Sebuah Keraguan

1516 Kata
Hujan semakin deras, menetes dari atap seng rumah Cindera dan membasahi tanah halaman yang mulai becek. Suasana di depan rumah kecil itu menjadi tegang, suara keras para penagih hutang bercampur dengan isak samar dari dalam rumah, tempat Ibu Cindera berdiri dengan wajah cemas. Pria bertubuh besar yang tampak sebagai pemimpin kelompok itu maju selangkah, menunjuk-nunjuk wajah Tuan Brama. “Pak Brama, kami udah sabar! Janji Bapak dua minggu lalu cuma omong kosong! Kami juga kerja buat orang, jadi jangan main-main sama uang!” Tuan Brama menatapnya dengan wajah lelah, tapi suaranya tetap berwibawa. “Saya tidak berniat lari dari kewajiban, Tuan. Usaha saya sedang saya bangun kembali. Beri saya sedikit waktu lagi, hanya itu yang saya minta.” “Waktu?!” pria itu membentak. “Kalian pikir kami hidup dari janji? Kalau malam ini nggak ada uang, kami ambil barang yang bisa dijual!” Cindera langsung maju melindungi ayahnya. “Jangan berani-berani menyentuh barang di rumah ini! Kami akan bayar! Kami bukan pencuri!” Suara Cindera bergetar, matanya berkilat menahan marah dan takut. Pria itu mendekat, menatap Cindera dari atas ke bawah dengan nada mengejek. “Kau anaknya, ya? Cantik, tapi sayang… nggak tahu diri. Kalau nggak bisa bayar, ya harus tanggung jawab dengan cara lain.” Sebelum Cindera sempat membalas, Elvan maju selangkah cepat, berdiri di depan Cindera. Suaranya datar tapi dingin seperti pisau. “Hati-hati dengan ucapanmu. Kau tidak bicara dengan preman pasar, tapi dengan keluarga yang sedang kesulitan. Kalau niatmu menagih, lakukan dengan hormat.” Pria plontos itu melirik Elvan dengan tatapan tajam. “Dan lo siapa, hah?! Jangan sok jadi jagoan di tempat orang!” Elvan menatap lurus tanpa gentar. “Seseorang yang tidak suka melihat pelecehan di depan matanya.” Nada suaranya rendah, tapi cukup membuat ketiga pria itu saling pandang tak nyaman. Ada sesuatu dari wibawa Elvan yang membuat mereka ragu untuk melangkah lebih jauh. Tuan Brama menahan tangan Elvan. “Nak, cukup… jangan ikut campur. Ini tanggung jawab saya.” Namun Elvan menatap pria tua itu dengan hormat. “Saya paham, Pak. Tapi mereka sudah melewati batas.” Cindera memegang lengan ayahnya, air mata mengalir tanpa bisa ditahan. “Ayah, tolong biarkan aku bicara.” Ia menatap para penagih itu dengan keberanian yang tersisa. “Berilah kami satu bulan lagi. Kalau dalam waktu itu kami belum bisa melunasi, silakan bawa laporan ke pihak berwenang. Tapi jangan datang seperti ini lagi. Kami bukan orang jahat.” Ketegasan dalam suara Cindera membuat ketiga penagih itu sedikit goyah. Mereka saling berpandangan, lalu pria yang di depan mendengus kesal. “Baik! Satu bulan! Tapi kalau lewat batas itu, jangan salahkan kami!” Mereka pun berbalik dan berjalan pergi di bawah hujan deras, meninggalkan suasana yang penuh ketegangan. Begitu mobil mereka menghilang di ujung gang, Cindera langsung memeluk ayahnya erat. “Ayah, maafkan Cindera… semuanya karena aku.” Tuan Brama menggeleng, mengelus kepala putrinya. “Bukan, Nak. Ini semua takdir. Ayah justru bangga kau berani berdiri melindungi keluarga.” Elvan berdiri tak jauh dari mereka, diam, namun matanya menunjukkan kekaguman yang tulus. Ia belum pernah melihat perempuan sekuat itu, meski hatinya hancur, dia tetap berdiri melawan