Hari pertama Cindera kembali mengenakan jas dokter putih setelah berbulan-bulan terpuruk, hatinya berdebar luar biasa. Bau khas antiseptik rumah sakit menyambutnya saat ia melangkah masuk ke ruang staf, mencoba menenangkan diri dengan menarik napas panjang.
Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri — mulai hari ini, ia akan bangkit, tidak lagi menoleh pada masa lalu.
Namun, takdir ternyata punya cara sendiri untuk menguji keteguhannya.
Saat sedang menata berkas pasien di ruang dokter muda, suara langkah berat terdengar dari arah pintu. Cindera menoleh, dan dadanya seketika mencelos.
Pria itu berdiri di ambang pintu dengan jas putih yang sama, wajah tenang, dan mata tajam yang dulu selalu menatapnya penuh cinta.
Banyu Biru Nugraha.
Keduanya saling memandang beberapa detik — hening, canggung, dan penuh kenangan yang berjejal di antara udara dingin ruangan itu.
“Cindera?” suara Banyu pelan, seperti ragu menyebut nama itu.
Cindera menegakkan tubuhnya, mencoba tersenyum sopan walau hatinya bergetar. “Selamat pagi, Dokter Banyu.”
Sapaan formal itu terdengar dingin, begitu jauh dari cara ia dulu menyebut nama itu dengan penuh kasih.
Banyu berdeham pelan. “Kamu ditempatkan di sini juga?”
“Iya,” jawab Cindera singkat, tangannya sibuk merapikan berkas agar tak terlihat gemetar. “Saya dapat jadwal magang di bagian kamu.”
Banyu hanya mengangguk pelan. Tatapannya tampak menahan sesuatu, mungkin rasa bersalah yang selama ini tak pernah terucap.
Namun bagi Cindera, setiap detik di dekatnya adalah ujian berat. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak kencang — bukan karena cinta, tapi karena luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
“Baiklah,” ucap Banyu akhirnya. “Kalau begitu, selamat datang di tim.”
Nada suaranya sopan, datar, nyaris profesional — sama seperti orang asing yang baru bertemu.
Cindera tersenyum kecil, meski matanya memanas. “Terima kasih, Dokter.”
Saat Banyu melangkah keluar, Cindera menunduk dalam. Di matanya terbayang kenangan masa lalu, tawa, janji, dan cinta yang pernah mereka bagi. Semuanya kini terasa seperti mimpi yang retak.
Dalam hati, ia berbisik lirih,
“Kita pernah jadi segalanya satu sama lain… dan sekarang, bahkan menyapa pun terasa begitu sulit.”
Namun di balik luka itu, ada tekad yang mulai mengeras.
Cindera tahu, dunia tak akan menunggu orang yang berhenti karena patah hati. Ia harus melangkah ,meski di hadapannya kini berdiri orang yang paling ia cintai, sekaligus yang paling ia benci.
Siang itu, ruang istirahat dokter tampak ramai oleh suara langkah para tenaga medis yang baru saja menyelesaikan jadwal jaga. Cindera duduk di pojok ruangan, sibuk memeriksa catatan pasien sambil mencoba menenangkan pikirannya yang sejak pagi sudah diguncang oleh pertemuan canggung dengan Banyu.
Ia berusaha keras menata diri, meneguk air mineral pelan, mencoba fokus pada tugasnya — hingga suara ceria yang sangat familiar membuatnya menoleh.
“Eh, Cindera!”
Cindera menatap ke arah sumber suara itu. Di sana berdiri seorang perempuan muda dengan wajah cantik dan senyum lebar — Kinanti, sepupunya. Jas koas putihnya tampak baru, dan gaya bicaranya masih sama seperti dulu: percaya diri, sedikit manja, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian.
“Oh, kamu di sini juga?” ucap Kinanti dengan nada dibuat ramah, meski sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lain — semacam kepuasan terselubung.
Cindera mencoba tersenyum tipis. “Iya. Aku baru mulai minggu ini. Kamu juga koas di sini, ya?”
Kinanti mendekat sambil tertawa kecil. “Iya dong! Dunia sempit ya… siapa sangka kita bakal kerja di rumah sakit yang sama.”
Belum sempat Cindera menjawab, Kinanti dengan sengaja mengangkat tangan kirinya — menampakkan sebuah cincin berlian berkilau yang langsung menarik perhatian beberapa rekan di sekitar mereka.
“Oh iya, kamu belum tahu ya, Cindera?” katanya dengan nada lembut tapi menusuk. “Ini cincin dari Banyu. Dia ngelamar aku minggu lalu.”
Waktu seolah berhenti sejenak.
Cindera terdiam. Matanya membulat, sementara suara detak jantungnya terdengar sampai ke telinga sendiri.
Kinanti tersenyum puas melihat reaksi itu, lalu menatap cincinnya dengan bangga. “Kamu tahu, Cindera… Banyu itu orangnya luar biasa. Aku bersyukur banget bisa punya dia. Aku harap kamu juga bisa bahagia buat kami, ya.”
Cindera menelan ludah, memaksa dirinya tetap tenang. Ia tak ingin terlihat lemah, meski hatinya terasa remuk. “Selamat ya, Kinanti,” ucapnya pelan tapi tegas. “Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu.”
Kinanti terkekeh kecil. “Oh tentu, aku pasti bahagia.” Ia menepuk bahu Cindera ringan, lalu berjalan keluar dengan langkah ringan meninggalkan aroma parfum mahal dan rasa perih yang menyesakkan di d**a Cindera.
