“Kamu sudah baikan, Neva?” tanya seorang pramugari begitu melihatnya memasuki kokpit beberapa jam setelah kejadian. Nada suaranya penuh kekhawatiran, meski diiringi senyum ramah.
Neva tersenyum tipis, membetulkan sweater tebal yang melingkupi tubuhnya. Senyum itu tampak meyakinkan, tapi sorot matanya masih menyimpan sisa luka. “Ya, aku sudah baikan. Tenang saja, aku siap bekerja lagi,” jawabnya ringan, seolah tak ada yang terjadi.
Namun pramugari itu masih menatapnya ragu. “Kalau kamu belum kuat, lebih baik kembali saja ke ruang perawatan. Biar kami yang handle penerbangan balik ke bandara. Kamu nggak usah memaksakan diri.”
Neva menggeleng pelan, lalu tersenyum lebih lebar, berusaha menutupi guncangan batin yang masih bergejolak. “Mana bisa begitu? Kalau aku melimpahkan tugasku pada kalian, nanti aku merasa berhutang budi. Aku nggak mau kalian repot karena kelemahanku. Jangan buat aku berhutang, ya,” ucapnya dengan nada bercanda ringan.
Mereka pun tertawa kecil mendengar balasan itu, merasa sedikit lega meski masih khawatir.
Neva lantas melangkah masuk dan duduk di kursi awak kabin bersama rekannya. Ia menghela napas panjang diam-diam, menatap ke luar jendela. Dari balik kaca, terlihat cahaya lampu landasan berkelip, menandakan pesawat bersiap untuk take off.
Di balik senyum cerah yang ia tunjukkan, hatinya masih bergetar hebat. Setiap detik terasa seperti perjuangan untuk menahan air mata agar tidak jatuh di hadapan yang lain. Baginya, pekerjaan adalah pelindung, seragam pramugari dan sikap profesional menjadi tameng agar tidak ada yang tahu hatinya sedang porak-poranda.
Sambil menunggu pesawat bergerak, Neva meremas jemarinya sendiri, menyemangati dirinya dalam diam. 'Aku harus kuat. Aku harus tetap berdiri, meski cintaku semakin koyak.'
Setengah jam kemudian, pintu kokpit terbuka. Vartan masuk bersama co-pilotnya, langkahnya mantap namun tiba-tiba melambat begitu matanya menangkap pemandangan di depannya. Di deretan kursi awak kabin, beberapa pramugari tengah duduk bersama. Dan di antara mereka ada Neva.
Waktu seakan berhenti. Pandangan Vartan terkunci, tak bisa lepas. Wajah Neva terlihat pucat meski berusaha disamarkan dengan senyum tipis. Sesuatu di dalam diri Vartan bergejolak, perasaan peduli yang tak pernah bisa dikubur meski keadaan memaksa.
Tanpa bisa menahan diri, kata-kata keluar begitu saja. “Neva, kamu sudah kembali bekerja? Bukankah dokter bilang padamu untuk beristirahat?” Suaranya tegas, tapi di balik itu ada nada khawatir yang tak mampu ia sembunyikan.
Beberapa pramugari lain menoleh, heran mendengar perhatian sebesar itu dari seorang kapten. Namun Neva hanya terdiam sesaat. Suara hatinya bergetar hebat, sama seperti tubuhnya yang mendadak melemah. 'Kenapa dia masih peduli? Kenapa dia tetap menunjukkan perhatian, padahal di saat yang sama, dialah yang paling menyakitiku?'
Dengan menunduk, Neva mencoba menyembunyikan matanya yang hampir basah. Ia mengatur napas, lalu menjawab dengan suara pelan yang bergetar. “Ya, aku merasa baikan di tengah pekerjaan dan teman, Kapten.” Ia menekankan panggilan formal itu, seolah ingin menarik garis batas tegas di antara mereka.
Vartan terpaku. Ada luka di setiap kata Neva, seakan menyampaikan pesan yang hanya mereka berdua pahami. Ia ingin mengatakan banyak hal, ingin mendekat, tapi co-pilot dan para pramugari ada di sana, menghalanginya melakukan itu.
Neva tetap menunduk, menghindari tatapan pria itu. Tatapan yang selalu membuatnya rapuh, tatapan yang dulu ia rindukan, kini justru membuatnya ingin menangis.
“Kapten, ayo kita berangkat sekarang,” ucap co-pilot, memecah ketegangan yang terasa kental di udara. Kalimat itu seperti penyelamat bagi Neva yang sudah nyaris tak sanggup menahan getaran hatinya lebih lama.
Vartan mengangguk cepat, menutupi riak perasaannya. “Baik,” balasnya singkat, lalu melangkah menuju kokpit. Namun sebelum benar-benar melewati barisan pramugari, langkahnya melambat, seolah ada sesuatu yang mengikatnya pada sosok yang duduk diam di kursi itu.
Neva, yang merasakan kehadiran Vartan begitu dekat, buru-buru memejamkan mata. Hanya beberapa detik, tapi cukup untuk menahan diri agar tidak menatap pria yang telah merebut seluruh hatinya. 'Aku tidak boleh melihatnya, jika aku menatapnya sekarang, aku akan runtuh.'
