“Chert voz'mi!” Anatoli mengumpat saat mayat Leonid tiba di markasnya.
Ia berjalan menghampiri peti mayat yang terbuka. Mayat Leonid terbaring di sana. Masih mengenakan pakaian taktis yang sama saat ia meninggalkan markas. Bedanya, pakaian itu telah basah oleh darah dan di d**a kiri Leonid masih tertancap belati milik Igor.
Anatoli menggertakkan giginya, mengepal kuat saat menatap wajah adik satu-satunya itu. “Leonid….” Ia mendesah lirih. Jantungnya serasa ditusuk sembilu melihat tubuh tak bernyawa sang adik. Air matanya nyaris tumpah, namun perasaan sentimen itu cepat-cepat berubah menjadi amarah yang menggelegak.
Anatoli menyentuh wajah sang adik, membelainya hati-hati. “Aku akan membalas semua ini,” geramnya penuh tekad.
Anak buah Anatoli yang berada di sekitarnya hanya bisa terdiam. Ini momen sedih sekaligus menegangkan. Karena kesedihan yang menumpuk di d**a Anatoli menjadi bahan bakar untuk kebenciannya pada Igor.
“Leonid, aku pastikan kematianmu tidak akan sia-sia.” Anatoli bicara lagi. Suaranya kental oleh emosi dan dendam.
Tangannya bergerak turun, menyentuh belati milik Igor yang masih menancap di sana. Seolah mengejek Anatoli tentang kematian adiknya.
“Aku akan membunuh b******n itu dengan belati miliknya sendiri.” Ia berbisik pada dirinya sendiri, seolah kalimat itu ia benamkan ke dalam pikiran dan hatinya. Ia ukir dalam-dalam agar tak mudah terhapus, ia jadikan sebagai bensin yang menyiram bara api dendamnya pada Igor.
Anatoli mencabut belati itu perlahan, menyisakan luka robek selebar beberapa senti di d**a Leonid. “Aku akan menancapkan belati ini ke dadanya dan merobek jantungnya!” Ia berseru penuh amarah, menatap belati di tangannya penuh kebencian.
Anak buah Anatoli yang mendengar deklarasi penuh dendam itu mengangguk mantap. Mereka siap berada dalam satu barisan dengan Anatoli untuk mencabut nyawa Igor seperti Igor mencabut nyawa Leonid.
“Siapkan pasukan sekarang juga!” Anatoli berseru lantang, menatap nyalang para anak buah yang mengerumuninya.
“Tolong jangan gegabah, Bos.” Seorang pria mendekati Anatoli.
Anatoli menyipitkan matanya tak suka. “Apa maksdmu? Kau mau memintaku menunggu untuk membalaskan sakit hatiku pada b******n itu?!”
“Bukan begitu. Sekarang kita tahu ketangguhan Igor. Dia telah menjadi target pembunuhan secara brutal beberapa tahun terakhir. Tapi sampai detik ini, b******n itu masih hidup. Itu artinya, kita tidak bisa menggunakan cara yang sama untuk membunuhnya.” Nikolai, salah satu orang kepercayaan Anatoli itu mencoba menyampaikan analisisnya.
“Tapi kita sudah berhasil masuk ke kamar tidurnya!”
“Justru karena kita sudah berhasil masuk ke kamar tidurnya dan gagal menjalankan misi, itu artinya Igor akan semakin mengetatkan sistem keamanan di markasnya.”
Anatoli menggeram kesal karena kalimat Nikolai benar adanya.
“Dan itu akan membuat kita harus memeras otak sekali lagi untuk menembus pertahanan mereka.” Nikolai menambahkan.
“Lalu apa saranmu, Nik?”
“Kau tahu, Bos. Dalam perang, musuh dari musuh kita adalah kawan.” Nikolai menyeringai.
Kedua alis tebal Anatoli bertaut. “Apa maksudmu?”
“Kita tahu bahwa The Onyx selalu bersitegang dengan The Bratva. Mereka mungkin tak pernah saling menyerang, tapi kita tahu bahwa mereka selalu siap berperang kapan saja. Mereka saling mengawasi, saling menjaga teritori masing-masing, tapi jika salah satu dari mereka merasa terusik, perang akan meletus.” Seringai Nikolai melebar. “Dan kita bisa menghancurkan The Onyx tanpa perlu turun tangan langsung, Bos.”
Anatoli masih mengernyit selama beberapa saat, mencerna maksud kalimat Nikolai. “Jadi maksudmu, kita teruskan adu domba ini?”
Nikolai mengangguk. “Tapi kita naikkan levelnya.”
“Maksudmu?”
“Bos, musuh kita dan musuh Bratva adalah sama, yaitu Igor dan The Onyx,” jelas Nikolai pelan dengan seringai masih melekat di wajahnya.
Tawa Anatoli meledak begitu ia menyadari maksud dari kalimat Nikolai. “Kirim pesan ke markas The Bratva sekarang juga! Aku tidak mau ada penundaan!” perintahnya tegas dan antusias.
***
“Kapan biasanya terjadi? Pemicunya?” Jennifer bertanya sambil menempelkan stetoskop ke d**a Igor.
Setelah seharian kemarin beristirahat penuh di kamar Igor, kondisi Jennifer pasca membunuh Leonid itu sudah jauh membaik. Hari ini ia bisa mulai melakukan tugas yang diberikan Igor padanya.
“Tidak ada pemicu pasti. Bisa tiba-tiba sakit dan berdebar tanpa ada penyebab pasti.” Igor menjelaskan. “Masalahnya adalah saat kambuh, sakitnya luar biasa, beberapa kali aku diduga gagal jantung.”