Begitu pintu tertutup, Cindera menunduk, menggenggam tangan sendiri erat-erat. Air matanya nyaris jatuh, tapi ia menahannya dengan seluruh kekuatan yang tersisa.
Dalam hati ia berbisik,
“Bahkan setelah semua yang mereka ambil dariku, aku masih harus tersenyum di depan mereka…”
Namun di balik air mata yang nyaris jatuh, tekad itu kembali menyala.
Jika dulu ia hancur karena kehilangan cinta, kini ia akan berdiri , bukan untuk membuktikan apapun pada Banyu melainkan pada dirinya sendiri.
Dengan langkah ringan dan wajah penuh senyum, Kinanti masuk ke ruang dokter setelah rapat selesai. Aroma parfum lembutnya tercium samar, membuat beberapa perawat saling melirik penasaran. Banyu baru saja menutup map rapatnya saat suara lembut Kinanti terdengar,
“Dok, udah selesai rapatnya?”
Semua mata langsung tertuju pada mereka berdua. Cindera, yang berdiri tak jauh dari meja perawat sambil menulis laporan pasien, sempat tertegun saat melihat Kinanti berjalan mendekat dengan gaya manja, menyentuh lengan jas dokter Banyu dengan akrab.
“Tadi aku bawain kopi kesukaan kamu, tapi dingin deh sekarang,” ujar Kinanti sambil tersenyum menggoda, menaruh gelas kopi di depan Banyu.
Beberapa staff menahan napas, saling bertukar pandang. Situasi itu terasa janggal, apalagi bagi Cindera yang kini harus berpura-pura sibuk dengan catatan medisnya agar tak terlihat goyah.
Banyu menegakkan tubuhnya, berusaha menjaga wibawa di hadapan rekan kerja lain. Namun, Kinanti justru menatapnya dengan tatapan lembut, lalu berkata dengan suara yang cukup keras untuk didengar semua orang:
“Kamu belum cerita ke teman-teman kalau aku yang kasih cincin ini, kan?”
Sontak ruangan hening. Beberapa dokter muda dan perawat tampak menatap cincin yang berkilau di jari manis Kinanti.
Sementara itu, d**a Cindera terasa sesak. Tangannya berhenti menulis. Ia berusaha menahan air mata yang mulai menggenang, menunduk agar tak ada yang menyadari perubahan ekspresinya.
Begitu rapat benar-benar usai dan satu per satu staf medis meninggalkan ruangan, suasana berubah menjadi hening dan menegangkan. Kinanti sudah lebih dulu melangkah pergi sambil menggenggam lengan Banyu sekilas, lalu meninggalkannya dengan senyum puas yang masih tersisa di bibirnya.
Kini hanya tersisa Banyu dan Cindera di ruang dokter yang perlahan terasa sempit dan sesak. Cindera masih berdiri di depan meja kerjanya, berpura-pura sibuk menulis laporan pasien, padahal matanya buram oleh air mata yang nyaris jatuh.
Banyu menarik napas panjang, lalu berkata pelan,
“Cindera… aku bisa jelaskan semuanya.”
Cindera berhenti menulis. Suaranya datar namun bergetar saat menjawab tanpa menoleh,
“Tidak perlu, Dokter Banyu. Urusan pribadi tidak pantas dibicarakan di tempat kerja.”
Nada formalnya begitu dingin, membuat Banyu terdiam sejenak. Ia melangkah mendekat, berusaha menjaga jarak tapi tak mampu menahan keinginannya untuk menjelaskan.
“Aku nggak pernah bermaksud buat kamu merasa dipermalukan. Apa yang Kinanti bilang tadi… itu bukan seperti yang kamu pikir.”
Cindera akhirnya menoleh, matanya memerah namun tatapannya tegas.
“Lalu bagaimana? Cincin itu jelas-jelas dari kamu, kan? Dan kamu diam saja di depan semua orang. Itu sudah cukup menjelaskan segalanya.”
Banyu menunduk, menggenggam tangannya erat. “Aku,aku memang kasih cincin itu, tapi bukan karena…” suaranya melemah, lalu menatap Cindera dengan mata yang penuh sesal, “...bukan karena cinta. Aku hanya… nggak mau mempermalukan dia setelah dia terlalu jauh bicara.”
Cindera tersenyum pahit.
“Lucu ya, kamu dulu juga nggak mau mempermalukanku… makanya kamu pilih pergi di hari pernikahan kita.”
Ucapan itu membuat Banyu terpaku. d**a Cindera naik turun, menahan perih yang selama ini ia pendam.
“Sekarang aku ngerti, mungkin rasa malu lebih penting bagimu daripada rasa cinta,” lanjutnya lirih.
"Baiklah, selamat untuk kalian, semoga saja kalian bahagia, se-la-manya..."Tanpa menunggu jawaban, Cindera menutup map laporan dan berjalan melewati Banyu dengan langkah cepat. Wangi parfum medis dari jas putihnya tertinggal di udara, bersama dengan perasaan yang belum sempat terselesaikan.
Banyu hanya bisa menatap punggungnya menjauh, menyesali bahwa wanita yang dulu ingin ia lindungi kini justru menjadi orang yang paling ia lukai. Banyu masih membayangkan bagaimana dia menunggu saat pulang kerja bersama, menikmati hari-hari berdua dan merencanakan masa depan mereka. Namun kini semua tinggal kenangan.