Luka yang Disembunyikan Senyuman

1329 Kata
Sudah seminggu berlalu sejak hari itu, hari yang mengubah hidup Cindera selamanya. Rumah keluarga Bimantara kini sunyi. Tirai yang dulu terbuka cerah kini tertutup rapat, dan aroma bunga melati yang dulu memenuhi ruangan kini berganti dengan udara dingin dan lembab. Cindera mengurung diri di kamar. Gaun pastel yang dulu ia pakai saat menanti Banyu kini tergantung di pojok lemari, kusut dan berdebu. Di meja rias, foto dirinya bersama Banyu sudah terbalik, tak sanggup lagi ia pandangi wajah itu. Hari-harinya diisi dengan diam. Makan hanya dua suap, bicara pun nyaris tak pernah. Sesekali, suara isaknya terdengar lirih dari balik pintu kamar, dan ibunya hanya bisa menangis di luar, tak tahu bagaimana cara menenangkan putri tunggalnya. Sore itu, Kinanti, sepupu yang kini menjadi tunangan Banyu, datang bersama ibunya — tante Ratmi. Mereka membawa buah tangan dan bunga, seolah datang menjenguk dengan niat baik. > “Cindera, Sayang… kamu harus kuat ya. Om dan Tante khawatir, loh,” suara Ratmi terdengar lembut namun penuh nada basa-basi. “Iya, Cindera,” sambung Kinanti dengan senyum kecil. “Aku tahu kamu pasti kaget… tapi semua ini mungkin sudah takdir. Jangan disesali terlalu dalam, ya?” Cindera menatap mereka tanpa kata. Matanya sembab, wajahnya pucat, bibirnya kering. Ia hanya mengangguk pelan, meski dadanya terasa perih mendengar nama Kinanti — perempuan yang kini menggantikan posisinya di hati Banyu. Kinanti duduk di tepi ranjang, berpura-pura menggenggam tangan Cindera. > “Aku benar-benar kasihan sama kamu, Cin…” katanya lembut, tapi di sudut bibirnya terselip senyum yang tak tulus. “Banyu cuma mengikuti keinginan orang tuanya. Aku pun nggak tahu kenapa mereka memilihku…” Kalimat itu seperti garam yang ditabur di luka terbuka. Cindera menunduk, air mata jatuh di punggung tangannya. Di belakang mereka, ibu Kinanti, Ratmi, melirik anaknya dan tersenyum samar, penuh kemenangan. “Kasihan, ya, Nak,” bisiknya lirih. “Tapi ini sudah jalan hidup. Yang penting kamu bahagia.” Begitu mereka pergi, Cindera menatap ke arah pintu yang tertutup perlahan. Matanya kosong, hatinya nyaris mati rasa. Ia sadar, dunia tak hanya mengambil hartanya, tapi juga cinta, martabat, dan kepercayaan terhadap orang yang selama ini ia sebut keluarga. Malam itu, ia duduk di tepi jendela, menatap langit gelap tanpa bintang. “Mereka bahagia di atas penderitaanku…” bisiknya lirih. “Mungkin Tuhan sedang mengajarkanku bagaimana rasanya kehilangan segalanya.” Air matanya jatuh lagi tapi kali ini tanpa suara. Hanya hatinya yang menangis keras, memanggil nama seseorang yang tak akan pernah datang lagi: Banyu Biru Nugraha. --- Sementara Cindera terbaring lemah di kamarnya, di rumah besar keluarga Banyu Biru Nugraha, suasana justru berbeda. Hari itu, mereka tengah bersiap menerima beberapa tamu keluarga dari pihak Kinanti, sepupu Cindera yang kini resmi menjadi calon pengantin baru. Namun di balik kesibukan itu, ada rasa canggung yang menebal di udara. Sejak pembatalan pertunangan, Banyu sendiri tak pernah benar-benar tenang. Wajahnya sering kosong, dan setiap kali mendengar hujan turun, pikirannya melayang pada hari yang seharusnya menjadi hari pertunangan mereka. “Kamu kenapa melamun, Nak?” tanya ibunya, Ny. Ratri Nugraha, sambil memeriksa baki hantaran. “Tidak apa-apa, Bu…” jawab Banyu pelan. “Kamu masih memikirkan Cindera, ya?” Banyu tak menjawab, hanya menghela napas panjang. Bayangan wajah Cindera dengan senyum lembutnya muncul di benaknya, senyum yang kini mungkin telah hilang selamanya. Sejak kabar pembatalan pertunangan tersebar, keluarga Nugraha sebenarnya sempat dilanda kecemasan. Mereka khawatir keluarga Brama Yudha Bimantara — meskipun telah jatuh miskin — akan datang menegur, marah, atau menuntut penjelasan. “Ayahmu sampai menyiapkan pengacara, loh,” ujar ibunya saat itu, setengah berbisik. “Kita tidak tahu, siapa tahu keluarga mereka marah dan menuntut secara hukum.” “Aku berharap tidak sampai seperti itu,” balas Banyu pelan. “Pak Brama orang baik… begitu juga Cindera.” Namun hari berganti minggu. Tidak ada satu pun kabar dari pihak keluarga Bimantara. Tak ada yang datang ke rumah, tak ada telepon, tak ada surat keberatan, bahkan tidak ada satu kata pun yang keluar dari mereka. Diam. Hanya diam yang menyelimuti. Dan justru diam itulah yang paling menghantui