku belum bisa jawab, Bu. Karena ini baru pertama kali bertemu dengannya. Tapi menurutku, dia pria baik.”
Sang ibu menoleh, sorot matanya penuh harap. “Kamu suka padanya?”
Diana menunduk, jari-jarinya memainkan tas kecil di pangkuannya. “Sepertinya dia pria yang bertanggung jawab dan berprinsip. Dari caranya bicara, dari tatapan matanya. Meski tadi suasananya canggung, aku bisa lihat dia bukan orang sembarangan.”
Senyum puas merekah di wajah ibunya. “Bagus. Itu artinya kamu sudah mulai menyukainya. Kalau begitu, kita akan jadwalkan lagi pertemuan dengan putra keluarga Kurniawan. Lebih banyak waktu bersama, cinta akan tumbuh dengan sendirinya.”
Diana terdiam sejenak, hatinya masih ragu, tapi ia tak ingin mengecewakan orang tuanya. “Ya, Bu. Tapi atur saja pertemuannya di jam senggangku, saat aku tidak ada praktik di rumah sakit. Aku tidak ingin pekerjaanku terbengkalai.”
“Tenang saja, Sayang. Ibu akan mengatur semuanya. Kamu hanya perlu hadir, sisanya biar orang tua yang urus.”
Diana mengangguk pelan, di bibirnya tersungging senyum samar. Namun jauh di lubuk hatinya, ada kegelisahan yang sulit ia mengerti—seakan dirinya akan terseret dalam arus besar yang bukan pilihannya.
Diana hanya tersenyum tipis, pandangannya kosong menatap jalanan yang terus berganti di balik kaca mobil. Ingatannya kembali pada wajah Vartan—sosok yang baru dikenalnya tapi entah kenapa meninggalkan kesan aneh di hatinya. Ada sorot mata yang dalam, dingin namun sekaligus hangat, seolah menyimpan sesuatu yang tak terucapkan.
Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Diana sendiri tidak tahu. Hatinya berdebar, tapi bukan karena cinta, lebih karena penasaran. Ia menunduk, menahan gejolak yang tiba-tiba muncul tanpa alasan. Tak ada kata yang terucap, hanya diam yang membungkus dirinya. Senyum samar tetap bertahan di bibirnya, meski hatinya penuh tanya tentang pria yang kini mulai membayangi pikirannya.
**
Vartan menjatuhkan tubuhnya ke dinding paviliun dengan napas yang masih memburu, da-da naik turun tak beraturan. Udara malam yang sejuk terasa begitu menyesakkan, seolah menambah berat beban yang sudah menumpuk di hatinya. Rahangnya menegang, urat-urat di lehernya menonjol ketika ia berusaha menahan amarah yang tak lagi bisa ia sembunyikan.
“Diana,” gumamnya lirih, nada suaranya penuh getir. “Kenapa kamu setuju dengan perjodohan ini? Kamu bahkan belum mengenalku.” Tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ingatan akan Neva kembali menghantam batinnya, wajah wanita yang dicintainya—yang seharusnya berhak ia perjuangkan—muncul jelas di pelupuk mata.
Dengan keras, tinjunya melayang ke dinding, sekali, dua kali, hingga rasa perih menjalar dari kepalan tangan yang mulai memerah. Namun sakit itu tak sebanding dengan perih yang menggerogoti hatinya. “Kenapa aku harus terjebak dalam perjodohan ini?” teriaknya, suara serak bercampur frustasi. “Kenapa aku tidak bisa punya hak untuk memilih sendiri, memilih pasangan hidupku, pasangan yang benar-benar aku cintai?”
Ia menutup mata, membiarkan keringat dan emosi bercampur menjadi satu. Tubuhnya gemetar, bukan karena lelah, melainkan karena rasa hancur yang menyesakkan. Dalam batin, hanya satu nama yang ia bisikkan, satu-satunya alasan ia masih bertahan, Neva.
**
Pagi hari.
Udara terasa sejuk, embun masih menempel di dedaunan, dan jalanan sekitar paviliun masih lengang. Vartan duduk di kursi teras dengan tubuh condong ke depan, kedua tangannya bertaut seolah menahan sesuatu yang tidak bisa dia lepaskan. Pandangannya kosong, jauh menembus pagi, sementara pikirannya berkecamuk tentang perjodohannya dengan Diana.
Pintu paviliun berderit terbuka, suara langkah ringan terdengar, dan Neva muncul dengan wajah segar meski matanya masih menyisakan kantuk. Begitu melihat sosok Vartan duduk di teras, ia refleks terkejut.
“Vartan? Kenapa kamu menunggu di sini?” serunya dengan nada sedikit heran.
Vartan tersentak, seperti ditarik keluar dari lamunannya. Seketika ia mengatur napas, memasang senyum tipis agar tidak terlihat kacau.
