Mobil Vartan berhenti tepat di halaman rumah besar itu. Lampu-lampu taman menyala hangat, tapi di matanya malam terasa dingin dan menyesakkan. Saat ia mematikan mesin, pandangannya jatuh pada sebuah mobil asing berwarna hitam yang terparkir rapi di samping garasi. Jantungnya langsung tahu, tanpa perlu bertanya. Itu pasti mobil keluarga Diana. Nafasnya kian berat, da-da terasa dipukul-pukul kegelisahan.
Dengan langkah berat ia masuk melewati pintu utama. Suara riuh obrolan bercampur tawa samar terdengar dari arah ruang makan. Semakin dekat, langkahnya kian terasa bagai menyeret beban.
Begitu ia masuk, pandangan matanya langsung tertumbuk pada meja makan panjang yang penuh hidangan. Di sana duduk ayahnya dengan senyum lebar, ibunya yang tampak puas, dan tiga sosok lain—seorang pria paruh baya, seorang wanita anggun, dan seorang gadis muda dengan rambut hitam panjang yang tergerai lembut. Diana.
“Vartan, kamu datang akhirnya,” ucap sang ibu dengan nada lega, seakan beban terangkat dari pundaknya.
Vartan hanya berdiri membeku, bibirnya mengatup rapat menahan kesal. Ia tahu, ini semua bagian dari paksaan yang selama ini ia takutkan.
Ayahnya menyambut dengan senyum lebar, wajah penuh kebanggaan. “Vartan, kemari, duduk bersama kami!” Bahkan tangannya melambai, seperti orang yang baru saja memenangkan sesuatu.
Tanpa bicara, Vartan melangkah. Setiap langkah bagai menancap ke tanah, berat, penuh amarah yang tak bisa ia lontarkan. Ia menarik kursi di samping ibunya, jantungnya berdetak keras ketika menyadari—kursi itu persis berhadapan dengan gadis asing itu. Diana.
Diana menatapnya sekilas, lalu tersenyum tipis, sopan, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Vartan membuang pandangannya ke arah meja, mencoba menahan diri agar tidak meluapkan kekesalan yang membakar dadanya. Malam ini, permainan baru telah dimulai.
Sang ibu membuka suara dengan nada penuh kelembutan, seolah tak ada beban dalam hati. “Vartan, keluarga Diana datang khusus untuk makan malam bersama kita malam ini. Ibu sudah pernah cerita sebelumnya, kan? Hari ini waktunya kau bertemu dengan Diana…wanita yang kami jodohkan denganmu. Ada baiknya kalian saling mengenal.”
Kata-kata itu meluncur begitu saja, tapi di telinga Vartan terdengar seperti palu yang menghantam dadanya. Ia mengeratkan rahang, berusaha tetap tenang.
Ayah Diana, pria berwibawa dengan jas abu-abu yang rapi, tersenyum ramah. “Kami senang sekali akhirnya bisa bertemu langsung dengan putra Anda, Pak, Bu. Nama baik keluarga Kurniawan sudah lama kami dengar. Vartan, orang tuamu pasti bangga padamu. Pilot muda yang berprestasi, jarang sekali kami mendengar kabar setenar itu.”
Ibu Diana, yang tampak anggun dengan kebaya modern, ikut menimpali, “Benar sekali. Diana kami juga seorang dokter. Kami percaya, kalian akan menjadi pasangan yang sangat serasi. Profesi kalian sama-sama bergengsi, dan kami yakin kalian akan saling mendukung.”
Kalimat itu terasa menusuk hati Vartan, seolah cintanya pada Neva tak berarti apa-apa, digantikan oleh kalkulasi status dan gengsi.
Sang ibu kemudian tersenyum, menoleh ke arah putrinya. “Vartan, ini Diana.”
Diana, wanita berusia 26 tahun dengan paras cantik yang lembut, menunduk sopan lalu menatap Vartan sambil tersenyum tipis. “Senang akhirnya bisa bertemu langsung, Kapten Vartan,” ucapnya tenang, penuh wibawa namun tetap anggun.
Vartan menarik napas panjang. Ia ingin sekali menghindari tatapan itu, tapi semua mata kini tertuju padanya. Dengan terpaksa, ia mengangkat sudut bibirnya, memaksakan senyum yang terasa getir. “Senang bertemu denganmu juga, Diana,” jawabnya singkat.
Di bawah meja, ia merasakan senggolan kecil di kakinya. Ibunya. Isyarat halus, namun jelas—jangan mempermalukan keluarga ini. Vartan menunduk sedikit, rahangnya mengeras. Senyum itu tetap ia pertahankan di wajahnya, meski dalam hati ia meronta, ingin berteriak bahwa hatinya bukan milik Diana.
Namun untuk malam ini, ia hanya bisa memainkan peran yang dipaksa.
Selesai menyantap hidangan, kedua ibu saling bertukar pandang, lalu tersenyum penuh arti. “Biarkan mereka berdua berbicara sendiri, agar bisa lebih dekat,” ucap ibu Vartan halus.
