Suara derap langkah semakin jelas terdengar dari luar ruang ganti. Vartan masih enggan melepaskan, pelukannya kian erat seakan hendak menahan dunia agar tidak merenggut Neva darinya.
“Lepaskan aku, Vartan. Aku harus pergi sekarang.” Suara Neva terdengar berat, penuh tekanan. Wajahnya sedih, matanya menunduk, takut bila ada yang melihat mereka dalam keadaan seperti itu.
Namun Vartan justru mempererat dekapannya, menekan pipi ke bahu Neva. “Janji, kamu tidak akan pergi meninggalkan aku,” desaknya lirih, hampir memohon.
Neva tetap diam. Dadanya sesak, matanya memanas. Ia ingin berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokan. Hatinya hancur, tapi juga tak bisa mengingkari cintanya yang begitu dalam pada pria ini.
Vartan menunduk, bibirnya menyentuh telinga Neva, memberikan ciuman singkat penuh rasa takut kehilangan. Neva terkejut, tubuhnya merinding, namun segera berusaha merenggangkan ikatan itu. Dengan sisa tenaga, ia mendorong da-da Vartan hingga pelukan itu terlepas.
Dan tepat pada saat itu, pintu ruang ganti terbuka. Seorang staf masuk, wajahnya biasa saja, mungkin tak menyadari apa yang baru saja terjadi.
Neva segera menunduk, merapikan rambut dan seragamnya yang sedikit kusut. Vartan berdiri kaku, menyembunyikan gejolak hatinya di balik ekspresi datar seorang kapten.
Tatapan Neva dan Vartan bertemu sejenak, penuh luka, penuh rahasia. Lalu Neva melangkah cepat pergi, meninggalkan Vartan yang masih membeku, dengan hati yang terasa diremuk kenyataan.
“Kapten, apakah semua mesin, panel, ada yang perlu disiapkan dalam penerbangan sudah dicek semua?” tanya co-pilot sambil menatapnya serius.
Vartan tersentak, berusaha menutupi wajahnya yang masih menyisakan gejolak emosi setelah bersama Neva. “Belum, aku baru selesai bersiap. Baik, aku akan periksa sekarang,” jawabnya cepat, lalu melangkah keluar dari ruang ganti itu.
Ia berjalan cepat menuju kokpit, ruang yang sudah begitu akrab dengannya, ruang di mana ia seharusnya fokus, tenang, dan berwibawa sebagai seorang kapten. Namun langkahnya terasa berat. Hatinya berantakan.
Setiap tarikan napasnya seakan mengingat pelukan Neva yang baru saja terlepas, tatapan penuh amarah dan luka di mata wanita itu terus menghantuinya. Tangan Vartan yang biasanya mantap kini gemetar halus saat menyentuh pintu kokpit.
Begitu masuk, ia menatap panel dan deretan tombol yang harus diperiksa. Biasanya, ini adalah rutinitas yang dilakukan dengan penuh ketenangan dan disiplin. Tapi kali ini, pikirannya bercabang. Antara kewajiban sebagai pilot dan cintanya yang tengah dipertaruhkan.
'Fokus, Vartan, kamu nggak boleh kacau di sini.' Namun suara hati yang memanggil nama Neva tetap saja bergema, membuat dadanya sesak. Hari ini akan terasa panjang baginya.
Neva melangkah masuk ke ruang briefing pramugari, tempat di mana para awak kabin biasanya berkumpul sebelum penerbangan dimulai. Suasana di sana cukup hangat meski masih pagi. Beberapa pramugari sudah duduk melingkar, ada yang sambil menyesap kopi, ada yang sibuk memoles riasan tipis di wajah.
“Eh, kalian dengar nggak? Kemarin ada penumpang yang nembak pramugari di kabin, bayangin aja!” ucap salah seorang pramugari sambil terkekeh.
“Serius? Romantis banget, tapi kok nekat ya?” sahut yang lain, membuat mereka tertawa riuh.
Neva ikut tersenyum, tapi hanya tipis, senyum yang tidak benar-benar dari hatinya. Hatinya masih penuh gejolak setelah pertemuannya dengan Vartan tadi.
Seorang pramugari yang duduk di sampingnya menoleh, menatap lekat wajahnya. “Nev, wajahmu kok beda ya? Kayak lagi sedih. Biasanya kamu paling cerewet, sekarang malah diam aja. Kamu ada masalah?” tanyanya penuh perhatian.
Neva sedikit terkejut, lalu buru-buru merubah ekspresi wajahnya. Senyumnya kali ini lebih lebar, seolah berusaha menutupi badai dalam hatinya. “Nggak ada masalah kok. Apa sih masalahku selain, ya...belum nemu calon suami aja,” jawabnya berkelakar.
“Ya ampun, bisa-bisanya kamu Neva,” balas mereka sambil tertawa, sementara Neva hanya menahan perih di balik tawanya.
Para pramugari, termasuk Neva dan yang lain, mulai berkeliling kabin sebelum pesawat tinggal landas. Mereka memastikan semua penumpang sudah duduk dengan nyaman, bagasi kabin tersusun rapi, serta sabuk pengaman terpasang dengan benar. Seorang pramugari sempat membantu penumpang tua merapikan posisi kursinya, sementara yang lain menenangkan anak kecil yang tampak rewel. Setelah semuanya siap, mereka berdiri di lorong untuk memperagakan prosedur keselamatan, lalu memeriksa sekali lagi apakah ada yang belum mematuhi aturan.
Ketika pesawat mulai bergerak menuju landasan, masing-masing pramugari kembali ke posisi mereka, ada yang duduk di kursi lipat dekat pintu darurat, ada yang di bagian belakang, dan Neva berada di kursi khusus dekat galley depan. Sabuk pengamannya terkunci, tubuhnya tegak, namun hatinya terasa begitu berat.
Pesawat pun tinggal landas, suara mesin meraung membawa mereka perlahan menembus awan. Beberapa penumpang bersorak kecil atau menepuk tangan, terutama anak-anak yang girang dengan sensasi melayang. Tapi Neva hanya menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan daratan yang semakin mengecil.
Pandangan matanya kemudian bergeser. Ia melihat sepasang suami istri saling menggenggam tangan, wajah mereka tenang, seolah dunia hanya milik berdua. Hatinya berdesis pedih. 'Bahkan semua orang bisa punya pasangan, tanpa harus disembunyikan, tanpa harus takut. Sedangkan aku? Hubungan ini backstreet, penuh rahasia. Dan sekarang, Vartan malah dipaksa menikah dengan orang lain.'
Matanya kemudian menatap jauh ke depan, ke arah kokpit. Dari kursinya, Neva bisa melihat punggung Vartan yang tengah sibuk dengan instrumen penerbangan. Hatinya semakin sesak. 'Aku tidak mengerti, Vartan. Apa sebenarnya definisi cintamu?'
*
Pikiran Neva sejak tadi tidak pernah berhenti berputar. Bayangan tentang Vartan, tentang calon pernikahan yang dipaksakan, tentang cintanya yang harus disembunyikan, semua menumpuk di kepalanya hingga membuat dadanya terasa sesak. 'Apa aku masih punya tempat di hatinya? Apa aku harus menyerah?' Pertanyaan itu terus berputar tanpa henti.
Pesawat akhirnya mendarat dengan mulus. Penumpang satu per satu bersiap turun, sementara Neva mencoba menegakkan tubuhnya. Namun, kepalanya terasa berputar, pandangannya kabur. Napasnya memburu. 'Kenapa tubuhku lemah sekali? Aku tidak boleh pingsan di depan semua orang.'
Dengan senyum tipis ia masih berusaha menenangkan penumpang, menunjukkan profesionalisme seorang pramugari. Tapi ketika penumpang terakhir melangkah keluar, tubuhnya tak lagi sanggup menopang dirinya. Lututnya goyah, tangannya mencari pegangan.
“Neva!” teriak salah satu rekannya yang lebih dulu menyadari.
Vartan yang masih di dekat pintu kokpit langsung tersentak mendengar nama itu dipanggil. Suara itu terdengar penuh kecemasan, membuatnya tak bisa berpikir jernih. Ia segera berlari cepat, meninggalkan panel dan instrumen yang barusan ia periksa. Saat tiba, matanya membelalak melihat Neva tubuhnya limbung, lalu jatuh tak berdaya.
Refleks, Vartan menangkapnya sebelum tubuh itu membentur lantai kabin. “Neva! Ada apa denganmu?” pekiknya, suaranya bergetar panik. Tangan Vartan mengguncang lembut bahu kekasihnya yang lemah. Wajahnya pucat, napasnya berat.
“Neva, bertahanlah, please, jangan pingsan di sini,” lirihnya, bervampur rasa panik.
Beberapa pramugari lain mendekat, salah satunya bergegas mengambil air mineral, sementara yang lain memanggil petugas medis bandara melalui interkom. Namun Vartan hanya bisa memeluk erat tubuh rapuh Neva, hatinya seakan diremas. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti, yang ada hanya dirinya dan Neva, dan ketakutan besar bahwa ia bisa gila kehilangannya.