Suasana rumah sakit sore itu begitu lengang. Hanya terdengar suara langkah perawat yang sesekali lewat di lorong panjang. Cindera berjalan pelan menuju ruang rapat dokter, membawa berkas hasil pemeriksaan pasien yang harus ditandatangani oleh dr. Banyu.
Namun, begitu ia membuka sedikit pintu ruangan itu, napasnya tercekat.
Di dalam sana, terlihat Banyu berdiri kaku di sudut ruangan, sementara Kinanti berdiri sangat dekat di depannya.
"Mas...."
“Kinanti, jangan seperti ini…” suara Banyu terdengar pelan, bergetar. Tapi Kinanti justru tersenyum tipis, penuh keberanian.
“Aku hanya ingin menunjukkan… bahwa aku mencintaimu, Mas.”
Sebelum Banyu sempat bergerak, Kinanti memeluknya erat. Bahkan bibir mereka sudah saling menempel. Banyu sempat ragu mengikuti permainan bibir Kinanti. Namun Kinanti sangat mampu membangkitkan gairah Banyu.
Cindera terdiam di balik pintu. Dunia seolah berhenti berputar. Suara degup jantungnya sendiri menggema di telinga. Tangannya yang memegang berkas mulai gemetar hebat.
Banyu sempat berusaha melepaskan pelukan itu, namun tidak juga menjauh. Ada keraguan, ada rasa bersalah yang jelas terlihat di wajahnya.
Bagi Cindera, pemandangan itu lebih dari sekadar pengkhianatan, itu kehancuran.
Ia menutup pintu perlahan, tidak ingin terlihat.
Air matanya menetes satu-satu, jatuh di atas berkas pasien yang masih ia genggam.
Langkahnya goyah meninggalkan ruangan itu. Hatinya seolah diremuk tanpa ampun.
Langkah Cindera terasa berat. Lorong rumah sakit yang biasanya ramai kini terasa sunyi dan panjang. Lampu-lampu putih di atas kepalanya berpendar lembut, tapi di matanya yang basah semuanya tampak buram.
Air matanya menggenang, tapi ia menahan agar tidak jatuh—ia tak ingin ada yang tahu, apalagi rekan sejawat.
Namun begitu melewati ruang perawatan nomor 305, pintu di sisi kanan terbuka.
Elvan keluar dengan wajah dingin seperti biasanya, namun langkahnya berhenti ketika melihat sosok Cindera.
Dokter muda itu berjalan dengan mata merah, pundak gemetar, dan senyum paksa yang tak berhasil menutupi luka di wajahnya.
“Dokter Cindera?” panggil Elvan, suaranya datar tapi dalam.
Cindera tersentak, buru-buru menyeka air matanya. “Oh—maaf, saya… saya hanya sedang terburu-buru.”
Elvan memandangnya lama. “Kau menangis.”
Nada suaranya tidak bernada tanya, tapi pernyataan pasti.
Cindera menunduk, memeluk map berkas di dadanya. “Tidak, saya hanya—kelelahan.”
Elvan mengerutkan kening. Ada sesuatu di balik kegetiran perempuan itu yang sulit ia abaikan. Biasanya ia tak peduli dengan urusan orang lain, tapi kali ini berbeda.
“Kau dokter yang merawat kakekku,” katanya pelan. “Kalau kau sendiri sampai selemah ini, bagaimana bisa kau menjaga pasienmu?”
Cindera menatapnya, matanya bergetar di antara marah dan sedih. “Saya masih profesional, Tuan tenang saja. Air mata ini urusan pribadi saya, bukan bagian dari tugas.”
Elvan menatapnya lagi, kali ini dengan pandangan yang lebih lembut dari biasanya. “Aku tidak bermaksud merendahkanmu,” katanya akhirnya. “Tapi kalau dunia sudah kejam, jangan biarkan dirimu ikut hancur.”
Cindera terdiam. Ucapan itu entah kenapa menembus pertahanannya. Ia hanya mengangguk pelan lalu berlalu, menyembunyikan wajahnya.
Elvan menatap punggungnya yang menjauh di lorong, diam-diam ada rasa aneh yang tumbuh di dadanya, rasa iba yang perlahan berubah menjadi penasaran.
"Kenapa dia?Kok nangis?"
---
Hujan rintik-rintik mulai turun membasahi kaca depan mobil. Wiper bergerak pelan, menciptakan irama lembut yang mengisi keheningan di antara mereka. Lampu-lampu kota menari di pantulan kaca, dan di kursi penumpang, Cindera hanya menatap keluar jendela dengan pandangan kosong.
Elvan melirik sekilas ke arahnya. Wajah Cindera tampak sayu, ada lelah dan luka yang jelas belum sembuh.
“Kau selalu pulang larut seperti ini?” tanya Elvan membuka percakapan.