Ibu Diana mengangguk setuju, lalu mereka bangkit dari kursi, diikuti para ayah yang segera menyusul ke ruang tamu.
Kini meja makan yang semula riuh mendadak senyap. Hanya terdengar detak jam dinding dan gesekan sendok di piring yang belum sempat dibereskan. Vartan duduk kaku, tangannya mengepal di pangkuan, sementara Diana tetap tenang, menatapnya dengan pandangan sulit dibaca.
Udara di ruangan itu seperti mengeras, menekan da-da keduanya. Vartan merasa terjebak, dipaksa memainkan peran yang bukan pilihannya. Pandangannya jatuh ke gelas air, menghindari tatapan langsung.
Sementara itu, Diana justru menaruh sendoknya pelan, menghela napas seakan mencoba mencairkan suasana. Namun keheningan tetap menggantung—tegang, bening, tapi juga sarat dengan tanda tanya.
Bagi Vartan, setiap detik bersama wanita asing ini terasa seperti pengkhianatan diam-diam pada Neva. Sedangkan bagi Diana, ada tatapan penuh penilaian yang tersembunyi di balik senyumnya.
“Mas Vartan, katanya hari ini baru saja kembali dari penerbangan ya?” tanya Diana dengan nada canggung, matanya berusaha menatap namun cepat menunduk lagi.
“Iya,” jawab Vartan singkat, nada suaranya datar, seolah ingin segera mengakhiri percakapan. Bayangan tentang Neva berkelebat terus di kepalanya, hangat pelukan, bisikan lembut, bahkan aroma tubuh wanita itu masih menempel di ingatannya. Membuat setiap kata yang keluar terasa berat.
Diana tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Beberapa waktu lalu aku juga sempat ada penerbangan ke luar kota. Mungkin kalau kita sudah saling kenal, aku akan lebih mudah mengenalmu waktu itu.”
“Oh, mungkin begitu. Rute penerbanganku tidak menentu, kadang hanya lokal, kadang sampai ke luar negeri, tergantung jadwal,” balas Vartan dengan senyum tipis. Ia memaksakan keramahan, setidaknya demi menjaga nama baik keluarganya.
Diana mengangguk sopan, kedua tangannya meremas ujung serbet di pangkuannya. Percakapan bergulir seadanya, penuh basa-basi yang terdengar hambar. Diana berusaha ramah, tapi Vartan hanya menjawab sebatas perlu.
Tak lama kemudian, suara langkah terdengar. Orang tua mereka kembali masuk dengan wajah penuh senyum, seolah lega karena kedua anak itu sudah “memulai” perkenalan. Ibu Vartan menepuk bahu putranya, sementara ibu Diana duduk kembali di kursi dengan tatapan puas.
Bagi Vartan, momen itu hanya menambah sesak di dadanya. Senyum ibunya adalah tekanan, sedangkan ingatan tentang Neva kian menjerat, menegaskan betapa hatinya bukan di meja makan itu.
*
Udara malam terasa menyesakkan ketika Vartan melangkah cepat menuju pintu. Namun suara ibunya menahan langkahnya.
“Vartan, kenapa kamu buru-buru pulang? Tunggu sebentar, Ibu belum selesai bicara.”
Ia memejamkan mata, menekan emosi yang hampir meledak. “Aku lelah, Bu. Aku ingin istirahat.”
“Sebentar saja,” desak ibunya, nada memaksa yang tak bisa ia lawan.
Vartan berhenti. Napasnya berat, matanya menatap lantai. “Ya, Bu… ada apa?” tanyanya dengan getir.
Senyum ibunya mengembang, penuh keyakinan. “Bagaimana menurutmu Diana tadi? Kamu suka padanya? Dia cantik, kan? Dokter cantik.”
Setiap kata itu seperti duri menusuk hati Vartan. Dengan terpaksa, ia menjawab, “Iya, dia cantik, Bu. Tapi aku tidak tertarik padanya.”
Langkahnya kembali cepat, berharap segera meninggalkan rumah itu. Namun kalimat ibunya menghentikannya lagi.
“Tidak tertarik mungkin karena cinta di antara kalian belum tumbuh. Tapi Ibu yakin, nanti cinta itu akan tumbuh.”
Jantung Vartan berdegup kencang, wajahnya tegang. “Aku tidak mau, Bu, dipaksa seperti ini.” Suaranya parau, nyaris pecah.
Namun ibunya menatap tajam, suara penuh ketegasan. “Tidak bisa, Vartan. Kamu tidak bisa menolak perjodohan ini. Bagaimanapun, kamu akan tetap menikah dengan Diana nanti.”
Dunia seakan runtuh menimpa Vartan. Kakinya terpaku, dadanya sesak, seakan napas direnggut dari paru-parunya. Kata-kata ibunya bagaikan belenggu, menghancurkan hatinya yang hanya terpaut pada Neva. Di satu sisi ia anak yang patuh, di sisi lain hatinya memberontak. Tapi bagaimana mungkin ia bisa mengkhianati Neva?
Di balik tatapannya yang kosong, jiwa Vartan merintih—seolah suaranya tenggelam dalam jeritan yang tak seorang pun mendengar.