dunia. Setelah beberapa saat, Elvan berkata pelan, “Pak Brama, kalau Bapak berkenan… izinkan saya membantu sedikit. Bukan sebagai kasihan, tapi sebagai bentuk penghormatan.” Tuan Brama menatap Elvan dengan bingung, sementara Cindera segera memotong, suaranya lembut tapi tegas, “Tidak perlu, Elvan. Kami tidak mau menambah utang budi.” Elvan menatapnya lama. “Ini bukan tentang utang budi, Cindera. Ini tentang membantu orang yang layak dibantu.” Udara malam terasa berat, di antara derai hujan, Cindera hanya bisa menunduk, terdiam. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, seseorang berdiri di pihaknya… tanpa meminta imbalan apa pun. Hujan turun perlahan, membasahi tanah dan menimbulkan aroma khas yang menusuk hidung. Petir berkelebat di kejauhan, menciptakan suasana tegang di halaman rumah Cindera. Tiga lelaki penagih hutang masih berdiri dengan wajah garang, sementara Tuan Brama yang sudah tua itu tampak gemetar menahan emosi dan rasa takut. Cindera berdiri di samping ayahnya, menatap mereka dengan mata merah. Elvan yang tadi hanya berniat mengantar, kini ikut terlibat dalam kekacauan itu. “Sudahlah, jangan bentak-bentak orang tua!” sergah Elvan tajam sambil menatap para penagih. Salah satu dari mereka, yang bertubuh paling besar, menyeringai. “Mas, jangan ikut campur. Ini urusan keluarga mereka. Bapak ini udah janji mau bayar dua minggu lalu.” Tuan Brama berusaha bicara dengan suara serak, “Aku... aku cuma butuh waktu sedikit lagi. Aku janji akan melunasi semuanya…” “Waktu? Waktu nggak bisa bayar hutang, Pak,” potong si penagih. Namun tiba-tiba, langkah kaki terdengar dari arah gerbang. Di tengah derasnya rintik hujan, terlihat siluet seorang pria paruh baya, mengenakan mantel panjang dan payung hitam di tangannya. Setiap langkahnya mantap, membawa aura berwibawa yang langsung membuat ketiga penagih itu saling berpandangan. Salah satu dari mereka berbisik pelan, “Itu… Bos kita.” Cindera menatap penuh waspada, napasnya tercekat. Tuan Brama perlahan menunduk, wajahnya memucat. “Pak… Pak Darma…” gumamnya lirih. Pria itu Darma, sang pemberi hutang berhenti tepat di depan mereka. Tatapannya tajam, meski senyum samar tersungging di bibirnya. “Lama sekali kita tidak bertemu, Brama,” ucapnya datar namun mengandung tekanan. “Aku datang bukan untuk berdebat. Aku hanya ingin mengambil apa yang memang menjadi hakku.” Hening sejenak. Suara hujan menjadi satu-satunya yang terdengar. Cindera menatap pria itu dengan mata bergetar. “Jadi... Bapak yang memberi hutang pada ayah saya?” tanyanya pelan namun tegas. Darma menoleh ke arah Cindera, matanya memicing sejenak sebelum senyum kecil muncul di wajahnya. “Dan kau pasti Cindera, putri semata wayangnya. Aku sering dengar tentangmu.” Elvan yang berdiri di sisi Cindera menatap Darma tajam. “Sepertinya cara Anda menagih hutang terlalu berlebihan untuk orang tua seperti ini.” Darma menatap Elvan dengan tenang, seolah mengukur siapa laki-laki muda itu. “Dan kau siapa?” “Elvan,” jawabnya pendek. “Cucu dari pasien dr. Cindera di rumah sakit. Dokter Cindera bekerja di sana, dan saya tak akan diam kalau dia diancam.” Tatapan Darma berubah dingin. Hujan semakin deras. “Menarik,” katanya perlahan. “Tampaknya malam ini jadi lebih menarik dari yang kuduga.” Rintik hujan semakin deras, menimbulkan