Sore itu, angin berembus lembut menyapu halaman kecil rumah keluarga Brama Yudha Pradana. Langit tampak temaram, seolah ikut menyimpan rahasia besar yang akan segera terbuka.
Cindera baru saja pulang dari rumah sakit dengan langkah lelah, namun ia dikejutkan oleh pemandangan tak biasa — ayahnya, Tuan Brama, duduk di teras dengan wajah yang tampak bingung bercampur lega. Di meja kecil di depannya, ada selembar amplop besar berisi dokumen pelunasan hutang dan cap resmi dari bank.
“Ayah… ini apa?” tanya Cindera pelan, matanya menatap amplop itu penuh tanda tanya.
Brama menatap putrinya dengan suara bergetar, “Hutang-hutang kita… lunas, Nak. Semuanya. Bahkan surat rumah yang disita sudah dikembalikan. Tapi yang aneh—aku tidak tahu siapa yang melunasinya.”
Cindera terkejut. “Apa? Bagaimana bisa?”
Belum sempat Brama menjawab, dari kejauhan suara motor kurir berhenti di depan pagar. Seorang petugas datang membawa surat resmi berstempel.
“Ini untuk Ibu Ratih atau Nona Cindera,” katanya sopan.
Cindera membuka surat itu dengan tangan gemetar. Isinya singkat, tapi membuat darahnya berdesir kencang:
“Anggap ini sebagai hadiah atas dedikasi dan ketulusanmu, dr. Cindera Brama. Jangan tanyakan siapa pengirimnya, cukup gunakan kesempatan ini untuk bangkit kembali.
— Malik Arsyad.”*
Cindera membeku.
Matanya membulat, bibirnya bergetar. “Kakek Malik…?” gumamnya nyaris tak terdengar.
Ratih menatap putrinya, bingung. “Siapa Malik Arsyad, Nak?”
Cindera menghela napas panjang, matanya basah. “Beliau pasien saya di rumah sakit, Bu… kakek dari Tuan Elvan.”
Brama mengerutkan kening. “Kakek dari pria yang sempat marah-marah itu?”
Cindera mengangguk pelan. “Iya, Yah… Tapi kenapa beliau melakukan ini?”
Malamnya, Cindera duduk sendirian di teras rumah dengan secangkir teh dingin di tangannya. Pikirannya penuh tanda tanya.
Mengapa Kakek Malik membantuku? Apakah Elvan tahu tentang ini?
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar, pesan dari nomor tak dikenal muncul di layar:
"Kau tidak perlu merasa berhutang apa pun, Dokter Cindera. Dunia ini butuh orang baik sepertimu tetap berdiri. M.A.”
Air mata jatuh begitu saja.
Ada rasa haru, syukur, dan perasaan aneh yang sulit dijelaskan di dadanya.
Di sisi lain kota, Elvan yang sedang duduk di ruang kerja membaca sebuah surat dari kakeknya sendiri.
"Elvan, aku sudah melunasi hutang keluarga Brama. Jangan salahkan aku. Aku melihat ketulusan di mata gadis itu, sesuatu yang mengingatkanku pada almarhum nenekmu.”
Elvan menatap surat itu lama, kemudian menghela napas panjang.
“Cindera…” bisiknya pelan,"pasti gadis itu yang dimaksud Kakek."
Nada suaranya berubah, tak lagi dingin seperti dulu, tapi hangat dan penuh rasa ingin tahu.
---
Sore itu, suasana di rumah sederhana keluarga Brama Yudha Pradana berubah drastis. Burung-burung di pohon depan rumah seolah ikut terdiam ketika suara deru mobil-mobil mewah berhenti di depan pagar kecil yang mulai berkarat.
Cindera yang sedang membantu ibunya menjemur pakaian menoleh dengan heran. Tiga mobil hitam berderet rapi, dan beberapa orang berpakaian rapi turun dengan membawa hampers, kotak besar berhias kain beludru merah, dan nampan-nampan berisi seserahan.
Ratih sampai ternganga. “Nak… siapa yang datang itu?”
Belum sempat Cindera menjawab, pintu mobil paling depan terbuka. Seorang pria tua yang karismatik turun perlahan dengan bantuan tongkat, Kakek Malik Arsyad Wiratama mengenakan batik cokelat keemasan, senyum teduhnya terukir di wajah yang berwibawa.
Di belakangnya, Elvan ikut turun, memakai kemeja biru gelap dan jas abu-abu. Wajahnya datar, tapi matanya menatap lurus ke arah Cindera. Ada sesuatu di sana campuran kagum, sungkan, dan rasa bersalah yang sulit dijelaskan.
Beberapa tetangga langsung berdatangan, berbisik-bisik penuh penasaran.
“Itu kan keluarga konglomerat Malik Arsyad!”
“Ya ampun, mereka bawa seserahan? Jangan-jangan…”
“Apa benar Cindera mau dilamar?”
Cindera berdiri kaku, tak percaya pada apa yang ia lihat. “A-Ada apa ini, Tuan Malik?” tanyanya dengan suara pelan namun gemetar.
Kakek Malik tersenyum bijak. “Anakku, hari ini aku datang bukan sebagai pasienmu… tapi sebagai seseorang yang ingin menebus kebaikanmu.”
Ia menatap Cindera penuh kehangatan, lalu menoleh pada Brama dan Ratih.