“Aku baru datang. Aku hafal jam berapa kamu biasanya keluar, jadi aku tunggu saja di sini. Lagipula sebentar lagi kamu juga keluar,” jawabnya singkat.
Namun meski suaranya terdengar tenang, hatinya sama sekali tidak. Kata-kata ibunya semalam, tatapan Diana, serta wajah Neva yang kini berdiri di depannya—semua bercampur menjadi satu kekacauan.
Neva menyipitkan mata, memperhatikan gelagat kekasihnya. “Apa ada sesuatu? Kamu seperti menyembunyikan sesuatu dariku.” Nadanya lembut, tapi penuh selidik.
Vartan buru-buru menggeleng. “Apa? Tidak ada.” Ia lalu berdiri cepat, meraih koper kecil milik Neva. “Ayo, kita berangkat saja sekarang. Kita bisa terlambat kalau lama-lama di sini.”
Neva hanya menatapnya sesaat, mencoba membaca wajahnya. Senyum Vartan memang tampak sama seperti biasanya, tapi hatinya berkata ada sesuatu yang disembunyikan pria itu. Namun ia memilih diam, mengikuti langkah Vartan menuju mobil.
Di dalam mobil, suasana terasa janggal. Mesin mobil meraung pelan, jalanan pagi masih lengang, tapi di antara keduanya seolah ada dinding tak terlihat yang membuat hening jadi semakin menekan. Vartan memegang erat setir, tatapannya lurus ke depan seakan terlalu sibuk dengan jalanan, padahal pikirannya sedang dilanda badai. Ia memilih diam, hanya sesekali menarik napas panjang tanpa sadar.
Neva menoleh, menatap wajah kekasihnya yang biasanya hangat dan penuh canda, kini begitu dingin dan kaku. Ia berusaha bersikap biasa, menepis rasa aneh yang menggantung di udara.
“Kita ada jadwal penerbangan pendek dua hari ini. Kamu nggak lelah?” tanyanya ringan.
Vartan menoleh sekilas, suaranya tenang tapi hambar. “Tidak. Aku malah ingin terbang lebih lama lagi.”
Neva mengernyit, alisnya bertaut. “Tumben kamu seperti gila kerja?” tanyanya sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana. Namun, Vartan hanya menjawab dengan sebuah senyum samar yang sulit ditebak artinya.
Hening kembali mengisi mobil. Neva tak tahan. Ia menggeser duduknya sedikit lebih dekat, lalu dengan lembut mencondongkan tubuhnya dan mengecup bibir pria itu—kebiasaan kecil mereka setiap kali bersama. Namun kali ini, Vartan tiba-tiba menghindar, berpura-pura fokus pada kemudi.
“Sayang, aku sedang fokus nyetir,” ucapnya cepat.
Neva membeku sejenak, lalu perlahan kembali duduk di kursinya. Ia menarik napas pendek, menunduk, dan mencoba tersenyum meski hatinya mencelos. Ada sesuatu yang disembunyikan Vartan, Neva bisa merasakannya, tapi ia memilih diam untuk saat ini.
Tiba-tiba ponsel Vartan berdering, mengusik keheningan di dalam mobil. Ia melirik sebentar lalu berkata singkat, “Sayang, tolong angkatkan telepon itu untukku.”
Neva, yang masih berusaha menyingkirkan rasa aneh di dadanya, meraih ponsel itu dari balik jas Vartan. Layar menyala—dan di sana tertulis Ibu. Neva ragu sejenak, namun tetap menekan tombol hijau dan mengangkatnya tanpa suara.
Suara tegas seorang wanita langsung terdengar dari seberang. “Halo, Vartan, hari ini apa kamu bisa bertemu dengan Diana lagi?”
Seketika jantung Neva seperti berhenti berdetak. Matanya melebar, napasnya tercekat. Diana? Lagi? Tubuhnya bergetar, seolah dunia di sekelilingnya runtuh. Tanpa sadar tangannya yang menggenggam ponsel ikut gemetar. Rupanya Vartan bukan hanya dijodohkan, tapi sudah bertemu dengan wanita itu—tanpa sepatah kata pun ia ceritakan.
Dengan tangan kaku, Neva menyodorkan ponsel itu ke arah Vartan. “Panggilan dari Ibu,” ucapnya lirih, suaranya hampir tak terdengar.
Vartan menoleh, melihat raut wajah kekasihnya yang pucat dan bingung. Hatinya mencelos, tapi tak ada waktu untuk menjelaskan. Ia segera menempelkan ponsel ke telinga.
“Ya, Bu, ada apa?” suaranya terdengar serak.
“Kamu bisa tidak hari ini bertemu dengan Diana?” tanya ibunya lagi.
Wajah Vartan mendadak pucat pasi. Jari-jarinya mencengkeram setir semakin erat, seakan hendak menghancurkannya. Ia tahu, Neva sudah mendengar segalanya.