Eve berlari ke kamarnya, langkahnya berat namun penuh kepedihan. Pagi yang seharusnya tenang kini terasa kelabu baginya. Ia membuka pintu balkon, membiarkan angin pagi yang dingin menyentuh wajahnya yang basah oleh air mata. Matanya menatap ke arah langit yang mulai terang, seolah-olah mencari secercah harapan di balik awan yang menggantung. “Kenapa harus begini?” bisiknya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh angin pagi. “Kenapa aku begitu bodoh menerima semua ini?” Eve merasa dirinya kecil, terjebak dalam pernikahan yang hanya menyisakan luka dan pengkhianatan. Apa yang ia harapkan dari perjodohan ini—sebuah kesepakatan yang ternyata hanyalah kebohongan? Ia menyesal, kecewa, dan merasakan kekosongan yang begitu dalam. Ia menutup matanya, membiarkan air mata kembali mengalir deras, menu