Degup jantungnya berdentum kencang, seakan tubuhnya memprotes keputusannya sendiri. Ia bisa merasakan bayangan Vartan melintas, aroma khas parfum yang begitu dikenalnya, bahkan denyut kehangatan yang pernah ia dekap erat. Semua itu membuat hatinya semakin hancur, tak bersisa.
Vartan sempat melirik sekilas, ingin sekali berhenti, ingin mengulurkan tangan. Tapi ia tahu, satu gerakan kecil saja akan membongkar rahasia yang mereka jaga mati-matian. Dengan berat hati, ia melangkah masuk ke kokpit, menyembunyikan gelombang rasa yang menggerogoti dadanya.
Tak lama kemudian, mesin pesawat meraung. Burung besi itu mulai melaju di landasan, lalu mengangkat tubuhnya ke langit. Di kursinya, Neva membuka mata perlahan, menatap keluar jendela yang dipenuhi awan putih. Namun pandangannya kosong, karena yang ia lihat hanyalah cinta yang tak pernah bisa bebas ia miliki.
**
Malam itu, suasana Bandara Soekarno Hatta lengang. Pesawat baru saja mendarat tanpa penumpang, hanya membawa kru setelah penerbangan panjang. Satu per satu staf turun melalui pintu samping, wajah mereka tampak lelah. Neva turun paling akhir, menyeret kopernya dengan langkah yang sedikit gontai. Ia hanya ingin segera sampai rumah, mandi air hangat, lalu menutup mata.
“Aku mau cepat pulang dan istirahat,” gumamnya sambil duduk di kursi tunggu luar bandara. Ia membuka aplikasi di ponsel untuk memesan mobil online. Jarinya baru menyentuh layar ketika tiba-tiba suara klakson mobil terdengar nyaring di depannya.
Sebuah sedan hitam berhenti persis di hadapannya. Pintu terbuka, dan dari dalam keluar sosok yang begitu ia kenal. Vartan.
“Sayang, kamu mau pesan mobil?” Suaranya dalam, tegas, namun penuh kepemilikan.
Neva tertegun. Belum sempat ia menjawab, ponselnya sudah berpindah ke tangan Vartan. “Aku bilang, aku akan mengantarmu pulang,” lanjutnya tanpa memberi ruang untuk bantahan.
“Aku bisa sendiri, Vartan—” Kalimat itu terhenti ketika koper yang ia tarik sudah lebih dulu dibawa masuk ke bagasi.
Tangannya pun tiba-tiba ditarik lembut namun penuh paksaan. Dalam sekejap, Neva sudah berada di kursi penumpang. “Vartan, turunkan aku!” serunya, berusaha melepaskan genggamannya.
“Nggak,” balas Vartan singkat. Lalu tubuhnya mendekat, jaraknya hanya sejengkal. Tatapannya menembus mata Neva, membuat wanita itu tak berkutik. Tanpa aba-aba, Vartan menunduk dan mencium bibir Neva dalam-dalam, mencuri napasnya hingga Neva nyaris kehabisan oksigen.
Saat ia melepas ciuman itu, Neva terengah, wajahnya memerah. Namun Vartan sudah kembali ke balik kemudi, menyalakan mesin, dan melaju meninggalkan bandara. Mobil itu menembus malam Jakarta, menuju paviliun kecil tempat Neva tinggal, sementara hatinya masih diliputi badai yang tak kunjung reda.
*
Mobil berhenti di depan paviliun kecil yang ditempati Neva. Lampu teras masih menyala redup, menandakan rumah itu sudah siap menyambut kepulangannya. Neva buru-buru turun, ingin segera masuk dan menutup segala kekalutan yang masih berputar di kepalanya. Namun langkahnya terhenti ketika sadar Vartan ikut turun, mengikuti dari belakang.
“Kenapa kamu mengikutiku?” protes Neva, menoleh dengan tatapan marah.
“Aku ingin meluruskan masalah ini denganmu,” jawab Vartan tegas.
Neva merogoh tasnya hendak mengambil kunci, tapi alisnya terangkat kaget ketika melihat Vartan sudah mengeluarkan kunci duplikat. “Bagaimana kamu—” ucapnya tercekat, sebelum sempat melanjutkan. Vartan sudah lebih dulu membuka pintu, lalu mendorongnya masuk.
“Bagaimana kamu mau meluruskan masalah ini?” sergah Neva, sorot matanya berapi, penuh luka dan kemarahan.
Alih-alih menjawab, Vartan segera mengunci pintu, lalu menangkap tangan Neva, menyeretnya ke arah kamar. Nafasnya berat, matanya penuh gejolak. Dalam hitungan detik, tubuh Neva sudah tertindih olehnya di atas ranjang.
“Vartan, aku lelah,” bisik Neva, mencoba menolak.
Kepala Vartan menunduk, bibirnya mendekat. “Kamu tahu, Neva, kamu membuatku tergila-gila, meracuni pikiranku. Sampai kapan pun, aku nggak bisa pisah darimu. Jiwa dan tubuhmu hanya milikku.”
Dengan gerakan cepat, ia menarik longgar tali baju Neva, kemudian membekap bibir kekasihnya itu dalam ciuman dalam, panas, seakan ingin meleburkan semua penolakan menjadi miliknya.