“Saya tahu, kalian pernah menolong saya tanpa pamrih. Maka izinkan saya datang hari ini, membawa niat baik untuk menyatukan dua hati… cucu saya, Elvan Malik Wiratama, dengan putri kalian, dr. Cindera Aulia Pradana.”
Suasana langsung hening.
Ratih terperangah, Brama hampir menjatuhkan gelas yang dipegangnya, sementara Cindera hanya bisa memandang Elvan dengan mata melebar tak percaya.
Elvan menatap lurus ke arahnya, lalu menunduk hormat pada kedua orang tua Cindera, meski tanpa kata-kata.
Tangis Ratih pecah. Brama berdiri, mencoba menahan air mata haru yang menumpuk di matanya.
“Pak Malik… ini terlalu mendadak. Kami… kami keluarga biasa saja. Tidak pantas...."
Kakek Malik menepuk bahunya lembut. “Kebaikan tidak diukur dari kekayaan, Brama. Saya datang bukan membawa kasihan, tapi membawa niat tulus. Karena saya tahu, cucu saya tak pernah memandang rendah perempuan sekuat Cindera.”
Cindera menggigit bibirnya, air matanya jatuh perlahan. Ia menatap Elvan, pria yang dulu menegurnya dengan dingin, kini berdiri di hadapannya membawa janji kehidupan baru.
Hening sesaat.
Lalu Cindera berkata lirih, suaranya bergetar, “Tuan Malik… saya tidak tahu harus berkata apa. Ini… terlalu cepat.”
Kakek Malik tersenyum bijak. “Tidak apa-apa, Nak. Kami tidak menuntut jawaban sekarang. Kami hanya ingin datang dengan hormat, agar semua orang tahu… bahwa Cindera bukan perempuan malang seperti yang mereka katakan. Ia terhormat, dan layak dicintai.”
Di luar pagar, suara bisik-bisik para tetangga perlahan dan sayup-sayup
"Wahhh beruntung banget pak Brama, tiba-tiba si Cindera ada yang mau melamar."
"Iya ya, saya yakin dia pasti pergi ke dukun .. biar cepet dapet jodoh orang kaya,"ucap salah satu ibu-ibu depan rumah Cindera.
Dan sore itu, di bawah langit jingga yang indah, Cindera berdiri di antara seserahan dan doa, tak menyangka bahwa setelah kehancuran dan penghinaan, datanglah takdir yang mempertemukannya dengan cinta yang tak pernah ia duga.
"Hah apa ini?Bagaimana bisa aku menikah dengan pria arogan itu?"
---
Beberapa hari sebelum rombongan Kakek Malik datang ke rumah Cindera, suasana di ruang keluarga besar keluarga Malik tampak tegang. Suara Elvan yang dalam dan penuh amarah memenuhi ruangan, menentang keputusan sang kakek.
“Kakek, ini sudah gila! Aku bahkan baru mengenalnya sebagai dokter magang, dan sekarang Kakek ingin aku menikahinya hanya karena dia menolong Kakek di rumah sakit?” suara Elvan meninggi, matanya tajam menatap sang kakek yang duduk tenang di kursi tua.
Kakek Malik menghela napas dalam, menatap cucunya dengan sorot mata yang bijak namun tegas.
“Elvan, perempuan itu bukan sembarangan. Kalau bukan karena dokter muda itu, mungkin jantung Kakek tak akan bertahan sampai sekarang. Dan aku tahu… dia gadis yang baik, berbakti pada orang tuanya.”
Ibunda Elvan, yang sejak tadi duduk di samping suaminya, akhirnya angkat bicara.
“Papa, tapi kita bahkan belum tahu latar belakangnya dengan jelas. Dia hanya dokter magang, bukan dari keluarga terpandang. Papa mau Elvan menikah dengan orang seperti itu?”
Ayah Elvan menimpali dengan nada lebih tenang namun tetap menolak,
“Benar, Pa. Elvan punya masa depan besar di perusahaan keluarga. Menikah dengan gadis itu hanya akan menimbulkan omongan.”
Namun, Kakek Malik menatap mereka satu per satu, lalu berkata pelan tapi mantap,
“Uang bisa dicari, nama bisa dibangun, tapi hati yang tulus dan keberanian untuk berjuang demi orang tua, itu langka. Aku sudah tua. Sebelum aku pergi, aku ingin melihat cucuku punya istri yang membuat hidupnya berarti, bukan sekadar indah di mata orang.”
Elvan terdiam. Urat di rahangnya menegang, menandakan amarah yang ia tahan.
“Kalau Kakek mau berterima kasih, beri dia penghargaan, bukan menjodohkannya denganku. Aku tidak mencintainya.”
Namun Kakek Malik hanya tersenyum samar, menatap cucunya dengan pandangan yang mengandung makna dalam.
“Elvan, kadang cinta tidak datang karena kau mencarinya… tapi karena Tuhan sudah menuliskannya.”
"Hhh, tapi Kek...Aku dan dia belum saling mengenal, bahkan kami baru bertemu beberapa minggu ini saja."Elvan berusaha mengelak.
Suasana membeku. Tak ada lagi yang berbicara.
Dan sejak malam itu, tanpa sepengetahuan Elvan, Kakek Malik diam-diam menghubungi keluarga Cindera, mempersiapkan lamaran yang membuat semuanya terkejut kelak.