“Apakah seorang dokter boleh mabuk?”
Jennifer menoleh. Tatapannya yang sudah kabur karena pengaruh alkohol membuatnya memicingkan mata untuk melihat lebih jelas.
“Tentu saja boleh. Apalagi besok aku libur. Jadi malam ini aku akan bersenang-senang.” Jennifer menyahut asal, meneguk minumannya hingga tandas.
“Apa definisi bersenang-senang untukmu, Dok?” Pria itu mendekat, berdiri tepat di samping Jennifer yang duduk di kursi bar.
“Apa saja.” Jennifer menyahut tanpa menoleh. “Semua hal yang tidak bisa aku lakukan saat aku sedang bertugas, semua itu bisa disebut bersenang-senang.”
“Termasuk mabuk di bar sendirian begini?”
Jennifer mengangguk. “Termasuk ini.”
“Begitu?” Pria itu bergerak semakin dekat. “Apakah ditemani oleh pria tampan juga termasuk bersenang-senang?”
Jennifer terkekeh pelan. Ia menunduk, merasakan tubuhnya semakin dikuasai oleh alkohol.
“Aku anggap itu sebagai jawaban iya.” Pria itu bergerak semakin dekat hingga tubuh mereka sedikit bergesekan. “Aku tahu tempat yang lebih menyenangkan dibanding bar ini, Dok. Aku bisa memberimu kesenangan yang belum pernah kamu rasakan sebelumnya,” bisiknya lirih tepat di telinga Jennifer.
“Jangan menggodaku.” Jennifer berkata pelan, tidak benar-benar menolak godaan sang pria.
“Oh, apakah itu berhasil?”
Jennifer telah sempurna menoleh. Dan entah siapa yang memulai lebih dulu, bibir mereka kini telah berpagut. Tangan sang pria melingkari pinggang Jennifer, membawanya mendekat, mengangkat tubuh itu dengan mudah. Dan tanpa Jennifer sadari, ia telah dibawa ke sebuah kamar eksklusif yang berada di lantai atas gedung bar ini.
Bar dan seluruh gedung ini adalah milik The Onyx. Dengan kata lain, milik Igor Sylvanus. Dan pria yang sejak tadi menggodanya dan kini telah menidurkan tubuh Jennifer di atas ranjang kamar itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Igor Sylvanus.
“Sayang sekali tubuh sebagus ini harus bersembunyi di balik jas putih itu, Dok,” ucap Igor saat matanya meraup rakus pemandangan Jennifer yang terbaring pasrah di hadapannya.
“Aku juga tidak tahu pria menyebalkan itu punya tubuh sebagus ini.” Jennifer berkata berani, tangannya telah menjelajahi d**a Igor yang telanjang.
Igor menunduk, menyentuhkan hidungnya ke leher jenjang Jennifer, menghirup dalam-dalam aroma tubuh sang wanita. “Kamu punya aroma yang khas, aku suka,” bisiknya. Ia menyentuhkan bibirnya ke kulit halus Jennifer sambil menyeringai lebar, lantas memindahkan sepasang bibir tipis itu amat dekat ke telinga Jennifer. “Tapi jangan terlalu senang dulu, Dok. Aku di sini bukan hanya untuk bersenang-senang denganmu.”
“Hm? Apa maksudmu?” Jennifer menjawab malas. Ia masih sibuk menjelajahi tubuh Igor dengan tangannya, melenguh pelan saat merasakan hangat nafas Igor menggelitik telinganya.
Igor terkekeh rendah. Suara kekehannya terdengar penuh ancaman. “Aku juga akan menghukummu, memberimu pelajaran. Setelah ini, kamu tidak akan pernah lepas dari cengkramanku.”
Namun di saat Igor berpikir bahwa ia telah menjerat Jennifer dalam perangkapnya, saat itulah Jennifer justru berhasil kabur darinya.
Keesokan paginya, setelah mereka menghabiskan waktu bersama semalaman, Igor terbangun seorang diri di dalam kamar itu. Ia terlonjak tak percaya saat meraba tempat tidur di sampingnya telah kosong. Rasa hangat bekas seseorang tidur di atasnya masih terasa. Pertanda bahwa Jennifer baru saja pergi meninggalkannya. Bahkan aroma tubuh Jennifer masih lekat di hidungnya.
Igor menggeram murka. Ia segera meraih ponsel dan menelepon Mikhail.
“Di mana perempuan itu, hah?!” tanyanya tanpa basa-basi menyapa.
“Dokter Jen maksudmu? Bukannya dia bersamamu semalaman?” Suara Mikhail terdengar bingung.
“Dia hilang.”
“Dia kabur? Dia bisa kabur?” Mikhail berseru tak percaya kemudian tertawa terbahak-bahak. “Wah, bukankah dia luar biasa, Igor?”
“Berhenti memujinya dan cepat temukan dia, Mikhail! Temukan dia, bawa dia ke hadapanku dalam keadaan hidup. Kali ini, aku pastikan dia mendapatkan hukuman yang setimpal.” Igor memungkas panggilan telepon itu dengan perintah mutlak yang didorong oleh rasa marah dan sepercik rasa penasaran.