keluarga Banyu. "Mereka benar-benar tidak akan datang?” tanya Ny. Ratri di suatu sore. “Tidak, Bu,” jawab Banyu lirih. “Mungkin… mereka terlalu hancur untuk sekadar bicara.” Banyu menatap ke luar jendela. Hujan kembali turun, deras dan panjang, seperti hari itu — hari ia menghancurkan hati seorang gadis yang hanya tahu cara mencintai dengan tulus. Kini, meski ia telah bertunangan dengan Kinanti, nama Cindera terus terngiang di benaknya. Ia tahu, mungkin ia tidak pantas lagi memikirkan perempuan itu. Namun rasa bersalah itu tumbuh seperti bayangan — mengikuti ke mana pun ia pergi, tak pernah hilang meski ia berpura-pura bahagia. Di tempat lain, di kamar yang gelap dan sepi, Cindera masih menatap foto mereka berdua yang retak di bingkainya. Dua hati yang dulu saling berjanji kini terpisah oleh keegoisan dan gengsi keluarga. Dan diam antara mereka menjadi saksi, bahwa kadang, luka yang paling dalam tak butuh amarah untuk terasa… hanya butuh pengkhianatan yang dibungkus kesunyian. --- Keesokan harinya, rumah keluarga Bimantara sunyi seperti kuburan. Tak ada lagi suara tawa, tak ada lagi aroma masakan ibu, tak ada langkah kaki para tamu yang dulu datang memberi selamat. Yang tersisa hanya keheningan… dan isak tertahan di balik pintu kamar Cindera. Sejak pagi, Cindera belum keluar kamar. Pintu itu tertutup rapat, tirai jendela juga menutupi sinar matahari yang seharusnya menerangi ruang itu. Di atas ranjang, gadis itu duduk dengan mata kosong, rambut berantakan, wajah pucat tanpa sedikit pun rona. Gaun pastel yang dulu ia kenakan masih tergantung di kursi, belum ia sentuh lagi. Cermin di meja rias ditutupi kain putih — ia tak sanggup menatap pantulannya sendiri. “Cindera, Nak… makan dulu, ya,” suara lembut ibunya terdengar dari luar pintu. Tak ada jawaban. Hanya keheningan. Ayahnya, Brama Yudha Bimantara, berdiri tak jauh dari situ. Wajahnya menua beberapa tahun hanya dalam semalam. Matanya berkaca-kaca, menatap pintu kamar anak gadisnya yang dulu begitu ceria. “Dia bahkan malu menatap kita, Ma,” ucap Brama lirih. Istrinya menunduk, suaranya bergetar. “Aku tahu… dia pasti merasa kita kecewa. Tapi Tuhan tahu, aku hanya ingin dia bahagia.” Namun bagi Cindera, kebahagiaan sudah terasa jauh. Ia tidak hanya kehilangan cinta, tapi juga harga diri. Ia merasa menjadi beban, menjadi penyebab keluarga mereka semakin hancur dan dipermalukan di mata masyarakat. "Ayah, Ibu pasti malu punya anak seperti aku…” bisiknya di dalam kamar, suaranya serak karena terlalu sering menangis. “Aku nggak bisa keluar… aku nggak sanggup lihat mereka…” Ia menggenggam foto keluarga yang retak di bingkainya. Air matanya jatuh membasahi wajah di foto itu. Ia teringat bagaimana dulu semua orang menyebutnya “gadis beruntung” karena akan menikah dengan Banyu, putra keluarga terpandang. Dan kini, hanya semalam, ia menjadi bahan kasihan dan bisikan di antara tetangga. Hari demi hari berlalu, namun Cindera tetap di kamarnya. Tubuhnya makin kurus, matanya cekung, dan senyum yang dulu mudah muncul kini menghilang sama sekali. Kadang, di malam yang sepi, ibunya bisa mendengar tangisan putrinya dari balik pintu, pelan, lirih, seperti rintihan orang yang kehilangan arah hidup. “Kenapa semuanya harus begini, Bu…? Aku cuma ingin dicintai dengan tulus…” “Apa salahku… kalau aku lahir di keluarga yang jatuh miskin?” ----- Tak ada yang menjawab. Yang terdengar hanya suara angin malam menembus celah jendela, membawa dingin yang menyesakkan d**a. Dan di luar kamar itu, dua orang tua hanya bisa saling berpandangan — menanggung rasa bersalah yang tak kalah berat. Mereka kecewa pada keadaan, tapi lebih dari itu… mereka hancur melihat anaknya kehilangan cahaya. Hari itu, dunia seolah berhenti bagi Cindera. Bahkan untuk sekadar menatap wajah ayah dan ibunya, ia tidak sanggup. Yang tersisa hanya rasa malu, kecewa, dan cinta yang terkubur di bawah reruntuhan harapan yang tak pernah jadi kenyataan. "Mas Banyu...apa kamu sudah lupa dengan janji kita mas...Setidaknya....katakan satu saja kesalahanku, mas,"lirih Cindera. ----- Sementara di sebuah ruangan dengan cahaya tak begitu terang, dan desain ruang yang amat elegan. Seorang laki-laki dan ayah Cindera tengah berbicara. "Kau... butuh bantuan bukan?"Tanya laki-laki itu. "I-iya,saya perlu untuk modal membuka usaha baru, kecil-kecilan,tuan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN