“Aah...Vartan, apa kamu nggak tahu aku baru saja sakit?” desah Neva ketika bibir kekasihnya itu berpindah ke lehernya. Tangannya mendorong da-da Vartan menjauh.
Namun Vartan menepis tangan itu, dan merengkuhnya lebih erat.“Bukankah kamu bilang tadi di kokpit bila kamu sudah baik-baik saja? Aku rindu kamu, Sayang. Satu minggu ini kita mengudara. Mungkin besok kita akan kembali ke udara, jadi, jangan tolak aku malam ini.”
Gerakan Vartan pun cepat, sudah terampil, mahir seperti terbiasa dengan rutinitas ini. Baju Nevan pun kini sudah berserakan di lantai bersama bajunya.
“Katakan, apa kamu masih mencintaiku?” lontar Vartan memegang pucuk dagu Neva.
Mata Neva tak bisa bohong, gelora cinta di sana untuk Vartan masih menyala terang di hatinya.
“Aku cinta kamu, tapi kamu menyebalkan,” balas Neva.
Lalu Vartan langsung membekap bibir itu dengan bibirnya agar tak ada kata-kata lagi yang keluar dari sana. Setelahnya ranjang pun berguncang hebat.
Neva hanya bisa pasrah dan memeluk erat pinggang Vartan yang sedang mengayuh keras, membagi peluh dan membagi nikmat kerinduan membara padanya.
Vartan duduk tegak di sisi ranjang, tubuhnya masih basah oleh peluh, napasnya belum sepenuhnya teratur setelah menyalurkan gelora cintanya. Sunyi menyelimuti kamar, hanya detak jantung mereka yang terdengar berpacu kencang. Neva perlahan ikut duduk, lalu tanpa ragu memeluknya dari belakang. Tangannya melingkari pinggang Vartan, sementara dagunya bersandar di bahu kokoh lelaki itu.
“Lalu, buat pernikahan itu batal,” bisiknya lirih, suaranya begitu rapuh, seperti doa yang dipanjatkan dengan penuh harap.
Vartan terdiam. Kata-kata itu menusuk dadanya, menyayat bagian terdalam hatinya. Ia tahu benar, pernikahan yang direncanakan orang tuanya bukanlah sekadar rencana biasa. Itu adalah keputusan yang sudah ditetapkan, harga mati demi menjaga nama besar keluarga.
Bisakah dia membantah? Bisa saja! Tapi konsekuensinya akan sangat berat. Namun pada saat yang sama, ia juga tahu dirinya tak akan pernah sanggup melepaskan Neva—wanita yang sudah menjadi jantung hatinya, sayap yang membuatnya mampu terbang, dan alasan setiap denyut nadinya.
“Sayang…” Suara Vartan bergetar ketika ia memegang tangan Neva yang melingkar di tubuhnya. “Aku janji akan berusaha. Aku akan lakukan apapun supaya kita tidak terpisah. Tapi kamu juga harus janji…kamu akan terus bersamaku, apapun yang terjadi.”
Neva terdiam sejenak. Pandangannya penuh dengan air mata yang berkilau, tapi senyumnya tulus. Tanpa berpikir panjang, ia mengangguk kecil dan berbisik, “Iya, aku janji.”
Vartan menoleh, menatap wajahnya lekat-lekat, lalu meraih bibir Neva dalam ciuman panjang penuh cinta—ciuman yang bukan sekadar pelepas rindu, tapi ikrar bisu bahwa mereka akan berjuang melawan dunia bersama.
“Tubuhku rasanya lengket sekarang. Aku mau berendam sebentar,” bisik mesra Neva di telinga, setelah amarah pada dirinya padam.
“Ya, aku akan menyusulmu setelah ini.”
Neva bangkit kemudian menuju ke kamar mandi. Sedangkan Nevan memungut bajunya dan memakainya kembali. Baru saja dia duduk, ponselnya bergetar.
Neva baru saja menutup pintu kamar mandi ketika suara dering ponsel memecah keheningan kamar. Vartan yang masih setengah duduk di tepi ranjang meraih ponselnya. Begitu melihat layar, darahnya seperti berhenti mengalir, nama ibunya terpampang jelas di sana. Jantungnya berdegup keras, keringat dingin muncul di pelipisnya meski tubuhnya baru saja reda dari peluh cinta.
“Ya, halo Bu, ada apa menelepon?” suaranya terdengar datar, namun sarat dengan ketegangan.
“Vartan, kamu sudah kembali dari penerbangan?” Suara lembut ibunya menyapa.
“Sudah, Bu, tapi aku sedang di luar. Ada apa?”
“Kamu datang ke rumah, ya. Satu jam lagi Diana dan keluarganya akan tiba untuk makan malam. Ibu rasa belum terlambat untuk kalian bertemu malam ini.”
Sekujur tubuh Vartan menegang. Matanya membulat kaget. Dunia seolah berhenti berputar.
“Bu, aku lelah, baru saja kembali dari penerbangan. Mungkin besok, atau kapan saja, bukan sekarang.”