“Pemicu sembuhnya apa?” Jennifer bertanya lagi sambil memindahkan stetoskop ke daerah lain di d**a Igor.
“Itu juga tidak bisa dipastikan. Kadang bisa berlangsung selama bermenit-menit, kadang juga hanya beberapa menit saja.”
Jennifer mengangguk mengerti, menghela nafas. Ini kasus yang aneh dan tak pernah terjadi. “Kita coba EKG setelah ini, ya?”
“Tapi aku kan sedang tidak kambuh?” Igor mengernyit.
“Nggak masalah. Kita lihat dulu kalau sedang sehat begini apakah ada kelainan atau tidak.” Jennifer mengambil alat EKG yang tersedia di ruangannya, mendekatkannya pada Igor.
Igor segera duduk dan melepas kemejanya, kemudian kembali berbaring di atas kasur.
Melihat Igor bertelanjang d**a, Jennifer selalu merasakan desiran halus. Tubuh pria itu memang seperti pahatan dewa Yunani. Ditambah beberapa luka di sana-sini, membuatnya terlihat semakin atraktif.
“Kamu sedang bertugas, Dok. Jangan memikirkan hal lain,” goda Igor saat melihat tatapan Jennifer tak bisa lepas dari tubuhnya.
Jennifer berdecak kesal, mengalihkan tatapannya. “Aku tahu.”
“Nanti malam kita punya waktu berdua yang panjang. Aku sudah menyuruh Mikhail memesankan beberapa gaun tidur yang cocok untukmu.” Igor menyeringai, membayangkan kegiatan apa saja yang bisa mereka berdua lakukan nanti malam.
“Ck, diam, Igor!” sahut Jennifer ketus sambil menempelkan beberapa kabel ke d**a Igor. Dibanding suaranya yang ketus, wajah Jennifer sudah merona.
Tawa renyah Igor lepas ke udara. “Apakah harus kupesankan satu set lingerie juga? Kamu suka warna apa, Dok? Merah atau hitam?”
Kedua mata Jennifer membelalak seketika. Ia mencubit pinggang Igor gemas. “Berhenti bicara. Aku sedang memeriksamu, Igor!”
Igor tertawa terbahak-bahak. Tatapannya berubah tajam dan gelap. “Kamu harus membayar untuk cubitan itu, Dok.”
Jennifer tak memedulikan ancaman Igor, ia beralih pada alat EKG yang sudah terpasang sempurna di d**a Igor dan mulai menyalakan mesin EKG. Membiarkan alat itu merekam kinerja jantung Igor.
Seharusnya, Jennifer tidak meremehkan ancaman Igor. Karena Igor tak pernah bicara omong kosong. Apa yang ia ucapkan, itulah yang akan ia lakukan. Tapi, apakah Jennifer akan menyesal telah meremehkan ancaman Igor? Atau ia justru menikmatinya? Entahlah. Jawabannya nanti malam.
“Bagaimana kronologi kejadian kamu diracun itu?” tanya Jennifer sambil melepas kembali kabel-kabel yang menempel di d**a Igor setelah prosedur EKG selesai.
Igor menghela nafas. Wajahnya berubah serius. “Saat itu di jamuan makan malam di Jepang, tepatnya di Tokyo. Aku sedang menghadiri pernikahan salah seorang kolega bisnis. Semuanya berjalan normal, tapi setelah aku menghabiskan hidangan dessert yang mereka siapkan, aku mulai merasakan jantungku berdebar cepat. Selepas acara resepsi pernikahan itu, aku langsung dilarikan ke rumah sakit karena aku mengalami gejala mirip gagal jantung. Dan ternyata, dokter bilang ada jejak racun di darahku. Karena jumlahnya kecil, aku berhasil selamat setelah mendapatkan penanganan medis.”
Jennifer duduk di tepi kasur, mendengarkan Igor dengan seksama.
“Karena itu perjamuan besar dan banyak tamu yang hadir, banyak sekali orang yang terlibat, aku sulit menemukan siapa dalang dibalik kejadian itu. Kolega bisnisku sudah membantu sebisa mungkin, menggeledah anak buahnya, menginterogasi para pekerja yang terlibat di hari itu, tapi kami tetap tidak menemukan apapun.”
Jennifer masih diam, kertas hasil EKG itu sudah berada di tangannya. “Dan sampai sekarang kamu belum menemukan siapa dalang di balik kejadian itu?”
Igor menggeleng. “Aku pernah mengira bahwa itu kebetulan saja, bahwa aku korban salah sasaran. Tapi itu terlalu kebetulan untuk disebut salah sasaran. Karena aku tahu, harga kepalaku bisa membuatmu hidup mewah selama bertahun-tahun.” Ia terkekeh pelan di ujung kalimatnya, seolah itu adalah hal yang menggelikan, bukan mengerikan.
Jennifer bisa mengerti maksud kalimat itu. Ya, siapa yang tidak mau memenggal kepala seorang Igor Sylvanus? Pimpinan tertinggi The Onyx, pemilik bisnis produksi senjata ilegal di Moskow dan bisnis-bisnis gelap lainnya. Musuh-musuh The Onyx pasti ingin menyaksikan kepala Igor terputus dari badannya.
Hening melingkupi keduanya saat Jennifer sibuk membaca hasil EKG milik Igor. Kedua alisnya bertaut saat ia mendapati hal yang aneh dari hasil rekaman aktivitas listrik jantung Igor.
“Ada apa?” tanya Igor saat melihat kernyitan di wajah Jennifer, ia sedang mengenakan kembali kemejanya.
“Kamu nggak merasakan apa-apa sekarang? Dadamu sakit dan lain sebagainya?”
Igor menggeleng.
Dan itu membuat kernyitan di wajah Jennifer semakin dalam. “Ini aneh.”