Bagaimana Jennifer bisa kabur dari Igor?
***
“Kamu tidur dengan siapa, Jen?” Sasha, salah satu perawat sekaligus teman dekat Jennifer bertanya dengan wajah mengernyit waspada.
“Pasien menyebalkan yang aku ceritakan waktu itu. Dia datang ke bar yang sama denganku dan you know, we had a great night.” Jennifer menceritakan pengalamannya sambil mengedikkan bahu tak peduli.
“Seriously?!” Sasha berseru semakin kencang, mendelik tak percaya.
Jennifer berdecak, melirik Sasha sinis. “Jangan berlebihan. Dia bukan pasien lagi setelah keluar dari ruangan ini. Dan itu bar, apapun bisa terjadi di sana.”
Sasha menggeleng tegas, mendekatkan kursinya ke kursi Jennifer. “Bukan itu masalahnya, Jen. Kamu tahu nggak sih dia tuh siapa?”
“Siapa? Ah, aku ingat namanya Igor.” Jennifer menjawab seadanya, kembali menulis di atas laporan rekam medis.
“Igor siapa? Kamu tahu?” Wajah Sasha semakin dekat ke arah Jennifer, mata bulatnya semakin membulat.
“Siapa, ya? Lupa.” Jennifer mengedikkan bahu, tak peduli.
Sasha menghela nafas berat. “Wajar sih, karena waktu itu yang menangani dia akhirnya dokter lain,” gumamnya pelan. Ia semakin mendekatkan dirinya, seolah mereka sedang membicarakan sebuah konspirasi. “Nama lengkapnya Igor Sylvanus.”
Jennifer berhenti menulis, menoleh, dan mengernyit. “Ya? Lalu kenapa?”
Sasha ternganga. “Kamu nggak tahu dia siapa?”
“Nggak tahu. Emang siapa? Dia bos sebuah perusahaan besar?”
“Bukan cuma itu!” Sasha berseru gemas. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Jennifer. “Dia pimpinan The Onyx. Kamu tahu? Salah satu saingan The Bratva.”
Tubuh Jennifer menegang seketika. Ia tahu The Bratva, kelompok mafia paling tua yang menguasai kegiatan ilegal bawah tanah di negeri ini. Tapi The Onyx? Ia hanya pernah mendengar namanya. Jika The Onyx adalah saingan The Bratva, maka bukan tidak mungkin kekuatan mereka juga setara. Kenyataan itu sudah cukup untuk membuat Jennifer merinding.
“Jangan bohong, Sasha.” Jennifer berkata dengan suara tercekat.
Sasha menggeleng tegas. “Aku nggak bohong. Dan apa kamu bilang tadi? Kamu meninggalkannya sebelum dia bangun? Jennifer, aku mulai khawatir dengan keselamatanmu. Jadi tolong dengarkan aku, malam ini tidurlah di rumah sakit dan jangan pulang. Rumah sakit ini lebih aman daripada apartemenmu yang sepi itu.”
Jennifer menelan ludah dan mengangguk. Ia merutuki kebodohannya dalam hati. Bagaimana bisa ia tidak memeriksa lebih jauh latar belakang pria yang tidur dengannya? Ah, tapi siapa juga yang melakukan itu saat gairah dan hasrat sudah mencapai titik puncak?
Maka saat malam semakin pekat, Jennifer menuruti nasehat Sasha untuk tetap tinggal di rumah sakit. Ia selalu membawa baju ganti dan alat mandi sehingga memudahkannya saat ia harus bekerja melebihi jam kerjanya. Menjadi dokter jantung berarti siap untuk melewati operasi panjang yang melelahkan dan bisa terjadi kapan saja, karena itu Jennifer tak pernah lupa membawa persiapan.
Rupanya, malam ini persiapan itu ia gunakan bukan untuk melewati operasi panjang, tapi untuk kabur dari Igor.
Lorong-lorong rumah sakit telah sepi saat Jennifer memilih untuk berjalan-jalan sebentar. Ia belum mengantuk dan mulai merasa bosan. Suara langkah kakinya terdengar menggema di lorong yang sempit dan sepi. Jennifer berjalan pelan menuju kantin rumah sakit yang buka 24 jam, ia berencana mencari cemilan dan minuman yang bisa menemaninya malam ini.
Namun sayang, ia tak pernah tiba di sana. Karena di satu titik di lorong panjang itu, dua orang pria meringkusnya dari belakang. Menutup mulut dan mata Jennifer dengan gerakan amat cepat, memanggul tubuhnya, dan membawanya pergi dari sana tanpa seorang pun yang tahu. Tanpa meninggalkan bekas apapun, bahkan tanpa adanya bukti kamera CCTV yang bisa diselidiki.
Ternyata Sasha keliru, rumah sakit tetap bukan tempat yang aman untuk kabur dari kejaran Igor. Lebih tepatnya, tidak ada tempat yang aman.