“Vartan.” Suara ibunya terdengar menekan, “Ibu tahu kamu lelah. Tapi sebentar saja, Sayang. Tak enak kita pada keluarga Diana.”
Tut! Sambungan terputus tanpa memberi ruang untuk penolakan lebih jauh.
“Ibu…aku tidak bisa. Aku tidak mau!” seru Vartan di keheningan kamar, suaranya pecah oleh amarah yang tertahan. Napasnya memburu, da-danya bergemuruh.
Dengan geram, ia menggenggam ponselnya begitu erat hingga jari-jarinya memutih. “Sia-lan!” desisnya, dengan frustrasi memuncak. Rasa cinta pada Neva dan jeratan orang tuanya berbenturan hebat dalam dadanya.
Vartan menatap jam di dinding kamar, jarum yang terus berputar terasa seperti cambuk yang memaksa langkahnya. “Waktuku nggak lama, aku harus bergegas,” gumamnya lirih, nada suaranya penuh kekesalan dan kemarahan yang bercampur, namun dalam hati ia sadar, tak bisa menolak panggilan ibunya. Bagaimanapun, setiap keinginan orang tuanya selalu menjadi aturan tak tertulis yang sulit dilawan.
Dengan langkah cepat, ia masuk ke kamar mandi. Suara air yang mengalir dari shower langsung memenuhi ruangan, membasahi tubuhnya yang masih diliputi sisa hangat dari pelukan Neva. Saat itu matanya sempat melirik ke arah bathub. Neva masih berendam di sana, rambutnya sedikit basah menempel di pelipis, tubuhnya terlindung busa tipis, wajahnya tampak rileks seperti seorang wanita yang baru saja menyerahkan seluruh cintanya.
“Kamu tidak ikut berendam bersamaku?” tawar Neva dengan senyum kecil, matanya jernih memandang pria yang begitu dicintainya.
Vartan tersentak sejenak. Hatinya terasa teriris, ingin sekali ia mengiyakan, membuang semua kewajiban, dan sekadar menenggelamkan diri di samping wanita yang membuatnya merasa hidup. Tapi realita mencengkeramnya begitu kuat.
“Aku buru-buru,” jawabnya singkat. “Dan hari ini aku nggak bisa nginap di sini, nggak apa kan, Sayang?”
Neva tersenyum, tanpa rasa curiga, suaranya lembut penuh pengertian. “Ya, tentu saja. Aku tahu kamu lelah, apalagi setelah aktivitas barusan.”
Vartan menunduk menahan gelora dalam dadanya, menyembunyikan wajah penuh beban itu di balik guyuran shower. Neva tidak tahu, malam ini ia akan duduk di meja makan berhadapan dengan Diana, wanita asing yang disebut calon istrinya. Sementara hati dan jiwanya, masih tertambat penuh pada Neva. Sebuah rahasia yang hanya membuat napasnya kian sesak.
Vartan selesai membasuh tubuhnya dengan cepat, menyeka sisa air di kulitnya, lalu melangkah ke luar kamar mandi. Neva masih berendam di bathub, matanya terpejam menikmati hangatnya air, sesekali mengusap lengan dan lehernya dengan lembut. Vartan menunduk, lalu mendekat. Jemarinya menyentuh pipi Neva, membuat wanita itu membuka mata perlahan. Tanpa banyak kata, bibir Vartan menyapu bibir Neva dalam ciuman yang singkat, lembut, tapi sarat makna.
“Aku pulang dulu,” ucapnya lirih, suaranya terdengar berat menahan sesuatu. “Kamu makan yang banyak, ya. Jaga zat besi dan gula tubuhmu, jangan sampai pingsan lagi seperti tadi. Aku nggak mau kamu sakit.”
Neva menatapnya sejenak. Ada sesuatu dalam tatapannya, rasa cinta, juga sedikit kekhawatiran, tapi ia memilih hanya mengangguk. “Ya,” jawabnya singkat.
Vartan tersenyum tipis, menahan keinginannya untuk kembali memeluk wanita itu. Namun waktu terus mendesaknya. Ia bergegas keluar dari kamar, meraih jaket dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja ruang tengah.
Langkahnya tergesa, tapi sempat ia berhenti sejenak di depan pintu paviliun, menoleh ke belakang seakan ingin merekam sekali lagi ruang itu, aroma Neva, kehangatan yang baru saja ia tinggalkan. “Tunggu aku,” bisiknya pelan, lalu ia menutup pintu rapat.
Sekejap kemudian, suara mesin mobil mengaum. Vartan duduk di balik kemudi, menyalakan lampu depan, lalu melaju keluar halaman.
Malam menelan mobilnya, membawa tubuhnya menuju rumah besar orang tuanya, sementara pikirannya berkecamuk. Neva baru saja ia tinggalkan dalam kehangatan, namun Diana menantinya di meja makan bersama keluarganya. Hatinya terpecah, seakan dua dunia menariknya ke arah yang berbeda. Dan di tengah itu semua, Vartan tahu, satu langkah salah bisa menghancurkan semuanya.