suara gemericik di atap seng rumah tua itu. Cahaya lampu halaman yang redup memantulkan bayangan tajam wajah Darma, pria paruh baya berwibawa dengan tatapan yang menusuk. Jas hitamnya sedikit basah, tapi senyum licik di bibirnya tetap tidak pudar. Tuan Brama menatapnya tak percaya, sementara Cindera berdiri kaku di sampingnya, wajahnya pucat dan napasnya tersengal. “Darma… apa maksudmu?” suara Brama bergetar, separuh karena marah, separuh karena takut. Darma melangkah perlahan mendekat, menutup payung hitamnya. “Aku orang yang berbisnis dengan perhitungan, Brama. Aku tahu kau tak akan bisa melunasi hutangmu, bahkan sampai tahun depan.” Ia berhenti tepat di depan mereka. “Tapi… aku bukan orang kejam. Aku bisa membebaskan seluruh hutangmu. Tanpa bunga. Tanpa paksaan.” Cindera memandangnya bingung. “Apa syaratnya?” tanyanya pelan. Senyum Darma semakin melebar, menyingkap niat busuk di balik wajah tenangnya. “Syaratnya sederhana, Cindera.” Ia menatap gadis itu dari ujung kepala sampai kaki, seolah sedang menilai barang dagangan. “Kau menikah denganku. Jadilah istriku yang keempat.” Suasana langsung membeku. Elvan mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Apa kau tidak malu bicara seperti itu di depan ayahnya?” bentaknya. Namun Darma hanya terkekeh pelan. “Malu? Tidak, anak muda. Aku hanya menawar sesuatu yang sepadan. Hutang besar untuk satu gadis yang... luar biasa cantik dan cerdas. Bukankah itu penyeimbang yang adil?” “Kurang ajar kau, Darma!” seru Brama tiba-tiba. Ia menubruk maju, tapi tubuhnya yang renta membuat langkahnya goyah. “Anakku bukan barang yang bisa kau beli dengan hutang!” Darma mengangkat alis, menatap dingin. “Kau pikir aku memaksa? Aku hanya memberi pilihan, Brama. Kau bebas menolak, tapi jangan salahkan aku kalau besok rumah ini, dan tanah di bawahnya, bukan lagi milikmu.” Cindera menatap ayahnya yang bergetar menahan amarah. Air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. “Pak… sudah, jangan marah. Aku bisa cari cara lain,” ucapnya lirih. Tapi Darma malah menatapnya lembut—palsu. “Kau gadis berbakti, Cindera. Tapi waktu tak menunggu. Pikirkan baik-baik. Aku beri waktu tiga hari.” Ia lalu berbalik, mengenakan kembali mantelnya. “Kalau kau setuju, datanglah ke kantorku. Kalau tidak…” Ia berhenti sejenak, menatap Elvan dengan senyum menyeringai. “…maka aku akan menagih dengan cara yang berbeda.” Langkahnya menjauh, meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam. Hujan mengguyur makin deras, membasahi wajah Cindera yang kini menangis tanpa suara. Elvan menatapnya iba, sementara Brama terduduk di teras, menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Pak…” suara Cindera parau. “Apa benar… hutang kita sebesar itu?” Brama hanya terisak lirih. “Aku... aku cuma ingin menyelamatkan rumah ini, Nak. Aku tak tahu kalau Darma akan sekejam itu.” Elvan berdiri di sisi mereka, menatap ke arah jalan tempat Darma menghilang. "Apa yang sebenarnya terjadi?Apa aku harus... percaya pada mereka?Atau mereka hanya berpura-pura untuk menipuku?"Batin Elvan menggerutu . "Pikirkanlah cantik...jika kamu menikah denganku, maka aku akan membebaskan semua hutang ayahmu 500 juta itu, ha ha ha!"Kata-kata itu terngiang-ngiang ditelinga Cindera.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN