Petugas medis bandara segera membawa Neva ke ruangan khusus pemeriksaan. Ruangan itu sederhana namun lengkap dengan peralatan medis darurat, tempat tidur lipat, serta aroma antiseptik yang kuat. Seorang dokter muda dan dua perawat sigap memeriksa kondisi Neva, mengukur tekanan darah, detak jantung, dan kadar gula darahnya.
Vartan menunggu di sisi pintu, matanya tak lepas dari sosok Neva yang terbaring pucat. Napasnya terasa sesak setiap kali menatap wajah wanita yang ia cintai itu. Dengan suara cemas, ia akhirnya memberanikan diri bertanya,
“Bagaimana kondisinya, Dok?”
Dokter menoleh, menutup alat pemeriksaan, lalu berkata tenang, “Pramugari ini sepertinya kebanyakan pikiran dan kekurangan gula. Itu yang menyebabkan tubuhnya lemah dan akhirnya pingsan.”
Vartan menghela napas panjang, seolah beban besar sedikit terangkat, meski tidak sepenuhnya. Hatinya belum sepenuhnya tenang karena ia tahu apa yang sebenarnya membebani pikiran Neva, dirinya.
Beberapa pramugari lain yang ikut menemani menatap cemas. Mereka saling berbisik, merasa khawatir sekaligus bingung. Tak satu pun dari mereka yang mengetahui rahasia hubungan Neva dan Vartan.
Untuk membantu Neva pulih, perawat memberikan cairan infus ringan serta segelas air gula. Mereka juga mengoleskan kapas beraroma amonia ke dekat hidungnya agar cepat siuman.
Perlahan, kelopak mata Neva bergetar. Ia mulai bergerak, menarik napas panjang.
“Neva, akhirnya kamu sadar.” Suara Vartan bergetar, matanya berbinar penuh harap.
Neva membuka mata perlahan. Pandangannya kabur, namun seiring kesadarannya kembali, ia mulai menyadari dirinya berada di ruang perawatan bandara. Bau antiseptik yang menusuk dan suara alat medis yang berdetak pelan membuatnya semakin sadar. Saat itu, pandangannya jatuh pada sosok Vartan yang berdiri tak jauh dari ranjang. Pria itu tersenyum kecil, seolah lega melihatnya sudah siuman.
Namun, bagi Neva, senyum itu justru terasa menyesakkan. Senyum seorang kekasih yang sebentar lagi akan menikah dengan orang lain atas kehendak orang tuanya. Hatinya seperti diris tipis-tipis. Ia buru-buru memalingkan pandangan ke arah rekan-rekan pramugari yang berdiri di sisi lain.
“Kamu baik-baik saja, Neva?” tanya mereka hampir bersamaan, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran.
Neva menarik napas, berusaha mengendalikan gejolak di dadanya. “Ya, aku baik-baik saja sekarang. Terima kasih kalian sudah membantu,” jawabnya lirih.
Salah satu pramugari tersenyum sambil melirik ke arah Vartan. “Bukan kami yang membantu kamu, tapi kapten.”
Ucapan itu membuat Neva terpaksa kembali menatap Vartan. Ia menahan napas, berusaha keras menyembunyikan air mata yang hampir jatuh. Senyum hambar ia paksakan muncul di bibir. “Terima kasih, Kapten,” balasnya singkat, menekankan kata kapten agar terdengar formal, seakan tak ada hubungan lebih dari sekadar kolega kerja.
Vartan menatap Neva lekat-lekat, hatinya remuk mendengar jarak yang begitu nyata dalam panggilan itu. Ia ingin sekali mendekat, menggenggam tangan Neva, bahkan memeluknya, menenangkan wanita yang dicintainya. Namun kehadiran pramugari lain membuatnya tak bisa berkutik.
Ia hanya berdiri kaku, menahan diri, seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka. Dalam diam, keduanya saling menyembunyikan luka, cinta rahasia yang dibungkus rapi di balik senyum dan formalitas.
“Kami pergi dulu, Neva. Ada sesuatu yang harus kami lakukan,” ucap para pramugari bersamaan setelah beberapa saat dan melihat kondisi Neva yang stabil.
“Ya, kalian pasti ada kegiatan lain. Aku sudah baik-baik saja di sini nggak perlu ditunggu,” balas Neva melengkungkan bibir.
Namun Vartan tiba-tiba saja ikut bicara. “Kalian tak perlu khawatir dan lanjutkan aktivitas kalian. Biar aku di sini. Aku ingin istirahat sebentar sebelum mengambil penerbangan selanjutnya.”
“Baik, Kapten, kami titip Neva padamu, ya? Makasih udah bantu.”
Nevan hanya mengangguk saja dengan senyum tipis yang mengembang di bibir, menatap punggung para pramugari yang keluar dari ruangan ini.
Ruangan kini menjadi jauh lebih hening setelah para pramugari keluar, menyisakan hanya Neva dan Vartan di dalamnya. Suara langkah mereka yang menjauh perlahan menghilang, menyisakan detak jam dinding yang terdengar jelas. Vartan masih berdiri di samping ranjang, menatap Neva yang terbaring lemah dengan wajah pucat.
Neva pura-pura memejamkan mata, berharap Vartan tak lagi menatapnya dengan cara yang membuat dadanya sesak. Namun ia bisa merasakan kehadiran pria itu begitu dekat, bahkan napasnya terdengar samar.
“Aku sengaja tinggal,” ucap Vartan pelan, suaranya bergetar. “Bukan hanya untuk beristirahat, tapi untuk memastikan kamu baik-baik saja.”
Neva membuka mata, menatapnya dengan tatapan tajam, berusaha menutupi luka hatinya. “Makasih, Kapten. Kamu sudah cukup membantuku tadi,” jawabnya dingin, menekankan kembali jarak di antara mereka.
Namun Vartan tidak bergeming. Ia menunduk sedikit, matanya merendah, seolah tak sanggup menahan perasaan yang meledak di da-da. “Jangan begitu, Neva. Aku tahu kamu marah, aku tahu kamu sakit hati, tapi percayalah, hatiku hanya untukmu. Aku masih mencari jalan keluar agar kita nggak berakhir seperti ini.”
Neva menghela napas berat, memalingkan wajah. “Kamu sudah memilih untuk diam saat orang tuamu memutuskan masa depanmu. Itu sudah cukup menjelaskan segalanya.”
Kata-kata itu menampar Vartan. Ia hanya bisa berdiri kaku, matanya meredup, menahan luka yang tak kalah dalam dari yang dirasakan Neva.
Vartan kemudian mendekat dan memeluk Neva dari belakang dengan penuh cinta dan kehanagatan. Pelukan itu begitu hangat, seakan meredakan badai yang sedari tadi mengguncang hati Neva. Dadanya bergetar ketika merasakan detak jantung Vartan berdentum begitu dekat, menenangkan, namun juga menyakitkan.
Sesaat ia biarkan dirinya hanyut dalam dekap itu, berpura-pura semuanya baik-baik saja, berpura-pura bahwa dunia di luar sana tidak sedang merenggut kebahagiaan yang mereka bangun bersama.
“Neva, aku mohon jangan marah padaku. Aku ingin menjagamu tetap di sisiku sampai kapan pun,” bisik Vartan lirih, penuh getar.
Kalimat itu menancap dalam-dalam di hati Neva, bukan sebagai janji yang memberi harapan, melainkan sebagai tanda perpisahan yang perlahan dipoles dengan kata manis. Seakan Vartan tengah menyiapkan jalan untuk melepasnya. Hatinya remuk, runtuh, hancur berkeping-keping. Baginya, ucapan itu bukan lagi penguat, tapi racun yang mengingatkan bila sebentar lagi dirinya tak lagi berarti di sisi pria itu.
Air mata menggenang di pelupuk, namun Neva tak ingin Vartan melihat rapuhnya. Dengan sekuat tenaga, ia mengurai pelukan itu, menepis hangat yang dulu selalu ia cari. Napasnya tersengal, tangannya gemetar saat mencabut infus dari tangan tanpa peduli rasa perihnya menyiksa.
“Neva!” Suara Vartan memanggil panik, tangannya terulur, tapi Neva tak menoleh sedikit pun.
Tubuhnya masih lemah, langkahnya gontai, namun tekadnya lebih kuat dari segalanya. Ia berjalan cepat meninggalkan ruangan itu, meski darah terasa mengalir dari bekas jarum infusnya.
Hingga akhirnya Neva menemukan sebuah ruangan kosong, pintunya tertutup rapat, hanya ada dirinya seorang. Begitu pintu tertutup, Neva tak mampu lagi menahan semuanya. Tangisnya pecah, deras, tak terbendung, seolah seluruh luka yang disembunyikannya selama ini meledak bersamaan.
“Kenapa harus aku? Kenapa cinta harus sesakit ini?” ucapnya di antara isak, memeluk dirinya sendiri, tenggelam dalam kesendirian yang paling kelam.