Cindera menunduk sedikit. “Iya. Kadang harus menyelesaikan administrasi atau memeriksa pasien tambahan. Tapi biasanya saya pulang naik ojek online.”
Elvan mengernyit. “Ojek? Di jam segini?”
Nada suaranya tak bisa menyembunyikan kekesalan halus yang entah datang dari mana.
Cindera tersenyum tipis, getir. “Saya tidak punya pilihan lain, Elvan. Mobil keluarga sudah dijual. Sekarang, semua yang saya miliki hanyalah profesi saya. Itu pun belum cukup membantu banyak.”
Elvan menatapnya lama, matanya yang dingin mulai melembut. “Kau sepertinya pernah hidup dalam keadaan yang berbeda, ya?”
Cindera menghela napas. “Dulu… iya. Tapi semuanya berubah begitu cepat. Sekarang saya hanya ingin bertahan. Hidup dengan sederhana, tanpa menyakiti siapa pun.”
Suasana kembali sunyi. Hanya suara hujan yang kini semakin deras. Elvan menggenggam setir erat, seolah sedang menahan sesuatu.
“Aku tahu rasanya kehilangan segalanya dalam waktu singkat,” ucapnya akhirnya, suaranya dalam dan tenang. “Tapi kau… terlihat lebih kuat dari yang kau pikirkan.”
Cindera menoleh pelan, sedikit terkejut dengan nada tulus itu. “Kau terlalu baik, Elvan. Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus memulai semuanya lagi.”
Elvan menatap lurus ke jalan. “Mulailah dari dirimu sendiri, Cindera. Bukan dari orang-orang yang membuatmu jatuh.”
Ucapan itu membuat d**a Cindera bergetar. Ia memandang ke luar jendela lagi, berusaha menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh. Tapi Elvan sempat melihatnya — satu tetes kecil yang menandakan betapa berat beban yang ia tanggung.
“Rumahmu di mana?” tanya Elvan lembut.
“Gang Melati, nomor 17,” jawabnya pelan.
Elvan mengangguk. Mobil terus melaju pelan menembus hujan malam, membawa dua jiwa yang sama-sama terluka — satu berusaha melupakan, satu mulai peduli tanpa sadar.
---
Saat itu Cindera berjalan menuju jalan raya menyusuri trotoar dekat Rumah Sakit.
Hujan rintik-rintik mulai turun membasahi kaca depan mobil.
"Itu dokter magang yang menangani penyakit Kakek?"Elvan mengernyitkan keningnya."Kamu...mau pulang bareng?"
"Tidak tuan terimakasih!Saya naik ojek aja!"Cindera menolak halus.Namun waktu sudah larut dan juga hujan rintik.
"Ayolah, jangan keras kepala, aku iuga enggak bakal macam-macam kok, anggap sebagai terimakasihku sama kamu sudah merawat kakek." Elvan masih berusaha.
Cindera menghentikan langkahnya, dia mematung sejenak, melihat sekelilingnya, dan ternyata tubuhnya mulai basah."Baiklah."Cindera mengangguk dan membuka pintu mobil.
Wiper bergerak pelan, menciptakan irama lembut yang mengisi keheningan di antara mereka. Lampu-lampu kota menari di pantulan kaca, dan di kursi penumpang, Cindera hanya menatap keluar jendela dengan pandangan kosong.
Elvan melirik sekilas ke arahnya. Wajah Cindera tampak sayu, ada lelah dan luka yang jelas belum sembuh.
“Kau selalu pulang larut seperti ini?” tanya Elvan membuka percakapan.
Cindera menunduk sedikit. “Iya. Kadang harus menyelesaikan administrasi atau memeriksa pasien tambahan. Tapi biasanya saya pulang naik ojek online.”
Elvan mengernyit. “Ojek? Di jam segini?”
Nada suaranya tak bisa menyembunyikan kekesalan halus yang entah datang dari mana.
Cindera tersenyum tipis, getir. “Saya tidak punya pilihan lain, Elvan. Mobil keluarga sudah dijual. Sekarang, semua yang saya miliki hanyalah profesi saya. Itu pun belum cukup membantu banyak.”
Elvan menatapnya lama, matanya yang dingin mulai melembut. “Kau sepertinya pernah hidup dalam keadaan yang berbeda, ya?”
Cindera menghela napas. “Dulu… iya. Tapi semuanya berubah begitu cepat. Sekarang saya hanya ingin bertahan. Hidup dengan sederhana, tanpa menyakiti siapa pun.”
Suasana kembali sunyi. Hanya suara hujan yang kini semakin deras. Elvan menggenggam setir erat, seolah sedang menahan sesuatu.
“Aku tahu rasanya kehilangan segalanya dalam waktu singkat,” ucapnya akhirnya, suaranya dalam dan tenang. “Tapi kau… terlihat lebih kuat dari yang kau pikirkan.”
"Jadi ...orang yang ada di mobilku ini sebelumnya nona muda ya,"Elvan dengan senyum menarik sudut bibirnya.
"Hufft, maksudmu apa?Aku tetaplah diriku sendiri, Aku tidak pernah merasa berbeda."Cindera mencebikkan bibirnya.
"Dasar ngambekkan,"gumam pelan Elvan.
Elvan menatap lurus ke jalan. “Mulailah dari dirimu sendiri, Cindera. Bukan dari orang-orang yang membuatmu jatuh.”
Ucapan itu membuat d**a Cindera bergetar. Ia memandang ke luar jendela lagi, berusaha menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh. Tapi Elvan sempat melihatnya, satu tetes kecil yang menandakan betapa berat beban yang ia tanggung.
“Rumahmu di mana?” tanya Elvan lembut.
“Gang Melati, nomor 17,” jawabnya pelan.
Elvan mengangguk. Mobil terus melaju pelan menembus hujan malam, membawa dua jiwa yang sama-sama terluka — satu berusaha melupakan, satu mulai peduli tanpa sadar.
---
Mobil Elvan berhenti perlahan di depan sebuah rumah sederhana di ujung gang sempit. Lampu teras redup, dan hujan masih menetes lembut dari atap seng. Cindera menghela napas lega, namun ekspresinya berubah seketika ketika melihat tiga sosok laki-laki bertubuh kekar berdiri di depan rumahnya.
Salah satu dari mereka mengetuk pintu keras-keras, suaranya menggema di antara suara hujan.
“Pak Brama! Jangan pura-pura nggak ada di rumah! Uang itu harus dibayar malam ini juga!”
Cindera membeku. Matanya membesar, tubuhnya menegang. “Tidak… mereka datang lagi…” gumamnya nyaris tanpa suara.
Elvan yang duduk di kursi pengemudi langsung memutar pandangan ke arah yang sama. Alisnya mengerut tajam saat melihat situasi itu. “Siapa mereka?”
Cindera buru-buru membuka sabuk pengamannya. “Tolong jangan ikut campur, Elvan. Ini urusan keluarga saya.”
Namun Elvan menahan tangannya. “Cindera, kau mau turun di tengah tiga orang seperti itu?”
Nada suaranya terdengar rendah tapi tegas.
“Kalau aku tidak turun, mereka akan terus berteriak dan mempermalukan keluargaku.” Suara Cindera gemetar, tapi matanya menatap lurus penuh keberanian.
Elvan mematikan mesin mobil, lalu membuka pintunya. “Baik. Tapi aku ikut.”
Cindera tak sempat menolak. Mereka berdua berjalan cepat menembus gerimis menuju rumah. Begitu mendekat, ketiga pria itu langsung menoleh tajam.
“Ini rumah keluarga Brama, kan?” salah satu dari mereka, pria berkepala plontos, bersuara keras. “Suruh bapakmu keluar! Janjiannya dua minggu lalu, tapi nggak ada kabar!”
Cindera berdiri di depan mereka, menatap dengan tatapan tegas walau tubuhnya gemetar. “Ayah saya sedang sakit. Tolong beri kami waktu sedikit lagi. Kami tidak berniat lari.”
Pria itu tertawa sinis. “Waktu? Kami sudah beri banyak waktu, Dokter manis. Tapi yang namanya utang tetap harus dibayar.”
Langkah Elvan maju setengah meter ke depan, tubuh tingginya berdiri di antara Cindera dan para penagih itu. Tatapannya tajam, suaranya tenang tapi dingin.
“Kalau kalian datang untuk menagih, gunakan cara yang sopan. Ini rumah orang, bukan tempat kalian berteriak.”
Salah satu pria mendengus, “Siapa lo, hah? Mau sok jadi pahlawan?”
Elvan tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus, dingin, tatapan yang cukup membuat salah satu dari mereka mundur setengah langkah. Aura tegasnya tidak bisa disembunyikan.
Cindera menoleh cepat, berbisik pelan, “Elvan, sudah… tolong jangan buat masalah.”
Tapi Elvan tetap tenang. “Aku hanya memastikan mereka tahu batas.”
Tepat saat itu, pintu rumah terbuka, dan Pak Brama muncul dengan wajah letih. “Cindera, biarkan, Nak. Biar Ayah yang hadapi.”
Cindera memandang ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Ayah…”
Elvan menatap keduanya sebentar, lalu menurunkan suaranya. “Aku bisa bantu, asal Ayahmu mau bicara baik-baik dengan mereka. Jangan khawatir, aku tidak akan tinggal diam kalau mereka bersikap kasar.”
Para penagih mulai gelisah melihat sikap tegas Elvan.
Sementara Cindera berdiri di tengah gerimis, hatinya bergetar, antara takut, malu, dan tak percaya bahwa ada seseorang yang dengan tulus melindunginya malam itu.
----